View: 8879|Reply: 33
|
ahli/tokoh FIQIR/FALSAFAH yg korang admired...
[Copy link]
|
|
:hmmlato, maybe...
(plā磘ō) , 427?—347 , Greek philosopher. Plato's teachings have been among the most influential in the history of Western civilization.
Life
After pursuing the liberal studies of his day, he became in 407 a pupil and friend of Socrates. From about 388 he lived for a time at the court of Dionysius the Elder, tyrant of Syracuse. On his return to Athens, Plato founded a school, the Academy, where he taught mathematics and philosophy until his death. His teaching was interrupted by two more visits to Syracuse (367 and 361 ), which he made in the vain hope of seeing his political ideals realized in Sicily.
Works and Philosophy
Plato was a superb writer, and his works are part of the world's great literature. His extant work is in the form of dialogues and epistles. Some of the dialogues and many of the epistles attributed to him are known to be spurious, while others are doubtful. In the various dialogues he touched upon almost every problem that has occupied subsequent philosophers. The dialogues are divided into three groups according to the probable order of composition.
Early Works
The earliest group of dialogues, called Socratic, include chiefly the Apology, which presents the defense of Socrates; the Meno, which asks whether virtue can be taught; and the Gorgias, which concerns the absolute nature of right and wrong. These early dialogues present Socrates in conversations that illustrate his main ideas–the unity of virtue and knowledge and of virtue and happiness. Each dialogue treats a particular problem without necessarily resolving the issues raised.
Philosophical Themes and Mature Works
Plato was always concerned with the fundamental philosophical problem of working out a theory of the art of living and knowing. Like Socrates, Plato began convinced of the ultimately harmonious structure of the universe, but he went further than his mentor in trying to construct a comprehensive philosophical scheme. His goal was to show the rational relationship between the soul, the state, and the cosmos. This is the general theme of the great dialogues of his middle years: the Republic, Phaedo, Symposium, Phaedrus, Timaeus, and Philebus. In the Republic he shows how the operation of justice within the individual can best be understood through the analogy of the operation of justice within the state, which Plato proceeds to set out in his conception of the ideal state. However, justice cannot be understood fully unless seen in relation to the Idea of the Good, which is the supreme principle of order and truth.
It is in these dialogues that the famous Platonic Ideas (see realism) are discussed. Plato argued for the independent reality of Ideas as the only guarantee of ethical standards and of objective scientific knowledge. In the Republic and the Phaedo he postulates his theory of Forms. Ideas or Forms are the immutable archetypes of all temporal phenomena, and only these Ideas are completely real; the physical world possesses only relative reality. The Forms assure order and intelligence in a world that is in a state of constant flux. They provide the pattern from which the world of sense derives its meaning.
The supreme Idea is the Idea of the Good, whose function and place in the world of Ideas is analogous to that of the sun in the physical world. Plato saw his task as that of leading men to a vision of the Forms and to some sense of the highest good. The principal path is suggested in the famous metaphor of the cave in the Republic, in which man in his uninstructed state is chained in a world of shadows. However, man can move up toward the sun, or highest good, through the study of what Plato calls dialectic. The supreme science, dialectic, is a method of inquiry that proceeds by a constant questioning of assumptions and by explaining a particular idea in terms of a more general one until the ultimate ground of explanation is reached.
The Republic, the first Utopia in literature, asserts that the philosopher is the only one capable of ruling the just state, since through his study of dialectic he understands the harmony of all parts of the universe in their relation to the Idea of the Good. Each social class happily performs the function for which it is suited; the philosopher rules, the warrior fights, and the worker enjoys the fruits of his labor. In the Symposium, perhaps the most poetic of the dialogues, the path to the highest good is described as the ascent by true lovers to eternal beauty, and in the Phaedo the path is viewed as the pilgrimage of the philosopher through death to the world of eternal truth.
Late Works
Many of the late dialogues are devoted to technical philosophic issues. The most important of these are the Theaetetus; the Parmenides, which deals with the relation between the one and the many; and the Sophist, which discusses the nature of nonbeing. Plato's longest work, the Laws, written during his middle and late periods, discusses in practical terms the nature of the state.
Bibliography
See translation of the dialogues by B. Jowett, ed. by D. J. Allan and H. E. Daley (4 vol., 4th ed., rev. 1953); A. E. Taylor, Plato: The Man and His Work (1927); R. Bambrough, ed., New Essays on Plato and Aristotle (1965); G. Vlastos, Platonic Studies (1973); G. F. Else, Plato and Aristotle on Poetry (1987); Jacob A. Kline, A Commentary on Plato's Meno (1989); C. Hampton, Pleasure, Knowledge, and Being: An Analysis of Plato's Philebus (1990). |
Rate
-
1
View Rating Log
-
|
|
|
|
|
|
|
DR HAMKA...details mengenai Dr Hamka akan holmes post nanti.... |
Rate
-
1
View Rating Log
-
|
|
|
|
|
|
|
Kata Whitehead " Selepas Plato yang lain-lain itu cuma catatan bawah sahaja". Untuk peminat yang tidak faseh bahasa Inggris saya turunkan artikel tentang Plato dalam bahasa Indonesia.
P L A T O
Plato dilahirkan di Athena, di tengah kekacauan perang Peloponesos tahun 427 S.M., dan meninggal di sana tahun 347 S.M. Ia berasal dari keluarga aristokrat yang turun-temurun memegang peranan penting dalam politik Athena. Ia pun bercita-cita sejak mudanya untuk menjadi orang negara. Tetapi perkembangan politik di masanya tidak memberi kesempatan kepadanya untuk mengikuti jalan hidup yang diinginkannya itu. Sejak berumur 20 tahun Plato mengikuti pelajaran Sokrates. Pelajaran itu yang memberi kepuasan baginya. Pengaruh Sokrates semakin lama semakin mendalam padanya. Ia menjadi murid Sokrates yang setia. Sampai akhir hayatnya, Sokrates tetap menjadi pujaannya. Sokrates bagi Plato adalah seorang yang sejujur-jujurnya dan seadil-adilnya, orang yang tak pernah berbuat salah. Hukuman yang ditimpakan kepada Sokrates dipandangnya suatu perbuatan zalim semata-mata. Ia sangat sedih dan menamakan dirinya sebagai seorang anak yang kehilangan bapak. Ia sedih, tetapi terpaku karena pendirian Sokrates yang menolak kesempatan untuk melarikan diri dari penjara, dengan memperingatkan ajarannya, "Lebih baik menderita kezaliman daripada berbuat zalim."
Plato mempunyai kedudukan istimewa sebagai seorang filsuf. Ia pandai menyatukan puisi dan ilmu, seni dan filosofi. Pandangan yang dalam dan abstrak sekalipun dapat dilukiskannya dengan gaya bahasa yang indah. Tidak ada seorang filsuf sebelumnya yang dapat dibandingkan dengannya dalam hal ini. Juga sesudahnya tak ada.
Sesudah Sokrates dihukum mati, Plato bersama teman-teman yang sealiran pindah ke Megara untuk meneruskan cita-cita guru mereka. Pada umur 40 tahun Plato pindah ke istana Dionysios I di kota Sirakus, Sisilia. Melalui raja itu ia ingin merealisasikan cita-citanya tentang penguasa yang adil. Namun, ia gagal total dan hampir saja dijual sebagai budak di pasar kota Aegina andaikata tidak kebetulan dilihat dan ditebus oleh seorang temannya. Plato akhirnya kembali ke Athena. Waktu temannya itu menolak untuk menerima kembali uang tebusan, Plato memakai uang itu untuk mendirikan Akademia, sekolah tersohor tempat ia mengajar. Karena itu, dapat dikatakan bahwa universitas Eropa pertama didirikan dengan uang harga penjualan seorang filsuf. Plato kembali ke Sisilia dua kali dan mencoba untuk mempengaruhi para penguasa di sana, tetapi selalu gagal. Tahun-tahun terakhir hidupnya dipergunakannya untuk mengajar di Akademia.
Selama kehidupan yang cukup ramai itu, Plato rajin menulis. Hampir semua tulisan Plato berupa dialog; dalam dialog itu pada umumnya Plato memakai Sokrates untuk mengemukakan pandangan-pandangannya. Semua karya Plato, lebih dari 25 jumlahnya, masih ada. Yang paling terkenal adalah 10 buku (atau bab) Politeia ("Negara"), yang memuat ajaran Plato yang termasyur tentang negara. Tulisan-tulisan itu amat berpengaruh terhadap pemikiran Eropa selanjutnya. Pernyataan Alfred N. Whitehead bahwa seluruh filsafat pasca-Plato hanyalah sekadar catatan kaki terhadap karya Plato tidak jauh dari kebenaran.
Filsafat Plato yang sampai kepada kita melalui karyanya itu bertitik pangkal pada adanya pertentangan antara Ada dan Menjadi, antara Satu dan Banyak, antara Tetap dan Berubah-ubah. Manakah dari kedua alternatif tersebut dapat dipilih sebagai titik pangkal filsafat yang memang sedang mencari satu asas utama? Manakah dari kedua alternatif itu dapat dianggap sebagai kenyataan (dan pengetahuan) yang sejati (Yunani: "ontos on", "benar-benar ada"), manakah yang semu (Yunani: "doza", "perkiraan" atau "maya")? Dalam dialog-dialognya, Plato menampilkan Sokrates beserta cara kerjanya supaya mereka yang menjadi kawan dialognya menemukan dalam diri mereka suatu kepastian pengetahuan. Pengetahuan itu berasal dari dalam jati dirinya yang bersifat bawaan (Inggris: Innate) sejak lahir. Pengetahuan itu mengalahkan segala keragu-raguan yang muncul berdasarkan segala penampilan dan pengalaman jasmani atau inderawi yang bermacam-macam (berganti-ganti, berubah-ubah). Oleh karena itu, terdapatlah pertentangan antara jati diri dengan penampilan yang dialami setiap manusia厖 bersambung:hmm::hmm::hmm: |
Rate
-
1
View Rating Log
-
|
|
|
|
|
|
|
PLATO II
Pemecahan atau pencairan pertentangan itu dirumuskan Plato lebih lanjut dengan memakai suatu istilah yang seakan-akan berasal dari dunia pengetahuan dalam arti amat luas. Istilah itu adalah idea. Kata Yunani itu mempunyai akar "Wid" dengan arti "melihat" dengan mata kepala (Latin: "Videra", Inggris: "Vision") maupun menatap dengan mata batin sampai "mengetahui" (Jerman: "Wissen"; Inggris: "Wisdom"). Menurut Plato, pada awalnya, jati diri atau jiwa manusia hidup di "dunia idea-idea" atau surga, dan dunia itu jauh dari dunia fana ini. Sejak awal jiwa berada di dunia fana - maka secara bawaan - ia menatap dengan batinnya idea-idea sempurna dan abadi; umpamanya idea tentang kebaikan, kebenaran, keindahan, keadilan, tetapi juga idea manusia atau kuda. Entahlah karena peristiwa apa, jiwa manusia itu "jatuh" dari dunia idea-idea itu ke dalam dunia ini sampai ke dalam "penjara" yaitu tubuh manusia. Melalui indera tubuhnya (terutama mata) ia melihat dan menatap dunia fana yang terdiri atas bayang-bayang atau "bayangan" dari idea-idea yang "semula" pernah ditatapnya secara murni. Lalu manusia ingat akan idea-idea murni itu yang "dahulu kala" ditatapnya dan yang secara bawaan memang menemaninya secara terselubung.
Untuk lebih memahami pikiran Plato tentang idea, kita dapat memakai perumpamaan yang terdapat di buku ketujuh Politeia, yaitu "perumpamaan tentang gua". Bayangkan sebuah gua; di dalamnya ada sekelompok tahanan yang tidak dapat memutarkan badan, duduk, menghadap tembok belakang gua. Di belakang para tahanan itu, di antara mereka dan pintu masuk, ada api besar. Di antara api dan para tahanan (yang membelakangi mereka) ada budak-budak yang membawa berbagai benda, patung, dan lainnya. Yang dapat dilihat oleh para tahanan hanyalah bayang-bayang dari benda-benda itu. Karena itu, mereka berpendapat bahwa bayang-bayang itulah seluruh realitas. Namun, ada satu dari para tahanan dapat lepas. Ia berpaling dan melihat benda-benda yang dibawa para budak dan api itu. Sesudah ia susah payah keluar dari gua dan matanya membiasakan diri pada cahaya, ia melihat pohon, rumah, dan dunia nyata di luar gua. Paling akhir ia memandang ke atas dan melihat matahari yang menyinari semuanya. Akhirnya ia mengerti, bahwa apa yang dulunya dianggap realitas bukanlah realitas yang sebenarnya, melainkan hanya bayang-bayang dari benda-benda yang hanya tiruan dari realitas yang sebenarnya di luar gua.
Plato memakai perumpamaan itu dalam rangka usahanya untuk menerangkan apa yang terjadi pada saat manusia mengenal atau mengetahui sesuatu. Sesuatu yang bukan lagi realitas inderawi, yang hanya cerminan realitas yang sebenarnya dalam medium materi (patung-patung yang meniru apa yang nyata-nyata ada). Melainkan sesuatu realitas yang sebenarnya, yang bersifat rohani. Pengetahuan sebagai hasil mengingat (anamnesis) akan suatu lapisan kesadaran bawaan dalam jati diri manusia itu, dicirikan oleh filsuf-filsuf modern sebagai pengetahuan berdasarkan intuisi. Melalui kesan dan pengamatan intuitif, manusia merasa bahwa ia sudah tahu, tanpa merasa perlu melakukan suatu pengamatan, penelitian atau penalaran lebih lanjut. Dan apabila seorang manusia sudah lebih dalam terlatih dalam hal intuisi, ia akan sanggup menatap dan seakan-akan memiliki sejumlah idea, "melihat matahari", misalkan tentang kebaikan, kebenaran, keadilan, tetapi juga tentang pemerintahan, negara, pendidikan, sampai idea-idea itu tampil di hadapannya secara berjenjang-jenjang atau hierarkis, yaitu: jenjang kebenaran, jenjang nilai-nilai, dan lain-lain. Berdasarkan nilai tertinggi kebenaran hingga nilai terendah maka dapat "ditarik" suatu kesimpulan deduktif, seperti yang terdapat dalam matematika. Manurut Plato, matematika adalah bentuk pengetahuan yang paling sempurna. Tak seorangpun ia ijinkan masuk ke dalam Akademia-nya kalau belum terlatih dalam matematika, terlatih dalam hal "menurunkan" kebenaran dan nilai partikular dari kebenaran dan nilai yang lebih umum.
Filsafat manusia Plato bersifat dualistis. Jiwa itu paling utama, "dipenjarakan" dalam tubuh. Uraian-uraian Plato harus dimengerti sebagai usaha berbentuk sastra untuk mengungkapkan suatu intuisi tentang hakikat manusia. Tetapi juga dalam usaha-usaha lainnya Plato tidak seluruhnya luput dari dualisme, umpamanya dalam perumpamaan tentang penunggang kuda dan kudanya, atau tentang manusia bersayap yang kehilangan sayap-sayapnya. Jasa Plato terletak dalam upayanya menyatupadukan pertentangan-pertentangan para filsuf pra-Sokrates. Namun ia belum selesai menyajikan suatu gambaran tentang pengetahuan manusia dan tentang manusia itu sendiri sebagai suatu gejala yang tunggal dan esa厖Bersambung |
Rate
-
1
View Rating Log
-
|
|
|
|
|
|
|
Originally posted by holmes at 21-1-2006 12:48 PM
DR HAMKA...details mengenai Dr Hamka akan holmes post nanti....
baru jer baca kata-kata hikmat dia ni...
CITA-CITA MEMBAWA MANUSIA KE GERBANG KEMULIAAN
ANGAN-ANGAN MEMBAWA MANUSIA TERJERUMUS KE LEMBAH KEHINAAN...
:hmm:sumthin' like dat... |
|
|
|
|
|
|
|
sara suka dgn falsafah Hamzah Fansuri
Hamzah Fansuri (16th century) was a famous Sumatran Sufi poet, the first to pen mystical pantheistic ideas into the Malay language. Fansuri's pantheism derived from the writings of the medieval Islamic scholars. He perceived God as immanent within all things, including the individual, and sought to unite one's self with the indwelling spirit of God.
Artist: Hamzah Fansuri
Confronting Bodies: The court of Aceh, followers of Nuruddin ar-Raniri
Date of Action: 1600s
Specific Location: Indonesia
Description of Artwork: Hamzah Fansuri defended the theological idea that all living things are one. He wrote his own verses, known for their original thought and expression, and codified traditional Maylay poetry.
Description of Incident: The orthodox Muslim teacher Nuruddin ar-Raniri ruled the court of Aceh in the mid-17th century. Nuruddin declared all theological works that opposed his own to be heretical. Hamzah Fansuri's writings, in addition to those of his students, were banned and burned.
Results of Incident: Hamzah Fansuri's ideas advanced among a small group of students. His beliefs are still debated and banned by orthodox Muslims in parts of Asia.
Source: Censorship, A World Encyclopedia, ed. D. Jones
Submitted By: NCAC
maklumat asal usul HAMZAH FANSURI
Kapur dari Barus dan Hamzah dari Fansur...
KAPUR barus seakan tidak bisa dipisahkan dari kota kecil di pantai barat Pulau Sumatera yang menjadi tempat asalnya, yaitu Barus yang memiliki nama lain Fansur.
Sedangkan Hamzah al Fansuri adalah sosok ulama sufi dari Barus yang namanya menggegerkan dunia Islam lewat syair-syair sufistiknya. Kapur dari Barus dan Hamzah dari Fansur adalah dua kisah dari zaman yang berbeda yang telah mengangkat nama kota ini dalam peta dunia.
Nama tempat Fansur atau Barus yang dikaitkan dengan penghasil kayu kamper sebagai penghasil kapur (kamfer atau al-kafur dalam bahasa Arab) terdapat dalam banyak sumber asli Arab, Persia, dan China dalam berbagai buku perjalanan, botani, kedokteran, dan pengobatan. Kapur, yang dalam bahasa Latin disebut camphora, merupakan bagian dalam (inti) kayu kamfer yang padat berisi minyak yang harum.
Al-Kindi, salah seorang intelektual Arab, menyebutkan kapur barus sebagai salah satu unsur penting untuk membuat wangi-wangian. Sekitar abad ke-8, kapur barus merupakan salah satu dari lima rempah dasar dalam ilmu kedokteran Arab dan Persia. Empat unsur yang lain adalah kesturi, ambar abu-abu, kayu gaharu, dan safran. Pada zaman Abbasiyah, hanya orang kaya dan para pemimpin saja yang menggunakan pewangi dari air kapur barus untuk cuci tangan selepas perjamuan makan.
Ibnu Sina atau yang dalam literatur Eropa dikenal sebagai Avicena, dalam bukunya yang terkenal tentang ensiklopedia pengobatan dan obat-obatan, yaitu Al Qanun Fi al-Tib, mencatat manfaat kamfer sebagai obat penenang dan mendinginkan suhu badan yang tinggi. Kamfer juga dipakai sebelum dan sesudah pembedahan, sebagai obat liver, obat diare, sakit kepala, mimisan, dan sariawan. Kapur barus juga dipakai untuk memandikan jenazah sebelum dikuburkan. Variasi penggunaan kapur barus ini menyebabkan nilai jualnya sangat tinggi.
Manfaat kapur barus ini kemudian menyebar ke Yunani dan Armenia karena pada periode tersebut ilmu kedokteran dari Arab dan Persia menjadi acuan dunia. Nilai jual kapur barus pun kian mendunia.
Namun, produksi kapur barus yang merupakan komoditas perdagangan saudagar dari berbagai penjuru dunia itu kini tak lagi bisa ditemui di Barus. Pembuatan kapur barus seakan tak pernah dikenal di kota tersebut.
Kayu kamfer yang menjadi sumber kapur barus juga sulit lagi ditemui. Pembukaan hutan untuk transmigran Jawa di Mandua-Mas dan alih fungsi hutan untuk perkebunan kelapa sawit, dinilai sebagai penyebab hilangnya kayu kamfer tersebut. "Tak ada lagi masyarakat Barus yang tahu tentang cara pengolahan kayu kamfer menjadi kapur barus. Bahkan, wujud pohon kamfer pun kini sulit ditemukan di sini, sepertinya pohon itu telah lama musnah. Sejarah kota ini telah terputus," ungkap Tajuddin Batubara, tokoh masyarakat Barus.
JEJAK Hamzah al Fansuri atau Hamzah dari Fansur yang hidup pada abad ke-16 hingga ke-17, juga hampir sama samarnya dengan kisah tentang kapur barus. Dari keberlangsungan ajarannya, sulit untuk meyakinkan orang, pemikir sufistik itu berasal dari Fansur karena jejak-jejak ajarannya tak bisa lagi ditemui di kota ini. Bukti tentang kaitan antara Hamzah dan Fansur hanya bisa ditemukan lewat syair-syair sufistiknya yang sarat makna.
Menurut sastrawan Abdul Hadi MW, Hamzah Fansuri merupakan pencipta "syair Melayu" yang bercirikan puisi empat baris dengan pola sajak akhir "a-a-a-a". Bakatnya sebagai sastrawan besar tampak dalam kesanggupan kreatifnya merombak bahasa lama menjadi bahasa baru dengan cara memasukkan ratusan kata Arab, istilah konseptual dari Al Quran dan falsafah Islam. Bahasa ini lantas tampil sebagai bahasa intelektual yang dihormati sebab dapat menampung gagasan baru yang diperlukan pada zaman itu.
Peranan penting Hamzah al Fansuri dalam sejarah pemikiran dunia Melayu Nusantara bukan saja karena gagasan tasawufnya, tetapi puisinya yang mencerminkan pergulatan penyair menghadapi realitas zaman dan pengembaraan spiritualnya.
Salah satu karya penting dari Hamzah Fansuri adalah Zinat Al-Wahidin yang ditulis pada akhir abad ke-16 ketika perdebatan sengit tentang paham wahdat al-wujud sedang berlangsung dengan tegang di Sumatera. Teks ini diyakini oleh para peneliti sebagai kitab keilmuan pertama yang ditulis dalam bahasa Melayu.
Hamzah Fansuri juga dikenal sebagai seorang pelopor dan pembaru melalui karya-karya Rubba al Muhakkikina, Syair Perahu, dan Syair Dagang. Kritiknya yang tajam terhadap perilaku politik dan moral raja-raja, para bangsawan, dan orang-orang kaya, menempatkannya sebagai seorang intelektual yang berani pada zamannya.
MEMANG, sampai kini belum ada kesepakatan di antara para ahli apakah Hamzah menamakan dirinya Fansuri karena dia lahir di Barus, atau karena dia pernah hidup dan bekerja di tempat itu. Tetapi, yang jelas dia kenal pelabuhan itu dan menghabiskan sebagian hidupnya di situ.
Nama Barus juga muncul beberapa kali dalam karya-karyanya. "Hamzah ini asalnya Fansuri, Mendapat wujud di tanah Shahrnawi, Beroleh khilafat ilmu yang 抋li, Daripada 扐bd al-Qadir Jilani...," demikian salah satu syairnya.
Kedekatan penyair sufi ini dengan lingkungan Barus, dengan lautnya, penghidupan, dan budaya masyarakatnya, juga bisa dilihat dari syairnya yang lain, "Hamzah di negeri Melayu, Tempatnya kapur di dalam kayu...".
Tetapi, kisah Barus sebagai penghasil kapur barus memang telah pupus. Sebagaimana dituliskan oleh Hamzah Fansuri dalam syairnya, pelajaran tentang "mati" seharusnya memberi pelajaran tentang hidup. (aik)
[ Last edited by mysara at 23-1-2006 06:55 PM ] |
Rate
-
1
View Rating Log
-
|
|
|
|
|
|
|
PLATO III
Etika Plato, yang didasarkan pada etika Sokrates, amat menekankan unsur pengetahuan. Bila orang sudah cukup tahu, pasti ia akan hidup menurut pengetahuannya itu. Oleh karena itu, dalam rangka dialog-dialognya Sokrates seringkali cukup bagus menyadarkan orang akan adanya suara batin. Pendapat Plato seterusnya tentang etika bersendi pada ajarannya tentang idea. Tanda dunia idea adalah tidak berubah-ubah, pasti dan tetap dan merupakan bentuk yang asal. Itulah yang membedakannya dari dunia yang nyata, yang berubah senantiasa. Dalam perubahan itu dapat ditimbulkan bentuk-bentuk tiruan dari bangunan yang asal, dari dunia idea. Sebab itu ada dua jalan yang dapat ditempuh untuk melaksanakan dasar etika:
Pertama, melarikan diri dalam pikiran dari dunia yang lahir dan hidup semata-mata dalam dunia idea. Kedua, mengusahakan berlakunya idea itu dalam dunia yang lahir ini. Dengan perkataan lain: melaksanakan "hadirnya" idea dalam dunia ini. Tindakan yang pertama adalah ideal, yang kedua kelihatan lebih riil. Kedua jalan itu ditempuh oleh Plato. Pada masa mudanya, seperti tersebut dalam bukunya Phaedros, Gorgias, Thaetet dan Phaedon, ia melalui jalan pertama. Pelaksanaan etikanya didasarkan pada memiliki idea sebesar-besarnya dengan menjauhi dunia yang nayata. Hidup diatur sedemikian rupa, sehingga timbul cinta dan rindu kepada idea.
Plato mungkin merasakan kemudian, bahwa ideal itu sukar dilaksanakan. Dalam bagian kedua hidupnya ia berpaling ke jalan yang kedua. Sungguhpun bangunan-bangunan tiruan dari idea jauh lebih sempurna, sikap hidup diatur sedemikian rupa, supaya dunia yang lahir "ikut serta" pada idea. Cara itu dibentangkan di dalam bukunya Republik, dengan menciptakan suatu negara ideal.
Filsafat Negara Plato menjadi amat terkenal. Pemikirannya tentang filsafat negara malah menjadi acuan atau motivasi untuk mengembangkan epistemologi, filsafat manusia maupun etikanya lebih lanjut. Dapat digambarkan sebagai berikut:
SUSUNAN MANUSIA KEUTAMAAN-KEUTAMAAN SUSUNAN NEGARA
akal budi kebijaksanaan para pemimpin
kehendak yang kuat keberanian para prajurit
tubuh keadilan para hakim
keugaharian petani dan tukang
Seperti halnya akal budi dan pengetahuan manusia adalah sumber hikmat dan kebijaksanaan yang menentukan segala keutamaan etis yang hendak dikembangkan, demikianlah para filsuf hendaknya dijadikan pemimpin negara dengan para prajurit, dan, pada tahap yang lebih rendah, para petani dan tukang di bawah mereka. Dan sama seperti keseimbangan, antara segala keutamaan diatur keadilan, demikianlah para hakim menjamin kekuatan dan kemakmuran negara di bawah pimpinan para filsuf.
Tentang filsafat ketuhanan, Plato tidak mempunyai kedudukan yang jelas. Meskipun Plato seringkali membicarakan atau menyinggung Yang Ilahi (paling bagus dalam dialog yang berjudul Symposium), dan meskipun ia jelas sekali tidak setuju dengan adanya para dewa dan dewi mitologi Yunani yang disembah khalayak ramai, namun paham tentang Allah Pencipta dan Yang Esa tidak ditemukan dalam karya Plato; ada "Demiurg" yang pandai mengatur segala apa yang kita saksikan, tetapi bukan sebagai pencipta. Dunia idea-idea tentu saja tempat di mana Yang Ilahi itu muncul dalam filsafat Plato, maka manusia yang melalui filsafat berusaha mendekati idea-idea itu, mendekati Yang Ilahi itu juga. Dari hal ini, filsafat ketuhanan Plato kemudian berpengaruh menjadi penunjuk dan pintu menuju berbagai bentuk mistik dan kebatinan.:hmm::hmm: |
Rate
-
1
View Rating Log
-
|
|
|
|
|
|
|
I studied some of the famous Musllim thinkers and noticed that quite a few of them who adopted the Greek classic work in their works. Followig are the list of thinkers which I can consider worth to be admired.
Muslim Philosophers who mastered the Greek Philosophy.I
Greek or to be precise Hellenistic philosophy came into the Muslim world by way of Syriac. At Haran, in northern Iraq, a philosophical school kept versions of the Hellenistic philosophical heritage intact in either the original Greek or in Syriac translations. In the time of the Abbasid rule, that fertile period, in which the Greek heritage was being translated into Arabic. The Caliph at first was interested to see what sciences there were there, then works on civil administration, then to ethical works, if any then it was all works. So it was no surprise that there was a vigorous effort to translate all the works (ca. 754-833).
[2] At first, some of the translations were not from good original copies but as the demand for the philosophical literature was up more and better copies were found. Interestingly however, some important works never made it into Arabic for example the politics of Aristotle (c.f. Aristu) was never found. Also among the bad copies/translations was Aristotle's poetics. To make matters even worst, some of Plotinus' Enneads would be translated under the title of the 揟heology of Aristotle |
Rate
-
1
View Rating Log
-
|
|
|
|
|
|
|
Muslim Philosophers who mastered the Greek Philosophy. II
Philosophy in the Muslim West:
[14] The works of al-Ghazali would have an interesting history in Andalusia. Part of the mystery is due in part to the fame that al-Ghazali achieved. Some theological and esoteric not to mention heretical works be written by anonymous authors and attributed to al-Ghazali. Add to the fact that al-Ghazali would change his mind on some issues of legislation and theology. These two elements added together led to a misunderstanding of al-Ghazali.
[15] A major figure in Andalusia who contributed to the misunderstanding of al-Ghazali is a personal physician of Almohad caliph Abu Ya抭ub Yusuf (1163-1184). Ibn Tufyal (1106-1185) dappled in neo-Platonism and followed the esoteric teachings of Avicenna in addition to his flourishing medical career. He is the celebrated author of the fictional philosophical romance entitled 揌ayy bin Yaqthan |
Rate
-
1
View Rating Log
-
|
|
|
|
|
|
destiny_01 This user has been deleted
|
Saya berminat dengan ahli falsafah SERIBULAN yang pandai berfalsafah di dalam thread "Koleksi Petikan Kata Hikmat"....
Terima kasih di atas falsafah-falsafah beliau...... |
Rate
-
1
View Rating Log
-
|
|
|
|
|
|
|
Reply #11 destiny_01's post
Pujian adalah makanan minda dan ia meransang otak. Otak yang terangsang
hasil daripada pujian yang tulus menjadikannya lebih kreatif... |
Rate
-
1
View Rating Log
-
|
|
|
|
|
|
|
Reply #12 seribulan's post
Pujian juga merupakan suatu testimoni akan wujudnya kejayaan yang dapat menggembirakan hati org lain. |
|
|
|
|
|
|
|
Doctor of doctors
Ibn Sina a.k.a Avicienna
[ Last edited by mrs_livingstone at 1-2-2006 11:54 PM ] |
Rate
-
1
View Rating Log
-
|
|
|
|
|
|
|
errr...tokoh falsafah ke avicienna tu?:stp: |
|
|
|
|
|
|
|
Reply #16 mrs_livingstone's post
from Wiki...
Ibnu Sina (980-1037) dikenal juga sebagai Avicenna di Dunia Barat adalah seorang filsuf, ilmuwan, dan juga dokter kelahiran Persia (sekarang sudah menjadi bagian Uzbekistan). Beliau juga seorang penulis yang produktif dimana sebagian besar karyanya adalah tentang filosofi dan pengobatan. Bagi banyak orang, beliau adalah "Bapak Pengobatan Modern" dan masih banyak lagi sebutan baginya yang kebanyakan bersangkutan dengan karya-karyanya di bidang kedokteran. Karyanya yang sangat terkenal adalah Qanun fi Thib yang merupakan rujukan di bidang kedokteran selama berabad-abad.
BIO beliau:dia:http://www.infoalirsyad.com/edisi81/index-18.html
[ Last edited by seribulan at 2-2-2006 09:55 AM ] |
Rate
-
1
View Rating Log
-
|
|
|
|
|
|
|
Originally posted by Nara_Gaara at 31-1-2006 09:38 PM
HAMKA.....
HAMKA (1908-1981), ulam, aktivis politik dan penulis Indonesia. Dia lahir pada 17 Februari 1908 di kampung Molek, Meninjau, Sumatera Barat, Indonesia. Nama sebenarnya ialah Haji Abdul Malik bin Abdul Karim. Ayahnya ialah Syekh Abdul Karim bin Amrullah atau dikenali sebagai Haji Rasul, seorang pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau, sekembalinya dari Makkah pada tahun 1906.
HAMKA mendapat pendidikan rendah di Sekolah Dasar Meninjau hingga Darjah Dua. Ketika usia HAMKA 10 tahun, ayahnya mendirikan Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Di situ HAMKA mempelajari agama dan bahasa Arab. HAMKA juga pernah mengikuti pengajaran agama di surau dan masjid yang diberikan ulama terkenal seperti Syekh Ibrahim Musa, Syekh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur, R. M Surjoparonto dan Ki Bagus Hadikusumo.
HAMKA lebih banyak belajar sendiri dan melakukan penyelidikan meliputi pelbagai bidang ilmu pengetahuan seperti falsafah, kesusasteraan, sejarah, sosiologi dan politik sama ada Islam atau Barat.
Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, dia dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-慉qqad, Mustafa al-Manfaluti dan Husein Haikal. Melalui bahasa Arab juga, dia meneliti karya sarjana Perancis, Inggeris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Freud, Toynbee, Jean Sartre, Karl Marx dan Pierre Loti.
HAMKA juga rajin membaca dan bertukar-tukar fikiran dengan tokoh terkenal Jakarta seperti HOS Chokroaminoto, Raden Mas Surjoparonoto, Haji Fakrudin, Ar Sutan Mansur dan Ki Bagus Hadikusumo sambil dia mengasah bakatnya hingga menjadi seorang pemidato yang handal.
Kerjaya HAMKA bermula sebagai guru agama pada tahun 1927 di Perkebunan Tebing Tinggi, Medan dan guru agama di Padang Panjang pada tahun 1929. HAMKA kemudian dilantik sebagai pensyarah di Universitas Islam, Jakarta dan Universitas Muhammadiyah, Padan Panjang dari tahu 1957 hingga tahun 1958. Setelah itu, dia dilantik sebagai Rektor Perguruan Tinggi Islam, Jakarta dan Profesor Universitas Mustapo, Jakarta. Dari tahun 1951 hingga tahun1960, dia dilantik sebagai Pegawai Tinggi Agam ole Menteri Agama Indonesia, tetapi meletakan jawatan apabila Sukarno memberi kata dua sama ada menjadi pegawai kerajaan atau bergiat dalam politik Majlis Syura Muslim Indonesia (Masyumi).
HAMKA juga aktif dalam gerakan Islam melalui pertubuhan Muhammadiyah. Dia menyertai pertubuhan itu mulai tahu 1925 bagi menentang khurafat, bidaah, tarekat dan kebatinan sesat di Padang Panjang. Mulai tahu 1928, dia mengetuai cawangan Muhammadiyah di Padang Panjang. Pada tahun 1929, HAMKA mendirikan pusat latihan pendakwah Muhammadiyah. Pada tahun 1931, dia menjadi Konsul Muhammadiyah di Makasar. Kemudian dia terpilih menjadi Ketua Majlis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat oleh Konferensi Muhammadiyah menggantikan S. Y. Sutan Mangkuto pada tahun 1946.
Dia menyusun kembali pembangunan dalam Kongres Muhammadiyah ke-31 di Jogjakarta pada tahun 1950. Pada tahun 1953, HAMKA dipilih sebagai Penasihat Pimpinan Pusat Muhammadiah.
Pada 26 Julai 1957, Menteri Agama Indonesia iaitu Mukti ali melantik HAMKA sebagai ketua Umum Majlis Ulama Indonesia tetapi dia meletak jawatan pada tahun 1981 kerana nasihatnya diketepikan oleh pemerintah Indonesia.
Kegiatan politik Hamka bermula pada tahun 1925 apabila dia menjadi anggota parti politik Sarekat Islam. Pada tahun 1945, dia membantu menentang kemaraan kembali penjajah Belanda ke Indonesia melalui pidato dan menyertai kegiatan gerila di dalam hutan di Medan. Pada tahun 1947, HAMKA dilantik sebagai Ketua Front Pertahanan Nasional, Indonesia. Dia menjadi anggota Konstituante Masyumi dan menjadi pemidato utama dalam Pilihan Raya Umum 1955. Masyumi kemudiannya diharamkan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1960. Dari tahun 1964 hingga tahun1966, HAMKA dipenjarakan oleh Presiden Sukarno kerana dituduh pro-Malaysia. Setelah keluar dari penjara, HAMKA dilantik sebagai ahli Badan Musyawarah Kebajikan Nasional, Indonesia, anggota Majlis Perjalanan Haji Indonesia dan anggota Lembaga Kebudayaan Nasional, Indonesia.
Di samping aktif di Indonesia, HAMKA juga aktif pada peringkat antarabangsa. Pada tahun 1950, dia mengunjungi Arab Saudi, Mesir, Syria, Iraq dan Lebanon untuk membincangkan hal-hal yang berhubung dengan agama Islam. Pada tahun 1952, dia melawat Amerika Syarikat selama empat bulan atas tajaan State Department. Pada tahun1954, HAMKA mengunjungi Burma sebagai wakil Departemen Indonesia sempena perayaan 2000 tahun Buddha. Pada taun 1958, dia menyertai seminar Islam di Lahore dan pada tahun 1967 HAMKA menjadi tetamu kerajaan Malaysia.
Selain aktif dalam soal keagamaan dan politik, HAMKA merupakan seorang wartawan, penulis, editor dan penerbit. Sejak tahun 1920-an lagi, HAMKA menjadi wartawan beberapa buah akhbar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, dia menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, dia menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makasar. HAMKA juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat dan Gema Islam.
HAMKA juga menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif seperti novel dan cerpen. Karya ilmiah terbesarnya ialah Tafsir al-Azhar (5 jilid) dan antara novelnya termasuklah Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Kaabah dan Merantau ke Deli.
HAMKA pernah menerima beberapa anugerah pada peringkat nasional dan antarabangsa seperti Doktor Honoris Causa, Universiti al-Azhar, 1958; Doktor honoris Causa, Universiti Kebangsaan Malaysia, 1974 dan gelaran Datuk Indono dan Pengeran Wiroguno daripada kerajaan Indonesia.
HAMKA meninggal dunia pada 24 Julai 1981.
http://members.tripod.com/~sasteramaya/Hamka.htm
[ Last edited by seribulan at 2-2-2006 09:54 AM ] |
Rate
-
1
View Rating Log
-
|
|
|
|
|
|
|
Reply #18 seribulan's post
TQ seribulan.Nara pernah baca buku biografi yang anak arwah tulis.Kelakar,sedih,marah(bukan arwah) dan menginsafkan diri.Teringin nak baca karya2 beliau yang lain spt Tafsir Al Azhar. |
|
|
|
|
|
|
|
Sepanjang Nara blajar kat U dulu,ada beberapa lecturer yang Nara kagumi kerana pemikiran mereka terutama dalam falsafah sains.Antaranya Prof Dr. Shaharir,Prof Mohd. Yusof Othman(beliau dapat hadiah penghargaan Maal Hijarah yang lalu),Prof Baharudin Yatim dan Dr.Arip Kasmo. |
Rate
-
1
View Rating Log
-
|
|
|
|
|
|
| |
Category: Belia & Informasi
|