CARI Infonet

 Forgot password?
 Register

ADVERTISEMENT

View: 2055|Reply: 0

Kedudukan Filsafat Dalam Islam

[Copy link]
Post time 28-6-2016 08:58 PM | Show all posts |Read mode
Kedudukan Filsafat Dalam Islam


ANTROPOLOGI AGAMA·TUESDAY, JUNE 28, 2016





Ibnu Rusyd atau biasa dikenal dengan Al-Hafid memiliki nama lengkap  Abu Al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Rusyd. Lahir  di Qurthubah pada 520 H / 1126 M. Dalam bidang filsafat Ibnu Rusyd  sangat mengagumi Aristoteles. Kekaguman ini selain terlihat dari  beberapa karyanya yang banyak berisi penjelasan (syarh) dan ringkasan  (talkhish) atas karya-karya Aristoteles, juga dapat dipahami dari  beberapa pernyataannya.
Dalam salah satu karyanya, Tahafut Al-Tahafut, Ibnu Rusyd menyatakan  bahwa yang dimaksud dengan orang yang mendapat anugrah dari Allah dalam  QS. Al-Ma’idah 54 adalah Aristoteles. Pernyataan itu mungkin berlebihan, tapi demikianlah kenyataan  menggambarkan betapa kagumnya Ibnu Rusyd terhadap Aristoteles. Kekaguman  ini menjadikan Ibnu Rusyd seakan-akan taqlid buta terhadapnya.
Jamil Saliba dalam bukunya, Min Aflathun ila Ibni Sina, menggambarkan  sikap Ibnu Rusyd kepada Aristoteles sebagai orang yang sangat taat dan  sangat mempercayai segala ungkapannya. Andai Aristoteles menyampaikan  pernyataan yang tidak mungkin terjadi atau jauh dari kebenaran, Ibnu  Rusyd akan tetap mengikutinya. Jamil Saliba mengatakan: “Andai  Aristoteles mengatakan dalam waktu yang bersamaan seseorang bisa berdiri  sekaligus duduk maka Ibnu Rusyd akan mempercayainya.”
Gagasan-gagasan Ibnu Rusyd dalam bidang filsafat mendapatkan tempat  yang sangat tinggi, baik di mata ulama maupun penguasa pada masanya.  Seiring berjalannya waktu, Ibnu Rusyd pernah mengalami ujian besar yang  disebabkan oleh beberapa gagasan dan kritik-kritiknya terhadap sarjana  fiqh (fuqaha’) yang saat itu hanya bisa membebek kepada imam-imam  madzhab.
Fuqaha ini selain tidak kreatif, konservatif, juga banyak yang  sombong dan berebut kekuasaan di hadapan penguasa. Oleh karena itu  ketika Ibnu Rusyd menyerukan pembaharuan dalam berpikir baik dalam  bidang fiqh, filsafat, maupun yang lainnya dan mengkritik praktik taqlid  sarjana-sarjana pada masanya banyak yang tidak terima.
Sarjana-sarjana yang kontra dengan Ibnu Rusyd ini kemudian menuduh  Ibnu Rusyd musyrik, keluar dari agama Islam, sebagai penyembah bintang,  mengingkari kisah musnahnya kaum ‘Aad, dan tuduhan-tuduhan negatif  lainnya. Selain itu karya-karya Ibnu Rusyd juga banyak yang redaksinya  dirubah, lalu dibacakan di majelis-majelis pengajian sehingga keterangan  dari Ibnu Rusyd terkesan menyimpang dan bertolak belakang dengan  syari’at.
Provokasi itu kemudian diterima oleh penguasa, khalifah Abu Ya’qub.  Khalifah menganggapnya sebagai kebenaran lantaran banyaknya ulama-ulama  yang mengiyakan. Atas dasar itu akhirnya Abu Ya’qub menjatuhkan vonis  terhadap Ibnu Rusyd berupa diasingkan ke luar Andalusia dan semua  karya-karyanya dibakar.
Konteks Sosio-Historis Wacana Dari Ibnu Rusyd
Sebelum Ibnu Rusyd (520 H-595 H) menyerukan umat Islam berfilsafat,  sejarah telah mencatat nama Abu Hamid al-Ghazali (450 H-505 H) sebagai  pemikir yang mengharamkan filsafat dan mengkafirkan para filsuf. Salah  satu karya Al-Ghazali yang berjudul “Tahafut Al-Falasifah” setidaknya  cukup menjadi saksi sejarah “pertikaian” pemikiran dalam  khazanah Islam.
Syahdan, tak baik jika membaca sebuah karya tanpa memperhatikan ruang  sosial yang melahirkanya, termasuk di dalamnya motivasi pemilik karya  dan sasarannya. Demikian juga dengan karya-karya al-Ghazali. Muhammad  Abid Al-Jabiri, dalam pendahuluan buku Fashl al-Maqal karya Ibnu Rusyd,  mengatakan, Al-Ghazali adalah ideolog kekuasaan as-Saljuqiyah (Dinasti  Seljuk).
Dinasti Seljuk saat itu sedang menghadapi pergolakan politik nasional  yang disebabkan oleh gerakan kelompok Bathiniyah. Dalam rangka  menghadapi gerakan itu, penguasa Seljuk membangun Madrasah An-Nidhamiyah  dengan menjadikan madzhab Asy’ari sebagai ideologinya atau bisa disebut  dengan “madzhab resmi kekuasannya”. Di tempat ini Al-Ghazali diangkat  menjadi guru besar untuk mengajarkan ilmu-ilmu keislaman yang sesuai  dengan misi Dinasti; “memperteguh keimanan bangsa dengan madzhab  Asy’ari”, kira-kira begitu slogannya.
Di sini lah buah pikir al-Ghazali yang rata-rata berisi tentang  penguatan terhadap teologi Asy’ariyah seperti “Al-Iqtishad fî  al-I’tiqad” dan kritiknya terhadap paham Bathiniyah seperti “Fadla’ih  Al-Bathiniyah” dan kritiknya terhadap filsafat seperti “Tahafut  Al-Falasifah” dan “Maqashid al-Falasifah” dapat dipahami dan  “dimaklumi”.
Lain ladang lain belalang, lain hati lain perasaan. Menurut  al-Jabiri, Andalusia sejak dikuasai Dinasti Al-Murabithin (453 H) lebih  didominasi oleh sarjana-sarjana hukum Islam (fuqaha’) yang konservatif  dan mengekang kebebasan berpikir.
Fuqaha’ ini berhasil menguasai parlemen, sehingga kebijakan Dinasti  kerap melukai para pemikir. Alih-alih dengan tuduhan bertentangan dengan  agama, tidak sesuai dengan Al-Quran, dan seterusnya.
Hal ini terus berlangsung hingga lahir sosok yang tak mengenal rasa  takut, manusia yang tak pernah bosan menyampaikan kebenaran walaupun  pahit, orang yang merindukan kebebasan berpikir demi membangun peradaban  ketimbang memenuhi syahwat kekuasaan; Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad  bin Muhammad bin Ahmad bin Rusyd, alias Ibnu Rusyd Al-Hafid.
Di sinilah karya-karya Ibnu Rusyd harus didudukkan, “Tahafut  At-Tahafut”, “Al-Kasyfu ‘an Manahij Al-Adillah”, “Fashl Al-Maqal fî  Taqriri Ma Baina asy-Syari’ati wa al-Hikmati mina al-Ittishal”, dan yang  lainnya. Jadi, Ibnu Rusyd menghadirkan kitab “Fashl al-Maqal” sebagai ikhtiyar  menyadarkan mutakallimin dan fuqaha’ yang memasung akal demi memenuhi  syahwat politik. Agama hadir menyapa manusia untuk mendayagunakan akal  pikiran demi meraih kebenaran.
Sebagaimana agama, filsafat juga dapat mengantarkan manusia ke jalan  yang benar dengan mengfungsikan akal-pikirnya sebagai anugerah dari  Tuhan.
Dalil naqli Al-Quran dari Ibnu Rusyd
Tidak seperti al-Ghazali yang mengharamkan filsafat dan mengkafirkan  filsuf, Ibnu Rusyd dalam Fashl al-Maqal justru mewajibkannya. Bagi Ibnu  Rusyd, umat Islam wajib berfilsafat, atau minimal dianjurkan (an-nadb).
Perintah agama untuk berfilsafat ini berdasarkan pada dua argumen;  Pertama, aktifitas filsafat adalah memperhatikan (memikirkan) alam  semesta. Dengan memikirkan semesta maka akan mengetahui Tuhan yang  menciptakannya. Jika pengetahuan tentang ciptaan dapat diraih dengan  sempurna, maka pengetahuan akan Tuhan juga akan lebih sempurna.  
Kedua, dalam Al-Quran banyak ayat yang menyeru umat Islam supaya  mendayagunakan akal pikirnya, seperti dalam QS. Al-Hasyr 2, QS. Al-A’raf  185, QS. Al-Ghasyiyah 17, dan yang lainnya.
Mengfungsikan akal untuk memikirkan ciptaan (al-i’tibar fî  al-maujadat) yang diserukan dalam ayat-ayat Al-Quran di atas adalah  menggali sesuatu yang belum diketahui (Tuhan) dari sesuatu yang sudah  diketahui (semesta). Hal demikian dinamakan dengan analogi (qiyas).
Jika demikian, maka memerankan akal melalui logika analogi (al-qiyas al-‘aqli) adalah hal yang niscaya.
Bagi Ibnu Rusyd, perintah menggunakan al-qiyas al-‘aqli justru  terdapat dalam ayat yang digunakan oleh fuqaha sebagai dasar kewajiban  menggunakan analogi dalam menggali hukum Islam (al-qiyas al-fiqhi),  yaitu QS. Al-Hasyr 2.
Menggunakan al-qiyas al-‘aqli juga bukan bid’ah, karena andai ini  bid’ah, maka menggunakan al-qiyas al-fiqhi juga bid’ah. Keduanya pada  masa Islam awal sama-sama tidak ada.
Melalui argumentasi di atas, Ibnu Rusyd sedang berusaha mematahkan  pendapat yang mengharamkan filsafat dengan menggunakan pijakan ayat dan  logika berpikir yang sama. Yaitu, sama-sama mengikuti perintah agama.  Dalam bahasa yang sederhana; Bagaimana mungkin berfilsafat dilarang  agama, sementara agama sendiri, baik melalui ayat-ayatnya yang terdapat  dalam Al-Quran maupun ayat-ayatnya yang terdapat di jagat raya,  memerintahkan umat manusia untuk mendayagunakan akal pikirnya  (berfilsafat). Jelas tidak mungkin. Yang ada adalah agama mewajibkan  manusia perpikir menggunakan akalnya (berfilsafat).
Dalil ‘aqli dari Ibnu Rusyd
Dalam kitab Fashl al-Maqal Ibnu Rusyd mengatakan, agama telah  mendorong pemeluknya untuk berfilsafat. Karenanya, pengetahuan tentang  macam-macam analogi (qiyas), syarat-syaratnya, dan semua hal yang  berkaitan dengan aktivitas berfilsafat harus diketahui terlebih dahulu.  Ibarat orang hendak bekerja, maka peralatan pekerjaan harus ia miliki.
Jika dalam pekerjaan mencangkul petani harus punya cangkul, maka  dalam pekerjaan akal seseorang harus mengetahui semua hal yang berkaitan  dengan aktivitas berpikir, seperti macam-macam qiyas; al-qiyas  al-burhani (analogi demonstratif), al-qiyas al-jadali (analogi  dialektik), al-qiyas al-khithabi (analogi retorik), al-qiyas  al-mughalathi (logical fallacy), tentang al-muqaddimat-nya (premis  mayor-premis minor), dan yang lainnya.
Pertanyaannya kemudian, apakah umat Islam harus merumuskannya sendiri  dengan memutus mata rantai keilmuan tentang hal ini yang sudah lama  diteliti dan dipikirkan para filsuf terdahulu, atau mengambil darinya  sebagaimana yang ditegaskan nabi Muhammad dalam salah satu sabdanya:  “Hikmah (baca: filsafat) adalah barang hilang milik orang yang beriman,  jika ia menemukannya maka ia lebih berhak mengambilnya (al-kalimah  al-hikmah dlallatu al-mu’min, haitsu wajadaha fahuwa ahaqqu).” Dalam  redaksi lain dikatakan; “Ambillah hikmah meskipun dari orang munafiq (fa  khudz al-hikmata walau kanat min ahli an-nifaq).”
Bagi Ibnu Rusyd, pengetahuan tentang logika analogi (al-qiyas  al-‘aqli) sebagai metode untuk menggali “pengetahuan yang belum  diketahui (al-majhul)” dari “pengetahuan yang sudah diketahui  (al-ma’lum)” sudah diteliti dan dirumuskan oleh para filsuf terdahulu  (al-qudama’), sehingga mengambil keterangan darinya menjadi keharusan  bagi umat Islam.
Logika analogi adalah alat untuk “menggali Tuhan”. Jika fuqaha’  mengharamkannya lantaran ilmu tersebut sebagai buah karya orang-orang  terdahulu yang tidak beragama Islam, maka tidak tepat. Karena justru  dengan menggunakannya, pengetahuan akan Tuhan lebih terang benderang dan  lebih memantapkan keimanan.
Sebagai argumentasi untuk mematahkan alur berpikir fuqaha’, Ibnu  Rusyd menganalogikan posisi “al-qiyas al-‘aqli” sebagaimana “pisau”  untuk menyembelih binatang. Fuqaha’ memperbolehkan menggunakan pisau  milik orang yang tidak seagama untuk menyembelih binatang. Dengan  demikian “al-qiyas al-‘aqli” pun yang posisinya tidak lebih sebagai  “alat” seharusnya fuqaha’ memperbolehkannya, bahkan wajib.
Di sinilah Ibnu Rusyd hadir sebagai pemikir inklusif yang tidak  tebang pilih dalam menerima ilmu. Baginya, selama itu benar maka harus  diterima. “Fa in kana kulluhu shawaban qabilnahu minhum, wa in kana fîhi  ma laisa bi shawabin nabbahna ‘alaih (Apabila semua yang disampaikan  benar maka kita harus menerimanya, jika yang disampaikannya mengandung  kesalahan maka kita harus mengingatkannya).”
Adab berfilsafat dalam Islam menurut Ibnu Rusyd
Memutus mata rantai keilmuan untuk menciptakan pengetahuan sendiri  adalah keangkuhan yang tak masuk akal. Jika “ilmu” sudah dipikirkan oleh  generasi terdahulu (al-mutaqaddim), maka generasi belakangan  (al-muta’akhkhir) harus mengambil dan melanjutkannya. Ilmu masa lalu  diterima jika sesuai dengan kebenaran, dan ditolak apabila salah sembari  memaafkannya.
Dalam berfilsafat, umat Islam harus mengambil dari para filsuf masa  lalu (al-qudama’) dengan mempelajari karya-karyanya. Berkaitan dengan  ini, Ibnu Rusyd memberikan fatwa “wajib” kepada orang yang memiliki  kapasitas tertentu untuk membaca buku-buku yang ditulis oleh al-qudama’.
Kapasitas dimaksud, yaitu; 1) Memiliki bakat dan kesiapan mengkaji  filsafat (dzaka`u al-fithrah). 2) jujur dan mencari  kebijaksanaan/kebenaran (al-‘adalah asy-syar’iyah wa al-fadlîlah  al-‘ilmiyah wa al-khuluqiyah).
Menurut Abid al-Jabiri, syarat pertama, yakni “dzaka`u al-fithrah”  merupakan syarat yang sudah dikenal di kalangan filsuf Andalusia. Ibnu  Bajah dan Ibnu Thufail sudah menggunakan istilah ini sebagai  persyaratan. Mengkaji filsafat membutuhkan bakat dan kesiapan  sebagaimana mempelajari sastra dan musik. Hal ini tidak semua orang  memiliki kemampuan yang sama.
Sedangkan syarat kedua, yaitu “al-‘adalah asy-syar’iyah wa  al-fadlilah al-‘ilmiyah wa al-khuluqiyah” merupakan syarat yang asing di  kalangan filsuf. Menurut al-Jabiri, maksudnya adalah pembaca  karya-karya filsafat yang ditulis oleh pendahulu harus memiliki sifat  yang dalam bahasa sekarang dikenal dengan istilah “kejujuran ilmiyah  (al-amanah al-‘ilmiyah)”. “Al-‘adalah asy-syar’iyyah (adil menurut  agama)” dalam hukum Islam (fikih) menjadi syarat sahnya persaksian  (asy-syahadah). Yakni, orang yang bersaksi dapat diterima persaksiannya  apabila memiliki sifat ini. Fuqaha’ mendefinisikannya dengan: “menjauhi  dosa besar, menjaga diri dari dosa kecil, dan menjaga martabat.”
Maksud Ibnu Rusyd menggunakan istilah ini, yaitu “pembaca” karya  filsuf masa lampau menempati posisi sebagai “saksi”, sehingga harus adil  (tidak boleh menambah dan mengurangi keterangan), dan tidak boleh  melibatkan hawa nafsu yang memunculkan sikap menerima dan menolak hanya  berdasarkan kemauannya sendiri. Selain itu, istilah “al-‘adalah  asy-syar’iyah” juga bermakna pemilahan dan pemilihan terhadap keterangan  yang ditulis para filsuf terdahulu. Artinya, seseorang memposisikan  dirinya sebagai “pembaca aktif” yang kritis terhadap  keterangan-keterangan yang sebenarnya tidak pantas untuk disebut sebagai  ilmu pengetahuan, terlebih terhadap pembahasan yang diharamkan agama,  seperti ilmu ramalan, sihir, dan mantera.
Sedangkan maksud dari “al-fadlilah al-‘ilmiyah wa al-khuluqiyah”  yaitu pembaca filsafat harus melepas semua kepentingan selain untuk  mencari kebaikan, kebijaksanaan, dan kebenaran.
Dalam hal ini Ibnu Rusyd sedang merumuskan hukum belajar filsafat  yang berbeda dengan fuqaha’ dan mutakallimin. Bagi Ibnu Rusyd, hukum  “haram” belajar filsafat tidak bisa di-gebyah-uyah. Justru sebaliknya,  ada di antara umat Islam yang diwajibkan oleh agama untuk  mempelajarinya, yaitu orang yang memenuhi 2 persyaratan di atas.
Bantahan Ibnu Rusyd terhadap fuqaha’
Bagi fuqaha’ (pakar hukum Islam), membaca karya filsafat hukumnya  haram. Fatwa ini ditanggapi serius oleh Ibnu Rusyd dengan memunculkan  fatwa tandingan, yakni membaca filsafat bagi orang yang memiliki  kapasitas tertentu hukumnya wajib.
Fuqaha’ melarang umat Islam membaca filsafat lantaran menganggap  pembaca filsafat yang menurutnya “sesat” disebabkan oleh bacaannya (buku  filsafat).
Bagi Ibnu Rusyd, argumentasi fuqaha’ ini selain tidak berdasar, juga  ada kesalahan dalam mengambil konklusi hukum. Kesalahan dimaksud antara  lain:
Pertama; Fuqaha’ telah menggeneralisir hukum, yakni siapapun tidak  boleh membaca filsafat. Padahal, tidak semua orang yang membaca filsafat  menjadi sesat. Justru sebaliknya, melalui filsafat seseorang dapat  menemukan Tuhan dan lebih mantap mengimani-Nya.
Kedua; Fuqaha’  menetapkan alasan hukum haram berdasarkan sifat lain  (‘aradl), bukan berpijak pada bentuknya (dzat). Artinya, pembaca  filsafat yang dalam anggapan fuqaha’ “sesat” penyebabnya bukan karena  buku filsafatnya (dzat), melainkan karena ada sebab lain (‘aradl). Sebab  lain ini bisa karena pembaca tidak sistematis dalam berpikir (tidak  mematuhi aturan logika berpikir), tidak ada guru yang mengajarinya, atau  karena mengikuti hawa nafsunya sendiri, atau semuanya terkumpul menjadi  satu pada diri seseorang.
Di sini letak kesalahan fuqaha’ dalam merumuskan hukum haram.  Seharusnya, menurut Ibnu Rusyd, jika penyebab kesesatan terletak pada  ‘aradl, bukan bermuara pada dzat, maka hukum dzat tidak boleh dilarang.  Singkatnya, “sesat” itu disebabkan oleh hal lain, bukan disebabkan isi  buku filsafatnya.
Dalam membahas ini, Ibnu Rusyd mengutip hadis nabi Muhammad: “Tuhan  benar, perut saudaramu tidak benar (Shadaqallah, wa kadzaba bathnu  akhika).” Hadis ini nabi sampaikan ketika ada salah satu sahabatnya  mengadu penyakit diare yang dialami saudaranya. Sebelumnya, sahabat itu  bertanya kepada nabi tentang obat diare. Nabi menjawab, minum madu.  Setelah sahabat itu memberi minum madu kepada saudaranya yang sedang  diare, bukan kesembuhan yang didapatkan, tapi malah bertambah parah.  Setelah menerima aduan, nabi menjawab, yang salah bukan “obatnya”, tapi  “perut saudaramu”.
Melalui kutipan hadis ini, Ibnu Rusyd hendak menegaskan, bahwa orang  yang menurut fuqaha’ sesat sebab membaca filsafat, kesesatan itu bukan  disebabkan oleh “buku bacaannya” tapi “orangnya”, yakni tidak mematuhi  aturan yang berlaku.
Sembari menyindir sifat tercela fuqaha’ pada masanya, Ibnu Rusyd  menunjukkan kerapuhan argumentasi fuqaha’ dengan mengatakan: “Banyak  orang ahli fikih yang dengan fikihnya ia menjadi kurang menjaga diri  dari barang yang tidak jelas halal-haramnya/syubhat (qillati  tawarru’ihi) dan tersibukkan dalam urusan duniawi (khaudlihi fi  ad-dunya), maka; apakah kemudian kita melarang fikih?”
Tentu tidak, orang yang dengan fikihnya menjadi tidak wira’i adalah  kasus tertentu, dan itu disebabkan oleh sesuatu lain (‘aradl), bukan  karena fikihnya (dzat).
Inilah Ibnu Rusyd, filsufnya para ahli fikih dan ahli fikihnya para  filsuf, sangat teliti dalam memberikan hukum. Pembedaan antara “’aradl”  dan “dzat” memiliki pengaruh yang sangat berarti bagi hukum yang  diputuskannya.
Pendapat Ibnu Rusyd : “Agama dan filsafat saling menguatkan”
“Membaca karya filsuf terdahulu hukumnya wajib,” demikian kata Ibnu  Rusyd. Lalu, apa yang harus diperbuat umat Islam apabila menjumpai  keterangan tentang semesta dalam karya filsafat yang penjelasannya tidak  didapatkan di dalam agama Islam (baca: Al-Quran)?
Ibnu Rusyd menjawab: Apabila keterangan tentang semesta tidak  disampaikan oleh agama, maka hal itu harus diterima dan tidak ada  persoalan di dalamnya. Status hukumnya sebagaimana status hukum Islam  yang tidak dijelaskan Al-Quran, yakni hukum Islam yang dirumuskan  melalui metode analogi (al-qiyas). Pun tak ada persoalan apabila  keterangan dalam filsafat sesuai dengan makna literal teks agama.
Yang jadi persoalan, ketika pengetahuan tentang semesta yang ada di  dalam filsafat berbeda atau bertentangan dengan bunyi ujaran Teks agama.  Dalam hal ini, menurut Ibnu Rusyd, teks agama harus diinterpretasikan  ke makna lain (ta’wil).
Ta’wil adalah mengeluarkan petunjuk kata; dari petunjuk hakikat ke  petunjuk metafora berdasarkan pada kaidah-kaidah bahasa Arab dalam  membuat kata-kata metaforis. Dalam istilah lain, ta’wil adalah memberi  makna kosa kata dengan “makna lain” yang tidak diujarkan oleh teksnya,  namun “makna lain” ini memiliki korelasi (‘alaqah) dengan makna literal  teks.
Bagi Ibnu Rusyd, aktivitas demikian bukan bid’ah dan tak perlu  ditakuti. Interpretasi demikian sudah lumrah di kalangan sarjana hukum  Islam (fuqaha’) ketika menggali hukum Islam dari Teks agama. Teks agama  di hadapan fuqaha’ tidak semuanya diartikan secara harfiyah. Bahkan,  kata Ibnu Rusyd, semua umat Islam sepakat, bahwa semua teks agama  tidak harus diberi makna sesuai dengan bunyi  harfiyahnya. Pun demikian, tidak semua teks agama harus dikeluarkan dari  makna literalnya. Perbedaan umat Islam hanya terletak pada wilayah;  mana ayat yang bisa dita’wil (al-mu’awwal minha) dan mana yang tidak  bisa (ghairu al-mu’awwal).
Lebih lanjut, dalam pembahasan tentang hukum ta’wil ini, Ibnu Rusyd  mengatakan: “Kita harus memastikan, bahwa semua hasil penalaran logika  yang makna literal teks agama berbeda dengannya, teks agama tersebut  menerima untuk diinterpretasikan ke makna lain (ta’wil) berdasarkan pada  aturan ta’wil bahasa Arab.”
Kendati demikian, bagi Ibnu Rusyd, teks agama tidak ada yang  bertentangan dengan hasil penalaran akal. Apabila teks-Teks agama  dipahami dengan lebih teliti, maka akan didapati makna lahiriyah teks  ada yang menguatkan hasil pentakwilan.
Melalui pembahasan ini, Ibnu Rusyd berhasil mendamaikan agama dan  filsafat yang oleh fuqaha’ dipahami sebagai dua hal yang saling  berlawanan; agama membawa kebenaran, filsafat mengantarkan kesesatan.
Bagi Ibnu Rusyd, tidak demikian. Keduanya sama-sama dapat  mengantarkan kebenaran. Kebenaran yang dibawa agama tidak bertentangan  dengan kebenaran yang dilahirkan filsafat, begitu juga sebaliknya,  karena kebenaran tidak akan pernah bertentangan dengan kebenaran, yang  ada adalah; kebenaran dan kebenaran saling menguatkan (al-haqq la  yadladdu al-haqq, bal yuwafiquhu wa yasyhadu lah).
Tinjauan ulang soal Ijma’
Bagi Ibnu Rusyd, ijma’ (konsensus) dalam bidang teologi dan filsafat  tidak mungkin terjadi. Klaim “ijma’” dalam kedua wilayah ini hanya  bersifat asumtif (dhanniy), bukan pasti (yaqiniy).
Beberapa argumentasi yang disampaikan Ibnu Rusyd dalam meruntuhkan  klaim kepastian ijma’ ini antara lain: Ijma’ tidak mungkin terjadi  kecuali; (1) Membatasi masa dan mengetahui semua ulama, baik person  maupun jumlahnya yang akan dikatagorikan sebagai pihak yang telah  sepakat (mujmi’un). (2) Semua ulama yang mengadakan ijma’ sepakat atas  ketunggalan makna teks agama, yakni tidak memiliki makna luar (dhahir)  dan makna dalam (bathin). (3) Tidak ada pengetahuan yang dirahasiakan. (4)  Semua ulama menggunakan satu metode tertentu dalam ilmu agama.
Semua itu tidak mungkin. Sejak masa nabi, umat Islam melihat Teks  agama memiliki makna ganda, yakni dhahir dan bathin. Pengetahuan makna  bathin hanya menjadi konsumsi orang-orang tertentu yang memiliki  kapasitas menyingkap tabir yang menutup bagian dalam makna teks agama.  Karenanya, kata Ibnu Rusyd, Ali bin Abi Thalib pernah berpesan kepada  sahabat-sahabatnya supaya berbicara sesuai dengan pengetahuan audiennya:  “Hadditsu an-nasa bi ma ya’rifun (berbicarah kepada masyarakat sesuai  dengan pengetahuannya).”
Jika demikian, maka dapat dipastikan informasi tentang pengetahuan  yang dimiliki para sarjana muslim sejak generasi pertama, belum tentu  menunjukkan kesepakatannya dalam persoalan tertentu. Bisa saja ada  pengetahuan yang disimpan untuk konsumsi pribadi atau kalangan tertentu  dan tidak disampaikan ke publik lantaran pemahaman publik tidak dapat  mencernanya.
Berbeda dengan klaim ijma’ dalam filsafat dan teologi, dalam bidang  hukum Islam yang bersifat praktis (al-‘amaliyat) kemungkinan terjadi  ijma’ dapat diterima, karena bersifat kasat mata. Contohnya, pendapat  tentang keharusan mengerjakan aktivitas tertentu (shalat, seumpama) yang  sejak umat Islam generasi pertama dikerjakan dan tidak ada satu pun  ulama yang berbeda dengan pendapat itu, maka klaim ijma’ dalam persoalan  praktis ini dapat diterima. Tapi, sekali lagi, dalam wilayah filsafat  dan teologi yang bersifat penalaran (al-‘ilmiyat) tidak pernah terjadi.
Dengan berdasarkan argumentasi ini, Ibnu Rusyd hendak menyampaikan  bahwa seseorang boleh dan sah tidak sepakat atau berpendapat lain  tentang persoalan keyakinan (baca: teologi dan filsafat) yang oleh  sebagian pemikir telah diklaim sebagai “wilayah yang telah disepakati  umat Islam (mujma’)” sehingga seorang pun tidak boleh melanggarnya.
Dalam pembahasan “La Ijma’a fî al-Masa’il an-Nadhariyah (Tidak Ada  Konsensus dalam Persoalan Teoritis)” ini, Ibnu Rusyd mengutip pendapat  Abu Hamid al-Ghazali dan Abu al-Ma’ali yang tidak mengkafirkan orang  yang memberikan interpretasi lain dalam wilayah yang diklaim telah  terjadi ijma.
Ibnu Rusyd membangun argumentasi ini untuk membela para filsuf muslim  yang dituduh kafir lantaran mengeluarkan pendapat dan pemikiran yang  tidak sama dengan pendapat mayoritas umat Islam. Melalui Ibnu Rusyd,  Al-Ghazali, Abu al-Ma’ali, dan sarjana-sarjana muslim lainnya yang  membidangi ilmu-ilmu teoritis, umat Islam dapat mengambil pelajaran  tentang perlunya toleransi dalam menghadapi keberagaman pemikiran dan  keyakinan, serta tidak mudah menyesatkan atau mengkafirkan.
Pendapat Al Ghazali yang sebenarnya
Abu Hamid Al-Ghazali dalam bukunya yang berjudul “Tahafut  Al-Falasifah” menyatakan kafir terhadap Abu Nashr al-Farabi dan Ibnu  Sina lantaran keduanya berbicara 3 persoalan yang tidak disetujui  Al-Ghazali, yaitu; (1) keabadian alam semesta (qadm al-‘alam), (2) Tuhan  tidak mengetahui hal-hal partikular (la ya’lamu al-juz’iyat), dan (3)  kebangkitan jasad (hasyr al-ajsad).
Menurut Ibnu Rusyd, sejatinya Al-Ghazali tidak mengkafirkan keduanya.  Pemahaman demikian dapat dibuktikan dalam karyanya yang lain, yakni  “Faishal At-Tafriqah”, Al-Ghazali tidak menetapkan kafir terhadap orang  yang menolak ijma’ (baca: konsensus ulama) dalam persoalan yang memiliki  spekulasi makna.
Dalam hal ini, Ibnu Rusyd mendudukkan 3 persoalan metafisika itu ke  dalam wilayah multi tafsir, sehingga pendapat Al-Farabi dan Ibnu Sina  yang dianggap bertentangan dengan pendapat mayoritas umat Islam masuk  dalam katagori pemaknaan lain (ta’wîl) yang tidak dapat mengantarkannya  kepada kekafiran.
Ta’wîl, mengalihkan makna yang “tampak” ke makna yang lain, di tangan  Ibnu Rusyd  menjadi metodologi penting yang dapat menghalau sikap  intoleransi dan konservatisme dalam beragama.
Bagi Ibnu Rusyd, pengetahuan tentang ta’wîl ini menjadikan pemiliknya  mendapatkan kedudukan istimewa dalam tingkatan keimanan. Imannya  pemilik ilmu ta’wil dihasilkan dari jeripayahnya dalam mendayagunakan  akal pikiran, sementara imannya orang awam hanya berlandaskan pada  hasilnya. Karenanya, meskipun kedua golongan itu (orang yang mengerti  ta’wil dan orang yang hanya membebek) sama-sama disebut Allah dalam  Al-Quran sebagai “orang-orang yang beriman (mu’minun)”, namun keduanya  dibedakan dalam taraf keimanannya.
Melalui telaah 2 karya Al-Ghazali, “Tahafut Al-Falasifah” dan  “Faishal At-Tafriqah”, dalam bab “Takfir Al-Ghazali al-Falasifata  Mas’alah fî ha Nadhar (Pengkafiran Al-Ghazali Terhadap Filsuf adalah  Persoalan Yang Perlu Ditinjau Kembali)” Ibnu Rusyd hendak menyatakan  bahwa Al-Ghazali pada dasarnya tidak mengkafirkan Al-Farabi dan Ibnu  Sina, karena pendapat kedua filsuf muslim kenamaan itu berdasarkan pada  pendayagunaan akal pikiran terhadap persoalan yang memiliki  kemungkinan-kemungkinan makna.
Belajar dari Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd, seorang muslim tak boleh  gampang mengkafirkan saudaranya meskipun memiliki pendapat yang sangat  bertentangan dengan ajaran-ajaran yang menurut mayoritas umat Islam  sudah “terkunci”.



Reply

Use magic Report

You have to log in before you can reply Login | Register

Points Rules

 

ADVERTISEMENT



 

ADVERTISEMENT


 


ADVERTISEMENT
Follow Us

ADVERTISEMENT


Mobile|Archiver|Mobile*default|About Us|CARI Infonet

26-4-2024 04:32 PM GMT+8 , Processed in 0.475212 second(s), 24 queries .

Powered by Discuz! X3.4

Copyright © 2001-2021, Tencent Cloud.

Quick Reply To Top Return to the list