CARI Infonet

 Forgot password?
 Register

ADVERTISEMENT

View: 11166|Reply: 14

Suku Betawi

  [Copy link]
Post time 21-6-2011 08:51 PM | Show all posts |Read mode
Suku Betawi berasal dari hasil kawin-mawin antaretnis dan bangsa di masa lalu. Secara biologis, mereka yang mengaku sebagai orang Betawi adalah keturunan kaum berdarah campuran aneka suku dan bangsa yang didatangkan oleh Belanda ke Batavia. Apa yang disebut dengan orang atau suku Betawi sebenarnya terhitung pendatang baru di Jakarta. Kelompok etnis ini lahir dari perpaduan berbagai kelompok etnis lain yang sudah lebih dulu hidup di Jakarta, seperti orang Sunda, Jawa, Arab, Bali, Sumbawa, Ambon, Melayu dan Tionghoa.



Istilah Betawi

Kata Betawi digunakan untuk menyatakan suku asli yang menghuni Jakarta dan bahasa Melayu Kreol yang digunakannya, dan juga kebudayaan Melayunya. Kata Betawi sebenarnya berasal dari kata "Batavia," yaitu nama kuno Jakarta yang diberikan oleh Belanda.

Sejarah

Diawali oleh orang Sunda (mayoritas), sebelum abad ke-16 dan masuk ke dalam Kerajaan Tarumanegara serta kemudian Pakuan Pajajaran. Selain orang Sunda, terdapat pula pedagang dan pelaut asing dari pesisir utara Jawa, dari berbagai pulau Indonesia Timur, dari Malaka di semenanjung Malaya, bahkan dari Tiongkok serta Gujarat di India.

Antropolog Universitas Indonesia, Dr. Yasmine Zaki Shahab, MA memperkirakan, etnis Betawi baru terbentuk sekitar seabad lalu, antara tahun 1815-1893. Perkiraan ini didasarkan atas studi sejarah demografi penduduk Jakarta yang dirintis sejarawan Australia, Lance Castle. Di zaman kolonial Belanda, pemerintah selalu melakukan sensus, yang dibuat berdasarkan bangsa atau golongan etnisnya. Dalam data sensus penduduk Jakarta tahun 1615 dan 1815, terdapat penduduk dari berbagai golongan etnis, tetapi tidak ada catatan mengenai golongan etnis Betawi.

Rumah Bugis di bagian utara Jl. Mangga Dua di daerah kampung Bugis yang dimulai pada tahun 1690. Pada awal abad ke 20 ini masih terdapat beberapa rumah seperti ini di daerah Kota. Hasil sensus tahun 1893 menunjukkan hilangnya sejumlah golongan etnis yang sebelumnya ada. Misalnya saja orang Arab dan Moor, orang Jawa dan Sunda, orang Sulawesi Selatan, orang Sumbawa, orang Ambon dan Banda, dan orang Melayu.

Suku Betawi

Pada tahun 1930, kategori orang Betawi yang sebelumnya tidak pernah ada justru muncul sebagai kategori baru dalam data sensus tahun tersebut. Jumlah orang Betawi sebanyak 778.953 jiwa dan menjadi mayoritas penduduk Batavia waktu itu.

Antropolog Universitas Indonesia lainnya, Prof Dr Parsudi Suparlan menyatakan, kesadaran sebagai orang Betawi pada awal pembentukan kelompok etnis itu juga belum mengakar. Dalam pergaulan sehari-hari, mereka lebih sering menyebut diri berdasarkan lokalitas tempat tinggal mereka, seperti orang Kemayoran, orang Senen, atau orang Rawabelong.

Pengakuan terhadap adanya orang Betawi sebagai sebuah kelompok etnis dan sebagai satuan sosial dan politik dalam lingkup yang lebih luas, yakni Hindia Belanda, baru muncul pada tahun 1923, saat Husni Thamrin, tokoh masyarakat Betawi mendirikan Perkoempoelan Kaoem Betawi. Baru pada waktu itu pula segenap orang Betawi sadar mereka merupakan sebuah golongan, yakni golongan orang Betawi.

Ada juga yang berpendapat bahwa orang Betawi tidak hanya mencakup masyarakat campuran dalam benteng Batavia yang dibangun oleh Belanda tapi juga mencakup penduduk di luar benteng tersebut yang disebut masyarakat proto Betawi. Penduduk lokal di luar benteng Batavia tersebut sudah menggunakan bahasa Melayu, yang umum digunakan di Sumatera, yang kemudian dijadikan sebagai bahasa nasional.

Selain itu, perjanjian antara Surawisesa (raja Kerajaan Sunda) dengan bangsa Portugis pada tahun 1512 yang membolehkan Portugis untuk membangun suatu komunitas di Sunda Kalapa mengakibatkan perkawinan campuran antara penduduk lokal dengan bangsa Portugis yang menurunkan darah campuran Portugis. Dari komunitas ini lahir musik keroncong.

Setelah kemerdekaan

Sejak akhir abad yang lalu dan khususnya setelah kemerdekaan (1945), Jakarta dibanjiri imigran dari seluruh Indonesia, sehingga orang Betawi — dalam arti apapun juga — tinggal sebagai minoritas. Pada tahun 1961, 'suku' Betawi mencakup kurang lebih 22,9 persen dari antara 2,9 juta penduduk Jakarta pada waktu itu. Mereka semakin terdesak ke pinggiran, bahkan ramai-ramai digusur dan tergusur ke luar Jakarta. Walaupun sebetulnya, ’suku’ Betawi tidaklah pernah tergusur atau digusur dari Jakarta, karena proses asimilasi dari berbagai suku yang ada di Indonesia hingga kini terus berlangsung dan melalui proses panjang itu pulalah ’suku’ Betawi hadir di bumi Nusantara.

Seni dan kebudayaan

Budaya Jakarta merupakan budaya mestizo, atau sebuah campuran budaya dari beragam etnis. Sejak zaman Belanda, Jakarta merupakan ibu kota Indonesia yang menarik pendatang dari dalam dan luar Nusantara. Suku-suku yang mendiami Jakarta antara lain, Jawa, Sunda, Minang, Batak, dan Bugis. Selain dari penduduk Nusantara, budaya Jakarta juga banyak menyerap dari budaya luar, seperti budaya Arab, Tiongkok, India, dan Portugis.

Suku Betawi sebagai penduduk asli Jakarta agak tersingkirkan oleh penduduk pendatang. Mereka keluar dari Jakarta dan pindah ke wilayah-wilayah yang ada di provinsi Jawa Barat dan provinsi Banten. Budaya Betawi pun tersingkirkan oleh budaya lain baik dari Indonesia maupun budaya barat. Untuk melestarikan budaya Betawi, didirikanlah cagar budaya di Situ Babakan.

Bahasa

Sifat campur-aduk dalam dialek Betawi adalah cerminan dari kebudayaan Betawi secara umum, yang merupakan hasil perkawinan berbagai macam kebudayaan, baik yang berasal dari daerah-daerah lain di Nusantara maupun kebudayaan asing.

Ada juga yang berpendapat bahwa suku bangsa yang mendiami daerah sekitar Batavia juga dikelompokkan sebagai suku Betawi awal (proto Betawi). Menurut sejarah, Kerajaan Tarumanagara, yang berpusat di Sundapura atau Sunda Kalapa, pernah diserang dan ditaklukkan oleh kerajaan Sriwijaya dari Sumatera. Oleh karena itu, tidak heran kalau etnis Sunda di pelabuhan Sunda Kalapa, jauh sebelum Sumpah Pemuda, sudah menggunakan bahasa Melayu, yang umum digunakan di Sumatera, yang kemudian dijadikan sebagai bahasa nasional.

Karena perbedaan bahasa yang digunakan tersebut maka pada awal abad ke-20, Belanda menganggap orang yang tinggal di sekitar Batavia sebagai etnis yang berbeda dengan etnis Sunda dan menyebutnya sebagai etnis Betawi (kata turunan dari Batavia). Walau demikian, masih banyak nama daerah dan nama sungai yang masih tetap dipertahankan dalam bahasa Sunda seperti kata Ancol, Pancoran, Cilandak, Ciliwung, Cideng (yang berasal dari Cihideung dan kemudian berubah menjadi Cideung dan tearkhir menjadi Cideng), dan lain-lain yang masih sesuai dengan penamaan yang digambarkan dalam naskah kuno Bujangga Manik[1] yang saat ini disimpan di perpustakaan Bodleian, Oxford, Inggris.

Meskipun bahasa formal yang digunakan di Jakarta adalah Bahasa Indonesia, bahasa informal atau bahasa percakapan sehari-hari adalah Bahasa Indonesia dialek Betawi.
Reply

Use magic Report


ADVERTISEMENT


 Author| Post time 21-6-2011 09:03 PM | Show all posts
Musik

Dalam bidang kesenian, misalnya, orang Betawi memiliki seni Gambang Kromong yang berasal dari seni musik Tionghoa, tetapi juga ada Rebana yang berakar pada tradisi musik Arab, Keroncong Tugu dengan latar belakang Portugis-Arab, dan Tanjidor yang berlatarbelakang ke-Belanda-an. Saat ini Suku Betawi terkenal dengan seni Lenong, Gambang Kromong, Rebana Tanjidor dan Keroncong.

Tari

Seni tari di Jakarta merupakan perpaduan antara unsur-unsur budaya masyarakat yang ada di dalamnya. contohnya tari japong, Cokek dan lain-lain.Pada awalnya, seni tari di Jakarta memiliki pengaruh Sunda dan Tiongkok, seperti tari Jaipong dengan kostum penari khas pemain Opera Beijing. Namun Jakarta dapat dinamakan daerah yang paling dinamis. Selain seni tari lama juga muncul seni tari dengan gaya dan koreografi yang dinamis.

Cerita rakyat

Cerita rakyat yang berkembang di Jakarta selain cerita rakyat yang sudah dikenal seperti Si Pitung, juga dikenal cerita rakyat lain seperti serial Jagoan Tulen atau si jampang yang mengisahkan jawara-jawara Betawi baik dalam perjuangan maupun kehidupannya yang dikenal "keras". Selain mengisahkan jawara atau pendekar dunia persilatan, juga dikenal cerita Nyai Dasima yang menggambarkan kehidupan zaman kolonial. creita lainnya ialah Mirah dari Marunda, Murtado Macan Kemayoran, Juragan Boing dan yang lainnya.

Senjata tradisional



Senjata khas Jakarta adalah bendo atau golok yang bersarungkan terbuat dari kayu.

Kepercayaan

Sebagian besar Orang Betawi menganut agama Islam, tetapi yang menganut agama Kristen; Protestan dan Katolik juga ada namun hanya sedikit sekali. Di antara suku Betawi yang beragama Kristen, ada yang menyatakan bahwa mereka adalah keturunan campuran antara penduduk lokal dengan bangsa Portugis. Hal ini wajar karena pada awal abad ke-16, Surawisesa, raja Sunda mengadakan perjanjian dengan Portugis yang membolehkan Portugis membangun benteng dan gudang di pelabuhan Sunda Kalapa sehingga terbentuk komunitas Portugis di Sunda Kalapa. Komunitas Portugis ini sekarang masih ada dan menetap di daerah Kampung Tugu, Jakarta Utara.

Profesi

Di Jakarta, orang Betawi sebelum era pembangunan orde baru, terbagi atas beberapa profesi menurut lingkup wilayah (kampung) mereka masing-masing. Semisal di kampung Kemanggisan dan sekitaran Rawabelong banyak dijumpai para petani kembang (anggrek, kemboja jepang, dan lain-lain). Dan secara umum banyak menjadi guru, pengajar, dan pendidik semisal K.H. Djunaedi, K.H. Suit, dll. Profesi pedagang, pembatik juga banyak dilakoni oleh kaum betawi. Petani dan pekebun juga umum dilakoni oleh warga Kemanggisan. (Haha, kampung gue nih ;))

Kampung yang sekarang lebih dikenal dengan Kuningan adalah tempat para peternak sapi perah. Kampung Kemandoran di mana tanah tidak sesubur Kemanggisan. Mandor, bek, jagoan silat banyak di jumpai disana semisal Ji'ih teman seperjuangan Pitung dari Rawabelong. Di kampung Paseban banyak warga adalah kaum pekerja kantoran sejak zaman Belanda dulu, meski kemampuan pencak silat mereka juga tidak diragukan. Guru, pengajar, ustadz, dan profesi pedagang eceran juga kerap dilakoni.

Warga Tebet aslinya adalah orang-orang Betawi gusuran Senayan, karena saat itu Ganefonya Bung Karno menyebabkan warga Betawi eksodus ke Tebet dan sekitarnya untuk "terpaksa" memuluskan pembuatan kompleks olahraga Gelora Bung Karno yang kita kenal sekarang ini. Karena asal-muasal bentukan etnis mereka adalah multikultur (orang Nusantara, Tionghoa, India, Arab, Belanda, Portugis, dan lain-lain), profesi masing-masing kaum disesuaikan pada cara pandang bentukan etnis dan bauran etnis dasar masing-masing.
Reply

Use magic Report

 Author| Post time 21-6-2011 09:09 PM | Show all posts
Perilaku dan sifat

Asumsi kebanyakan orang tentang masyarakat Betawi ini jarang yang berhasil, baik dalam segi ekonomi, pendidikan, dan teknologi. Padahal tidak sedikit orang Betawi yang berhasil. Beberapa dari mereka adalah Muhammad Husni Thamrin, Benyamin Sueb, dan Fauzi Bowo yang menjadi Gubernur Jakarta saat ini .

Ada beberapa hal yang positif dari Betawi antara lain jiwa sosial mereka sangat tinggi, walaupun kadang-kadang dalam beberapa hal terlalu berlebih dan cenderung tendensius. Orang Betawi juga sangat menjaga nilai-nilai agama yang tercermin dari ajaran orangtua (terutama yang beragama Islam), kepada anak-anaknya. Masyarakat Betawi sangat menghargai pluralisme. Hal ini terlihat dengan hubungan yang baik antara masyarakat Betawi dan pendatang dari luar Jakarta.

Orang Betawi sangat menghormati budaya yang mereka warisi. Terbukti dari perilaku kebanyakan warga yang mesih memainkan lakon atau kebudayaan yang diwariskan dari masa ke masa seperti lenong, ondel-ondel, gambang kromong, dan lain-lain.


Memang tidak bisa dipungkiri bahwa keberadaan sebagian besar masyarakat Betawi masa kini agak terpinggirkan oleh modernisasi di lahan lahirnya sendiri (baca : Jakarta). Namun tetap ada optimisme dari masyarakat Betawi generasi mendatang yang justru akan menopang modernisasi tersebut.

Tokoh Betawi

Benyamin Sueb, seniman Betawi legendaris.
Muhammad Husni Thamrin - pahlawan nasional
Ismail Marzuki - pahlawan nasional, seniman
Ridwan Saidi - budayawan, politisi
Bokir - seniman lenong
Nasir - seniman lenong
Benyamin Sueb - artis
Nazar Ali - artis
Mat Solar - artis
Fauzi Bowo - Gubernur DKI Jakarta (2007 - 2012)
K.H. Noerali - pahlawan nasional, ulama
SM Ardan - sastrawan
Mahbub Djunaidi - sastrawan
Firman Muntaco - sastrawan
K.H. Abdullah Syafe'i - ulama
K.H. Abdul Rasyid Abdullah Syafe'i - ulama
Tutty Alawiyah A.S. - mubalighat, tokoh pendidik, mantan menteri
K.H. Zainuddin M.Z. - ulama
Deddy Mizwar - aktor, sutradara, tokoh perfilman
Nawi Ismail - sutradara, tokoh perfilman
Hasan Wirayuda - mantan menteri luar negeri
Ichsanuddin Noorsy - pengamat sosial-ekonomi, mantan anggota DPR/MPR
Helmy Adam - sutradara
Zen Hae - sastrawan, Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta
Zaidin Wahab - pengarang, wartawan
Surya Saputra - aktor, penyanyi
Abdullah Ali - mantan Dirut BCA
Alya Rohali - artis, mantan Putri Indonesia
Abdul Chaer - pakar linguistik, dosen UNJ
J.J. Rizal - sejarawan, penulis, pelaku penerbitan
Wahidin Halim - Walikota Tangerang
Ussy Sulistyowati - artis
Urip Arfan - aktor, penyanyi
Akrie Patrio - komedian
Yahya Andy Saputra - pengarang
Balyanur Marga Dewa - pengarang
[[Bundari A.M.] - arsitek, penulis
Suryadharma Ali - Menteri Agama
Chairil Gibran Ramadhan - sastrawan
Warta Kusuma - mantan pesepak bola nasional
Mohammad Robby - pesepak bola nasional
Suryani Motik - tokoh IWAPI (Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia)
Edy Marzuki Nalapraya - mantan Wagub DKI, tokoh IPSI (Ikatan Pencak Silat Indonesia)

[[Prof. dr. Hasbullah Thabrany, MPH, Dr.PH. - guru besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia

Reply

Use magic Report

Post time 21-6-2011 09:46 PM | Show all posts
btm09me,
ini pandangan saya,

sebelum belanda menyebarkan pusat baru mereka di Makassar,
belanda berpusat di Betawi kan?belanda juge berpusat Melaka.

belanda, selepas mendapat betawi dan dijadikan pusat,
dari sinilah, belanda  memperluaskan tanah jajahannya.
dan saya rasa,
di betawi la pusat utama belanda.
kan?
sebabnye,
bile belanda nak serang kerajaan gowa,
belanda akan memanggil tenteranya di sini.
begitu juge, bila, belanda nak serang kerajaan selangor,
belanda akan memanggil tenteranya di sini.


jadi, menurut pandangan saya, adakah betawi ni pusat utama Belanda?
sebab, saya raasakan di sini lah pusat belanda betawi, walaupun belanda dapat, melaka, makassar dll.
Reply

Use magic Report

Post time 24-6-2011 06:41 PM | Show all posts
Sedikit tentang Betawi yang aku jumpe dari pak cik google..
Maaf sebab artikel ini adalah dalam Bahasa Indonesia..




Siapakah orang Betawi? Dari mana asalnya?
Kalau Mandra gampang saja menjawabnya: “au ah gelap!” Mahbub Djunaidi si kolomnis ternama asli Betawi pernah mencoba menjawabnya; tapi, ia pun akhirnya menyerah. “Bukan apa-apa bagaimana bisa menjelaskan sedangkan topangan literaur saja tidak ada. Mana ada nenek moyang orang Betawi meninggalkan tulisan? Babad, hikayat—tiada itu. Ada memang kisah sultan Zainul Abidin atau Siti Zubaedah yang saban-saban dipaparkan sahibul hikayat saat pesta sunatan atau perkawinan. Tetapi, isinya penuh rupa-rupa petualangan dan tingkah jin dalam berbagai kaliber.” Begitu alasannya.

Sampai kini hanya Ridwan Saidi yang tak lelah-lelah menjawab pertanyaan itu. Sudah tiga buku ditulisnya untuk menjelaskan yaitu “Profil Orang Betawi” (1997), “Warisan Budaya Betawi” (2000) dan “Babad Tanah Betawi” (2002). Tak puas, di beratus forum diskusi Ridwan omong, ikut debat polemik dengan macam-macam peneliti dari dalam dan luar negeri tentang hal yang sama.

Menurut Ridwan orang Betawi bukanlah orang “kemarin sore”. Tidak benar jika ada yang mengatakan orang Betawi itu keturunan budak yang didatangkan Kompeni untuk mengisi intramuros alias kota benteng Batavia. Orang-orang Betawi telah ada jauh sebelum J.P. Coen membakar Jayakarta tahun 1619 dan mendirikan di atas reruntuknya kota Batavia.
Reply

Use magic Report

Post time 24-6-2011 06:42 PM | Show all posts
Salakanagara Hingga Kalapa

Cikal bakal sejarah orang Betawi dikaitkan Ridwan dengan tokoh bernama Aki Tirem yang hidup di daerah kampung Warakas (Jakarta Utara) pada abad 2. Aki Tirem hidup dari membuat priuk dan saban-saban bajak laut menyatroni tempatnya untuk merampok priuk. Lantaran keteteran sendiri melawan bajak laut maka diputuskan untuk mencari perlindungan dari sebuah kerajaan. Saat itulah Dewawarman seorang berilmu dari India yang menjadi menantunya dimintanya mendirikan kerajaan dan raja.

Pada tahun 130 berdirilah kerajaan pertama di Jawa yang namanya Salakanagara. Salakanagara nagara menurut Ridwan berasal ari bahasa Kawi salaka yang artinya perak.

Secara etimologis kemudian Salakanagara itu dikaitkan Ridwan dengan laporan ahli geografi Yunani bernama Claudius Ptolomeus pada tahun 160 dalam buku Geografia yang menyebut bandar di daerah Iabadiou (Jawa) bernama Argyre yang artinya perak. Dikaitkan pula dengan laporan dari Cina zaman Dinasti Han yang pada tahun 132 mengabarkan tentang kedatangan utusan Raja Ye Tiau bernama Tiao Pien.

Ye Tiau ditafsirkan sebagai Jawa dan Tiau Pien sebagai Dewawarman. Termasuk dalam hal ini yang disebut Slametmulyana sebagai Kerajaan Holotan yang merupakan pendahulu kerajaan Tarumanagara dalam bukunya Dari Holotan sampai Jayakarta adalah Salakanagara.

Soal letak Salakanagara, Ridwan menunjuk kepada daerah Condet. Alasannya karena di Condet salak tumbuh subur dan banyak sekali nama-nama tempat yang bermakna sejarah, seperti Bale Kambang dan Batu Ampar. Bale Kambang adalah pasangrahan raja dan Batu Ampar adalah batu besar tempat sesaji diletakkan.

Di Condet juga terdapat makam kuno yang disebut penduduk Kramat Growak dan makam Ki Balung Tunggal yang ditafsirkan Ridwan adalah tokoh dari zaman kerajaan pelanjut Salakanagara yaitu Kerajaan Kalapa. Tokoh ini menurut Ridwan adalah pemimpin pasukan yang tetap melakukan peperangan walaupun tulangnya tinggal sepotong maka lantaran itu dijuluki Ki Balung Tunggal.

Setelah menunjuk bukti secara geografis, Ridwan pun melengkapi teorinya tentang cikal bakal sejarah orang Betawi dengan sejarah perkembangan bahasa dan budaya Melayu agar dapat semakin terlihat batas antara orang Betawi dengan orang Sunda. Ia pergi ke abad 10. Saat terjadi persaingan antara wong Melayu yaitu Kerajaan Sriwijaya dengan wong Jawa yang tak lain adalah Kerajaan Kediri. Persaingan ini kemudian menjadi perang dan membawa Cina ikut campur sebagai penengah karena perniagaan mereka terganggu. Perdamaian tercapai, kendali lautan dibagi dua, sebelah timur mulai dari Cimanuk dikendalikan Sriwijaya, sebelah timur mulai dari Kediri dikendalikan Kediri. Artinya pelabuhan Kalapa termasuk kendali Sriwijaya.

Sriwijaya kemudian meminta mitranya yaitu Syailendra di Jawa Tengah untuk membantu mengawasi perairan teritorial Sriwijaya di Jawa bagian barat. Tetapi ternyata Syailendara abai maka Sriwijaya mendatangkan migran suku Melayu Kalimantan bagian barat ke Kalapa. Pada periode itulah terjadi persebaran bahasa Melayu di Kerajaan Kalapa yang pada gilirannya – karena gelombang imigrasi itu lebih besar ketimbang pemukin awal – bahasa Melayu yang mereka bawa mengalahkan bahasa Sunda Kawi sebagai lingua franca di Kerajaan Kalapa.
Reply

Use magic Report

Follow Us
Post time 24-6-2011 06:43 PM | Show all posts
Ridwan mencontohkan, orang “pulo”, yaitu orang yang berdiam di Kepulauan Seribu, menyebut musim di mana angin bertiup sangat kencang dan membahayakan nelayan dengan “musim barat” (bahasa Melayu), bukan “musim kulon” (bahasa Sunda). Orang-orang di desa pinggiran Jakarta mengatakan “milir”, “ke hilir” dan “orang hilir” (bahasa Melayu Kalimantan bagian barat) untuk mengatakan “ke kota” dan “orang kota”.

Studi Lance Castles


Agar timbangan tidak berat sebelah maka perlulah disini dikemukakan pula sosial-origin alias asal-usul sejarah orang Betawi yang ditulis Lance Castles, meskipun telaah peneliti Australia ini banyak bikin berang orang Betawi, tetapi sampai sekarang hanya itulah yang dianggap sebagai jawaban paling memuaskan (kalau tidak bisa disebut accepted history) oleh banyak pihak, terutama para akademisi.

Pada April 1967 di majalah Indonesia terbitan Cornell University, Amerika, Castles mengumumkan penelitiannya menyangkut asal-usul orang Betawi. Hasil penelitian yang berjudul “The Ethnic Profile of Jakarta” menyebutkan bahwa orang Betawi terbentuk pada sekitar pertengahan abad 19 sebagai hasil proses peleburan dari berbagai kelompok etnis yang menjadi budak di Batavia.

Secara singkat sketsa sejarah terjadinya orang Betawi menurut Castles dapat ditelusuri dari, pertama daghregister, yaitu catatan harian tahun 1673 yang dibuat Belanda yang berdiam di dalam kota benteng Batavia. Kedua, Catatan Thomas Stanford Raffles dalam History of Java pada tahun 1815. Keriga, catatan penduduk pada Encyclopaedia van Nederlandsch Indie tahun 1893 dan keempat sensus penduduk yang dibuat pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1930.

Oleh karena klasifikasi penduduk dalam keempat catatan itu relatif sama, maka ketiganya dapat diperbandingkan, untuk memberikan gambaran perubahan komposisi etnis di Jakarta sejak awal abad 19 hingga awal abad 20. Sebagai hasil rekonstruksi, angka-angka tersebut mungkin tidak mencerminkan situasi yang sebenarnya, namun menurut Castles hanya itulah data sejarah yang tersedia yang relatif meyakinkan.

Dari perbandingan dapatlah diketahui bahwa selama sekitar satu abad, beberapa kelompok etnis seperti Bali, Bugis, Makasar, Sumbawa, dan sebagainya tidak tercatat lagi sebagai kelompok etnis Jakarta. Sedangkan jumlah orang Jawa dan Sunda meningkat pesat, yang berarti migrasi cukup besar di dari Jawa, dan mungkin estimasi kelompok etnis Sunda di masa lalu di daerah sekitar Batavia terlalu rendah. Sebaliknya muncul kelompok etnis baru yang disebut “Batavians” (Betawi) dalam jumlah besar yaitu 418.900 orang. Jadi secara umum dapatlah dikatakan bahwa kehadiran orang Betawi merupakan buah dari kebijakan kependudukan yang secara sengaja dan sistematis diterapkan oleh VOC.
Reply

Use magic Report

Post time 24-6-2011 06:43 PM | Show all posts
Bukti Arkeologis

Sepuluh tahun setelah pengumuman hasil penelitian Lance Castles, arkeolog Uka Tjandarasasmita mengemukakan monografinya Jakarta Raya dan Sekitarnya Dari Zaman Prasejarah Hingga Kerajaan Pajajaran (1977). Uka memang tidak menyebut monografinya untuk menangkis tesis Castles, tetapi secara arkeologis telah memberikan bukti-bukti yang kuat dan ilmiah tentang sejarah penghuni Jakarta dan sekitarnya dari masa sebelum Tarumanagara di abad 5.

Dikemukakan bahwa paling tidak sejak zaman neolitikhum atau batu baru (3500 – 3000 tahun yang lalu) daerah Jakarta dan sekitarnya dimana terdapat aliran-aliran sungai besar seperti Ciliwung, Cisadane, Kali Bekasi, Citarum pada tempat-tempat tertentu sudah didiami oleh masyarakat manusia. Beberapa tempat yang diyakini itu berpenghuni manusia itu antara lain Cengkareng, Sunter, Cilincing, Kebon Sirih, Tanah Abang, Rawa Belong, Sukabumi, Kebon Nanas, Jatinegara, Cawang, Cililitan, Kramat Jati, Condet, Pasar Minggu, Pondok Gede, Tanjung Barat, Lenteng Agung, Kelapa Dua, Cipete, Pasar Jumat, Karang Tengah, Ciputat, Pondok Cabe, Cipayung, dan Serpong. Jadi menyebar hampir di seluruh wilayah Jakarta.

Dari alat-alat yang ditemukan di situs-situs itu, seperti kapak, beliung, pahat, pacul yang sudah diumpam halus dan memakai gagang dari kayu, disimpulkan bahwa masyarakat manusia itu sudah mengenal pertanian (mungkin semacam perladangan) dan peternakan. Bahkan juga mungkin telah mengenal struktur organisasi kemasyarakatan yang teratur.
Reply

Use magic Report


ADVERTISEMENT


Post time 24-6-2011 06:45 PM | Show all posts
Seberapa Penting Keturunan

Akhirnya, sebelum menutup tulisan ini perlu pula dikemukakan pertanyaan, yang terlepas dari polemik soal asal muasal orang Betawi. Sesungguhnya seberapa pentingkah keturunan itu bagi orang Betawi? Mengutip penelitian Ninuk Kleden, maka tiga yang dianggap terpenting dalam fase kehidupan orang Betawi adalah khitanan, kawinan,, dan kematian. Berlatar kultur seperti itu, tentunya orang Betawi sedikit sekali punya konsentrasi untuk mengingat-ingat sesuatu yang berkaitan dengan kelahiran. Adat hidupnya yang banyak bertopang pada agama Islam lebih mengajarkan untuk lebih mengingat-ingat hari kematian. Wajar jika orang Betawi menganggap adat berulang tahun itu tak penting. Itu adat kafir karena datangnya dari Kumpeni yaitu sebutan mereka untuk VOC (Verenigde Oost-indiesche Compagnie).

Dalam konteks itulah adalah wajar jika Mandra spontan menjawab “au ah gelap” soal asal muasal orang Betawi. Kapan lahir dan keturunan siapa tak persoalan bagi orang Betawi. Apakah sejarah yang disertai polemik itu tepat atau ngelantur? Tak soal. Sekali lagi, seperti kata Mahbub Djunaidi, bagaimana mengkritisi sedangkan topangan literatur tiada. Orang Betawi bukanlah orang Jawa yang walau banyak bohong masih sempat meninggalkan sejarahnya dalam babad.

Motto hidup orang Betawi yang ingin senang terus, membuat mereka tak ambil pusing soal polemik asal muasal itu. Mereka terima saja ketika pemerintah Jakarta menetapkan baginya hari ulang tahun, 22 Juni. Tepat atau tidak, benar atau bohong hari ulang tahun itu bagi orang Betawi tidak jadi soal, karena sesama satu kesatuan entitas nasional jangankan benarnya, bohongnya pun mesti percaya. Hidup sekali dan sudah susah koq dibikin susah-susah dengan segala versi itu.

Boleh jadi sikap ini karena mereka awam sejarah, atau malah sebaliknya, sejarah itu diragukan kebenarannya. Orang Betawi memang polos dan jenaka. Bagi mereka kwalitas manusia itu tidak ditentukan oleh kapan lahir dan dari keturunan siapa, melainkan isi kepala dan prilakunya. Ya, memang keturunan itu bukan apa-apa dan tidak 100% dominan.

Taruhlah orang Betawi itu keturunan Baginda Raja Salakanagara yang hebat, Ki Balung Tunggal yang sakti atau cuma budak yang hina, tetapi yang penting siapakah orang Betawi itu sekarang. Antara kebesaran Baginda Raja Salakanagara, kesaktian Ki Balung Tunggal dan kehinaan budak Kumpeni dengan orang Betawi sekarang tidak ada hubungannya sama sekali. Tak perlu cerewet dengan kisah asal muasal keturunan. Lebih penting adalah orang Betawi sekarang mesti belajar dan bekerja keras untuk jadi berkwalitas macam raja-raja besar dan jangan jatuh hina ditindas bagai budak tak berharga. Kwalitas tak jatuh dari keturunan, dan tidak juga dari langit.

Tetapi tentang siapakah orang Betawi, dari mana asalnya, pendek kata sejarahnya orang Betawi mesti dicarikan jawaban. Memang kwalitas tak jatuh dari keturunan, tetapi pertanyaan sejarah itu bukan berarti mesti diremehkan dan tidak harus dicari jawabannya. Sebisanya mesti dijawab, sebab itu menyangkut sejauh mana sebetulnya kita bersungguh-sungguh dengan sejarah. Sejarah yang lebih adil, yang bisa menjadi sumber inspirasi dan pedoman yang menuntun masyarakat pendukungnya sekarang belajar serta mengetahui serta mengerti seraya bekerja keras untuk mencapai arah kemana mereka mesti menuju.

Dalam konteks itu saling silang tentang sejarah asal usul orang Betawi menjadi penting dan perlu disyukuri sebagai tanda bahwa arah mencari sejarah yang adil tengah berjalan, dan disana sejarah sebagai gambaran masa lalu yang adalah pula merupakan berita pikiran atau discourse, yang menuntut adanya proses dialogis telah terjadi dan tinggal kini orang Betawi mengambil hikmahnya dari setiap historiografi atau penulisan sejarah yang terlibat dalam polemik itu untuk menjawab keprihatinan dan kegelisahan sosial-kultural mereka yang harus bertanggungjawab memajukan kehidupan manusia Betawi sekaligus manusia Indonesia.[JJ Rizal]

P/S ; Itulah yang aku jumpa daipada pak cik google..Harap akan dapat membantu untuk perbincangannya..
Reply

Use magic Report

 Author| Post time 15-1-2018 06:41 PM | Show all posts
Edited by btm09me at 17-1-2018 01:00 PM

Baju adat Betawi
Baju Pangsi



This post contains more resources

You have to Login for download or view attachment(s). No Account? Register

x
Reply

Use magic Report

 Author| Post time 16-1-2018 06:36 PM | Show all posts
Roti Buaya



Roti buaya memiliki peran penting dalam pernikahan adat Betawi, bahkan bisa dibilang hukumnya adalah wajib. Biasanya, roti yang memiliki panjang sekitar 50 sentimeter dibawa oleh mempelai laki-laki untuk diberikan kepada pengantin wanita di dalam pernikahan atau lamaran bagi warga Jakarta asli.

Selain roti buaya, mempelai pengantin laki-laki juga memberikan uang mahar, perhiasan, kain, baju kebaya, selop, alat kecantikan, serta beberapa peralatan rumah tangga. Dari sejumlah barang yang diserahkan tersebut, roti buaya menempati posisi terpenting. Bahkan, bisa dibilang hukumnya wajib.

Sebab, roti ini memiliki makna tersendiri bagi warga Betawi, yakni sebagai ungkapan kesetiaan pasangan yang menikah untuk sehidup-semati dan masyarakat Betawi meyakini hal itu secara turun temurun.

Awal muasalnya, karena warga Betawi terinspirasi dari kehidupan buaya. Mereka meyakini bahwa buaya adalah hewan yang panjang umur dan paling setia kepada pasangannya. Buaya itu hanya kawin sekali seumur hidup, sehingga orang Betawi menjadikannya sebagai simbol kesetiaan dalam rumah tangga.

Selain itu, buaya juga dianggap hewan yang perkasa yang bisa hidup di dua alam. Hal tersebut dijadikan warga Betawi sebagai lambang kekuatan dalam berumah tangga. Harapannya, agar rumah tangga menjadi tangguh dan mampu bertahan hidup dimanapun berada.

Roti juga dianggap oleh warga Betawi sebagai simbol kemapanan ekonomi, karena ada anggapan bahwa roti merupakan makanan orang golongan atas. Dengan maksud selain bisa saling setia, pasangan yang menikah juga memiliki masa depan yang lebih baik dan bisa hidup mapan.

Tak heran jika setiap kali prosesi pernikahan, mempelai laki-laki selalu membawa sepasang roti buaya berukuran besar dan satu roti buaya berukuran kecil yang diletakkan di atas roti buaya yang disimbolkan sebagai buaya perempuan. Ini juga mencerminkan kesetian mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan sampai beranak-cucu, sebuah tradisi yang masih berlangsung hingga saat ini.

Pada saat selesai akad nikah, biasanya roti buaya ini diberikan pada saudara yang belum nikah, hal ini juga memiliki harapan agar mereka yang belum menikah bisa ketularan dan segera mendapatkan jodoh.
Reply

Use magic Report

 Author| Post time 17-1-2018 12:58 PM | Show all posts
Bendo atau Golok


Bendo merupakan senjata tradisional betawi yang paling populer diantara senjata tradisional betawi lainnya. Senjata ini selalu dijadikan alat kelengkapan pakaian adat betawi bagi kaum pria didalam kehidupan sehari-harinya. Dibandingkan bendo, masyarakat lebih mengenalnya dengan sebutan "Golok". Umumnya senjata golok atau bendo ini diselipkan pada ikat pinggang hijau dan dipakai ketika sedang bekerja ataupun sedang bepergian sebagai sarana perlindungan diri.

Berdasarkan dari kegunaannya, orang petawi biasanya akan memisahkan golok atau bendo yang digunakan ke dalam 2 (dua) jenis, yaitu untuk bekerja (Gablongan) dan golok simpenan (Sorenan). Pada golok simpenan, biasanya hanya digunakan saat hendak menyembelih hewan ataupun untuk menjaga diri. Sementara itu berdasarkan dari bentuknya, golok betawi ini dibedakan menjadi 3 (tiga) jenis, yakni golok ujung turun (pada bagian ujungnya lancip), golok betok yang pendek, dan golok gobang (panjang dan juga terbuat dari bahan berkualitas tinggi).

This post contains more resources

You have to Login for download or view attachment(s). No Account? Register

x
Reply

Use magic Report

 Author| Post time 17-1-2018 01:04 PM | Show all posts
Baju Pangsi, Golok, Silat, Gambang (musik tradisional betawi)



Reply

Use magic Report

 Author| Post time 18-1-2018 06:29 PM | Show all posts
Edited by btm09me at 18-1-2018 06:34 PM

Tokoh Betawi



Ismail Marzuki, Sang Maestro Musik Indonesia

Sebelas Mei merupakan hari lahir Ismail Marzuki. Ia adalah tokoh komponis besar di Indonesia. Namanya pun diabadikan sebagai pusat kesenian yang diberi nama Taman Ismail Marzuki. Pria kelahiran Jakarta pada 1914 ini mendedikasikan dirinya untuk Tanah Air lewat karya-karyanya. Mengenal kembali siapa Ismail Marzuki menjadi langkah untuk menyelami tokoh-tokoh sejarah. Sebab, karya-karyanya abadi dan tak terlupakan serta berperan besar dalam kemajuan musik Indonesia.

Ismail Marzuki lahir dari keluarga sederhana. Ayahnya, Marzuki, hanya wiraswasta kecil-kecilan di wilayah Kwitang, Senen, Jakarta Pusat. Sejak meninjakkan kakinya ke bumi, Ismail Marzuki tak pernah sekalipun melihat senyum dan merasakan hangatnya kasih sayang seorang ibu. Ia tumbuh besar dalam asuhan ayah. Maklum, ibunda tercinta meninggal tat kala ia dilahirkan. Demikian pula dengan kedua kakaknya. Hanya ada ia dan ayahnya yang tersisa di keluarga kecil itu.

Dunia musik sudah menyelimuti hari-hari Ismail kecil. Sang ayah yang juga seorang pemain rebana yang biasa dinamakan seni berdendang. Sambil melantunkan kalimat dzikir dan menabuh rebananya, suara Marzuki begitu menggema. Ada pesona dengan gaya cengkoknya yang khas. Tak heran, Marzuki biasa tampil di acara sunatan, perayaan pengantin, cukuran anak, dan lain-lain. Ibarat pepatah“induk burik, anak beritik”, lewat sang ayahlah benih-benih bakat Ismail Marzuki tumbuh.

Kemampuan Ismail Marzuki akan dunia musik tidak datang secara instan. Saat berusia 17 tahun pria yang sering disapa Ma’ing ini mengasahnya dengan berlatih. Pada 1923, ia bersama teman-temannya menjadi anggota perkumpulan musik Lief Java yang sebelumnya bernama Rukun Anggawe Santoso. Dalam perkumpulan ini bakatnya berkembang dengan baik sebagai instrumentalis, penyanyi, penyair lagu dan juga mulai mengarang lagu-lagu. Ia pun betah berlama-lama memutar seribu macam lagu pada gramofon dan mendengarnya tanpa bosan.

Jika sebagian orang hanya mendengarkan lagu yang senatiasa baru, Ismail Marzuki lebih suka meresapi lagu selama puluhan kali dan berulang-ulang. Bukan cuma musik Hollywod dan jazz, ia juga menjadikan lagu-lagu daerah sebagai inspirasinya. Sebut saja lagu daerah Maluku, Minahasa, Bugis, Melayu, Minang, tembang Cianjuran, gambus, kroncong, serta lagu-lagu ciptaan komponis agung bangsa Eropa dari Schubert, Mozart, Schumann, Mendellshon dan lain sebagainya. Semuanya menjadi sumber keindahan baginya.

Semasa hidupnya, Ismail Marzuki menghasilkan ratusan karya lagu, baik hasil ciptaannya sendiri atau lagu yang ia aransemen ulang. Beberapa diantaranya Oh Sarinah, Rayuan Pulau Kelapa, Melancong di Bali, Halo-halo Bandung, Mars Arek-arek Surabaya, Indonesia Tanah Pustaka, Gugur Bunga di Taman Bhakti, Sepasang Mata Bola, Selamat Datang Pahlawan Muda, Selendang Sutra dan sebagainya.

Meninggal di Pangkuan Istri

Ada adagium yang menyatakan “gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang dan manusia mati meninggalkan nama”. Demikian terjadi pada Ismail Marzuki. Semasa hidupnya, ia tidak memiliki gengsi sebagai pahlawan, saudagar besar atau dapat menarik banyak orang yang berpamrih di sekitarnya. Hanya ada kumpulan-kumpulan karya yang dapat ia dendangkan. Racikan musiknya begitu merasuk ke hati, hingga pada akhir hayatnya pun Ismail Marzuki begitu dikenal sebagai maestro musik Indonesia.

Tahun 1950-an menjadi tahun-tahun yang cukup sulit bagi Ismail Marzuki. Terlebih ada beberapa pihak yang berusaha untuk memecah usahanya untuk mengembangkan kesenian daerah. Berulang kali, ia dicecar dengan kata-kata dan kalimat yang sinis. Beruntung, ada sang istri dan Rahmi Asiah, anak yang mereka adobsi yang selalu menghibur juga memberikan keceriaan tersendiri di bahtera rumah tangga mereka.

Di masa-masa tersebutlah, kesehatan pria tamatan sekolah belanda Hollandsch Inlandsche School (HIS) ini  mulai terganggu hingga akhirnya ia mengundurkan diri dari kegiatan orkestra. Aktivitasnya pun hanya terbatas pada karya komposisi saja. Rupanya, siang hari pada 25 Mei 1958 menjadi hari terakhir Ismail bertatap muka dengan keluarga kecilnya. Usai makan siang sang komponis ini bercengkrama dengan Rahmi dan tak luput berbaring di pangkuan sang istri seperti kebiasaanya yang sudah-sudah.

Eulis merasa Ismail Marzuki tertidur pulas. Dibelai rambut suaminya dengan penuh kehangatan. Namun ia tidak bergerak, tak ada pula sepatah kata yang diucapkan. Ia telah kembali ke pangkuan Tuhan Yang Maha Esa tanpa pamit, pesan dan meninggalkan gejala apa pun. Ada duka yang mendalam bagi Eulis dan putrinya. Ismail Marzuki meninggal di usia 44 tahun.


Saat ini, Ismail Marzuki dimakam di TPU Karet Bivak, Jakarta. Pada batu nisannya dipahatkan lagu Rayuan Pulau Kelapa. Beberapa puluh tahun setelahnya, pemerintah berniat untuk memindahkan makamnya ke Taman Makan Pahlawan di Kalibata. Namun keluarga menolak dan menganggap jika hal tersebut bukanlah kepentingan yang mendesak. Bagi pihak keluarga, di mana pun jasadnya dikubur, karya abadi Ismail Marzuki tetaplah bertumpu di hati rakyat Indonesia.

Karya Lagu

Aryati
Bandaneira
Bandung Selatan di Waktu Malam (1948)
Beta dan Ayunda
Gagah Perwira (1944)
Gita Malam
Gugur Bunga
Halo Halo Bandung
Indonesia Pusaka
Inikah Bahagia
Jangan Ditanya
Jauh di Mata Di Hati Jangan
Juwita Malam
Kalau Anggrek Berbunga
Karangan Bunga dari Selatan
Kasim Baba
Kasih Putus di Tengah Jalan
Keroncong Serenata
Lenggang Bandung
Melati di Tapal Batas (1947)
O Angin Sampaikan Salamku
O Kopral Jono
O Sarinah (1931)
Panon Hideung (1931)
Patah Cincin
Rayuan Pulau Kelapa
Rindu Lukisan
Roselani
Sabda Alam
Sampul Surat (1943)
Saputangan dari Bandung Selatan
Sejuta Bintang
Selamat Datang Pahlawan Muda (1949)
Selendang Sutra
Sepasang Mata Bola (1946)
Setangkai Bunga Mawar (1943)
Siasat Asmara
Sumbangsihku (1946)
Wanita

Dan banyak lagi....


This post contains more resources

You have to Login for download or view attachment(s). No Account? Register

x
Reply

Use magic Report

 Author| Post time 18-1-2018 06:35 PM | Show all posts
Edited by btm09me at 18-1-2018 06:41 PM

Melati di Tapal Batas


Selamat Lebaran
Reply

Use magic Report

You have to log in before you can reply Login | Register

Points Rules

 

ADVERTISEMENT



 

ADVERTISEMENT


 


ADVERTISEMENT
Follow Us

ADVERTISEMENT


Mobile|Archiver|Mobile*default|About Us|CARI Infonet

24-4-2024 01:05 AM GMT+8 , Processed in 0.951924 second(s), 42 queries .

Powered by Discuz! X3.4

Copyright © 2001-2021, Tencent Cloud.

Quick Reply To Top Return to the list