Liputan6.com, Yogyakarta: Liar dan dinamis. Dua kata ini rasanya cocok menggambarkan eksplorasi pakem musik keroncong yang dilakoni kelompok Sri Redjeki. Lirik, irama, dan dandanan para personelnya mencerminkan energi pembebasan. Kelompok ini bahkan tak ragu memasukkan unsur rhythm rock pada lagu Watu Cilik yang syairnya jujur dan polos.
Meski begitu, musik garapan Sri Redjeki tak pernah lepas dari instrumen khas keroncong, semisal ukulele dengan cuk tiga senar sebagai pengiring. Ditambah kebebasan menyanyi dan berjoget yang mencirikan kelompok ini menganut keroncong ndagel alias keroncong humor. Keroncong ndagel tumbuh subur di Yogyakarta sejak awal 2000. Motor penggeraknya adalah mahasiswa sebuah institut seni di Kota Pelajar itu.
Lain Sri Redjeki, lain pula grup keroncong Tjongpik. Grup ini mengusung penampilan nyentrik ala tahun 70-an lengkap dengan dandanan safari layaknya pejabat. Musik keroncong Tjongpik pun agak berbeda. Tjongpik mencampurkan petikan ukulele dengan unsur musik blues. Orkes Tjongpik bermain dengan dua jenis bas, yakni selo sebagai bas kedua yang berpadu dengan bas elektrik.
Sekilas menengok sejarah, keroncong bermula dari sejenis musik yang terdengar di kawasan Afrika Utara. Karena dimainkan oleh suku Moor, musik ini lantas disebut moresco. Moresco lalu dibawa pulang ke kampung halaman oleh para penjelajah Portugis dan menjadi amat populer. Musik ini mampu menjadi pelipur hati ketika sejumlah warga Portugis ditawan tentara Belanda di Batavia--nama Jakarta saat penjajahan Belanda.
Sampai saat ini, moresco dilestarikan oleh sejumlah keturunan Portugis di Kampung Tugu, Jakarta Utara. Musik inilah yang akhirnya menjelma menjadi aneka keroncong masa kini. Grup keroncong Tugu bangkit awal era 70-an dan kini telah mencapai generasi ke-10. Bahkan, anak-anak di Kampung Tugu berlatih keroncong setiap pekan.
Menyebut keroncong, pasti identik dengan ukulele. Walau alatnya datang dari Portugis, nama ukulele ternyata berasal dari Hawaii ketika para tentara Portugis menjajahi wilayah tersebut. Ukulele sendiri konon memiliki arti "hadiah yang datang ke sini." Alat musik berbentuk gitar kecil ini pada umumnya berbahan dasar kayu mahoni, mapel, kenari, dan jati.
Keroncong kini disebut musik tradisional. Namun, masa kepopulerannya tak lepas dari peran dan kekuatan para seniman. Salah satu tokoh keroncong ala Solo adalah Waljinah. Penyanyi berusia 64 tahun itu telah menghasilkan puluhan album dan ratusan lagu keroncong populer yang jenisnya berbeda dengan keroncong moresco.
Waljinah pertama kali mengenal keroncong pada usia tujuh tahun dan menjadi penyanyi profesional saat belasan tahun. Waljinah yang terobsesi melestarikan keroncong sebagai tradisi Solo, sekarang mengajar keroncong gratis pada anak-anak di kota tersebut. Dengan begitu, keroncong juga digemari generasi muda dan tak lekang oleh zaman.(IKA/ANS)