View: 8991|Reply: 26
|
Indonesia dijajah Belanda Selama 350 Tahun ???
[Copy link]
|
|
Resink dan Mitos Penjajahan 350 Tahun
Razif
Indonesia dijajah selama 350 tahun. Itulah satu dari sedikit warisan pemikiran pra-Orba yang masih bertahan sampai sekarang. Dalam upacara-upacara resmi, para pejabat yang merasa perlu memobilisasi semangat orang, selalu mengucapkannya. Sejak 1930-an, gerakan nasionalis menjadikan pernyataan ini sebagai bahan agitasi dan propagandanya. Menariknya, pada saat bersamaan di kalangan penguasa kolonial pun ada perdebatan serupa. Para pemilik perkebunan, birokrat kolonial dengan dukungan kalangan konservatif di Belanda bergabung dalam Vaderlandsche Club, yang ingin melanggengkan kolonialisme setidaknya untuk 350 tahun lagi, dan tidak melihat perlunya ?erbaik hati? pada orang bumiputra melalui Politik Etis, karena ternyata hanya melahirkan pemberontakan. Pada 1926-27 terjadi pemberontakan besar yang dipimpin oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) dan serikat-serikat rakyat di Jawa dan Sumatera Barat. Kalangan konservatif mendapat angin untuk menindas gerakan nasionalis dan sekaligus menyingkirkan pendukung Politik Etis dari birokrasi kolonial.
Posisi mereka ditentang oleh kelompok Stuw yang berbasis di Leiden, dengan anggota-anggota seperti J.H.A. Logeman dan H.J. van Mook. Mereka didukung oleh sarjana-sarjana kolonial yang berpendapat bahwa Belanda tidak pernah menjajah Indonesia selama ratusan tahun, dan karena itu tuntutan ?elanjutkan penjajahan? untuk kurun waktu yang sama, menjadi tidak masuk akal. Mereka berpendapat sebaiknya negeri induk memberi kemerdekaan secara bertahap, dan mengelola sumber daya alam serta kegiatan ekonomi bersama-sama, seperti layaknya negara persemakmuran di bawah Inggris. Menindas gerakan nasionalis adalah pemborosan di samping bertentangan dengan prinsip-prinsip Etis yang dikembangkan sebelumnya.
Perdebatan itu tertunda ketika kekuasaan kolonial dipenggal oleh serbuan Jepang pada 1942. Gerakan nasionalis menjadikan arogansi Vaderlandsche Club sebagai bahan propaganda dan menulis kembali sejarah dengan membalik seluruh argumentasi yang terkandung di dalamnya. Apa yang oleh Vaderlandsche Club disebut sebagai kejayaan menjadi penindasan, pahlawan menjadi penjahat dan sebaliknya. Tapi keduanya sepakat bahwa Indonesia memang dijajah Belanda selama 350 tahun. Di tengah pergulatan ini muncul Gertrudes Johan Resink, mahasiswa sekolah hukum di Batavia, keturunan Indo-Belanda yang lahir di Yogyakarta pada 1911. Ia mendalami sistem hukum Indonesia, terutama hukum antar bangsa di bawah asuhan J.H.A. Logeman, tokoh kelompok Stuw.
Setelah menyelesaikan karya pertamanya mengenai sejarah hukum Madura, Resink bekerja sebagai pegawai negeri di sekretariat Gubenur Jenderal Buitenzorg (Bogor) hingga kedatangan balatentara Jepang. Pada 1947 ia menjadi satu dari sedikit ahli hukum yang tetap bertahan di Indonesia. Ia menggantikan Logeman mengajar di almamaternya, yang telah diubah menjadi Fakultas Hukum dan Ilmu Pengetahuan, Universitas Indonesia. Selama sepuluh tahun ia meneliti kembali hubungan Indonesia-Belanda dari perspektif hukum, untuk membongkar apa yang menurutnya adalah mitos-mitos, termasuk klaim bahwa Indonesia dijajah selama 350 tahun.
Ia adalah orang pertama yang secara kritis mengkaji kembali kebijakan pemerintah kolonial sejak abad ke-17 sampai awal abad ke-20. Hasilnya adalah rangkaian esei yang kemudian dibukukan dan diterjemahkan dengan baik dalam bahasa Indonesia, dengan judul Raja dan Kerajaan yang Merdeka di Indonesia 1850-1910.
Dengan perhatian utama pada keputusan pemerintah kolonial ?ang dilupakan? baik oleh sejarawan Belanda, tokoh Vaderlandsche Club maupun gerakan nasionalis Indonesia, ia ingin membuktikan bahwa klaim penjajahan selama 350 tahun adalah mitos belaka. Menurutnya, pada dekade pertama abad ke-20 di kepulauan Indonesia masih tersebar daerah-daerah swapraja dan kerajaan-kerajaan kecil yang merdeka. Ia menunjuk Regeeringreglement (peraturan pemerintah) 1854, yang menyatakan Gubernur Jenderal Hindia Belanda memiliki wewenang untuk mengumumkan perang dan mengadakan perdamaian, serta membuat perjanjian raja-raja di seluruh Nusantara. Sampai abad ke-19 bahkan ada kerajaan-kerajaan yang cukup kuat dan ?erada dalam hubungan setara? dengan penguasa kolonial, seperti Ternate dan Tidore.
Hubungan antara pemerintah kolonial dan kerajaan-kerajaan yang merdeka diatur dalam kontrak atau perjanjian. Artinya ada kerjasama antara penguasa kolonial dan kerajaan-kerajaan tersebut untuk mengelola sumber daya ekonomi sambil mempertahankan kedaulatan masing-masing. Tidak ada serangan bersenjata, pengiriman pasukan atau penaklukan seperti yang terjadi di wilayah-wilayah lain. Di Surakarta dan Yogyakarta yang masih merupakan daerah swapraja misalnya sewa tanah berjalan tanpa hambatan dan tidak ada keributan seperti halnya di tempat-tempat lain. Para penguasa kraton dan Gubernur Jenderal berhubungan baik. Melihat semua ini Resink kemudian menganggap kerajaan-kerajaan yang merdeka ini mirip dengan protekorat atau daerah di bawah perlindungan negara Hindia Belanda.
Dalam esei ?ari Debu Sebuah Taufan Penghancuran Patung-Patung? yang terbit 1956, Resink membandingkan kekuasaan Majapahit, VOC dan Hindia Belanda. Seperti C.C. Berg seorang sarjana kolonial terkemuka, ia mengatakan kekuasaan Majapahit harus dilihat dari segi lalu lintas perdagangan rempah-rempah yang tidak hanya menghubungkan pulau-pulau di Nusantara, tapi juga mengaitkannya dengan pelabuhan India serta daerah pantai di Laut Tengah. Kekuasaan Hindia Belanda tidak pernah sampai sejauh itu. Artinya klaim bahwa Belanda menguasai Nusantara seperti halnya Majapahit menguasai wilayah itu pun gugur. Apalagi jika dibandingkan VOC (cikal-bakal negara Hindia Belanda) yang hanya berkuasa di sebagian kecil wilayah dan sangat terbatas pula. Klaim penjajahan selama 350 tahun pun semakin terlihat rapuh ketika dihadapkan pada fakta-fakta dasar seperti ini. Ia mengakui bahwa orang Belanda memang tinggal dan bekerjasama dengan orang bumiputra selama ratusan tahun, mungkin juga melakukan kejahatan di sana-sini, tapi jelas tidak menguasai keseluruhan wilayahnya.
Perhatian lainnya adalah daerah-daerah di luar Jawa yang sangat sedikit disinggung dalam penulisan sejarah nasional. Kaum nasionalis biasanya menggunakan contoh perkebunan di Sumatera dan Jawa untuk menunjukkan penindasan yang hebat. Tidak ada yang bisa menyangkal itu, tapi Resink ingin membuktikan bahwa di samping itu masih ada wilayah-wilayah yang berdiri sendiri dan merdeka. Ia menggunakan nota H. Colijn yang menguraikan kebijakan pemerintah Hindia Belanda di daerah-daerah luar Jawa. Dari nota ini ia mendapat gambaran tentang situasi politik di berbagai daerah menjelang akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.
Hasil pengamatannya kemudian disusun menjadi esei ?egara-Negara Pribumi di Nusantara Timur?, untuk menunjukkan bahwa sampai kurun itu sebenarnya ada negara yang merdeka dan berdaulat atas wilayahnya. Ia melihat bahwa di mata pemerintah kolonial sendiri, semua wilayah itu dianggap otonom dan sejajar. Perlakuan itu bukan hanya bagi negeri-negeri yang memang masih merdeka seperti Kalimantan Selatan dan Lombok, tapi juga bagi wilayah yang mengadakan perjanjian dengan Belanda dan mengakuinya sebagai kekuasaan tertinggi, seperti Aceh, daerah bawah di Jambi dan Riau.
Dalam karangan terakhir di kumpulan itu, Resink menegaskan kembali masalah kedaulatan ini. Sekalipun raja-raja bumiputra mengakui penguasa kolonial sebagai kekuasaan tertinggi dan menyapa gubernur jenderal dengan sebutan ?ang dipertuan besar? dalam perjanjian-perjanjiannya, status mereka sesungguhnya setara. Negeri seperti Aceh dan beberapa kerajaan di Sulawesi Selatan sekalipun berhubungan dengan Belanda, harus diperlakukan seperti Montenegro atau Monaco dalam hukum internasional. |
Rate
-
1
View Rating Log
-
|
|
|
|
|
|
|
Resink adalah pendukung kemerdekaan Indonesia. Ia sama sekali tidak menyangkal hak rakyat untuk merdeka, dan sangat kritis terhadap kekuasaan kolonial. Namun simpati atau keterlibatan dalam perjuangan kemerdekaan menurutnya tidak bisa tenggelam dalam kesalahan melihat fakta-fakta, apalagi mengembangkan mitos-mitos yang tidak berdasar. Karena itulah ia bersikeras membuktikan bahwa penjajahan selama 350 tahun adalah mitos belaka.
Memang dari sudut hukum, bukti-bukti yang diajukannya mendukung argumentasi itu. Tapi persoalannya kemudian bagaimana cara kita memahami bukti-bukti yang ada. Cukup jelas bahwa Resink berpegangan pada paham legalistik, yang berkutat pada rumusan hukum dan segala konsekuensi logisnya. Akibatnya ia seringkali tidak melihat struktur yang melandasi produk hukum itu. Singkatnya, memisahkan antara eksploitasi kolonial dengan produk hukum yang dibuatnya. Hukum baginya adalah sesuatu yang netral dan harus dibaca ?eperti adanya?.
Karena itulah kerajaan-kerajan merdeka dianggapnya berada dalam hubungan setara dengan pemerintah kolonial. Mereka membentuk partnership dan bukan hubungan penguasa dan yang dikuasai. Pemerintah kolonial, seperti dijabarkan dalam perjanjian-perjanjiannya, bertindak sebagai pelindung kerajaan sambil tetap menghargai kedaulatan masing-masing. Tapi sebaliknya Resink tidak melihat hubungan sesungguhnya antara wilayah tersebut dengan penguasa kolonial, di luar jalur hukum. Eksploitasi ekonomi, ekspansi kekuasaan kolonial terus berlangsung, terlepas ada tidaknya perjanjian tersebut.
Misalnya perjanjian dengan Sultan Siak pada 1889 yang menjadi syarat bagi penguasa kolonial untuk menguasai tambang timah. Begitu pula perjanjian dengan Sumatera Timur pada 1909 yang mengakui kebesaran raja setempat tapi di sisi lain mengubah daerah kekuasaannya menjadi sebuah cultuurgebied (daerah perkebunan) yang menghasilkan jutaan gulden setiap tahunnya untuk para pemilik perkebunan. Dalam perjanjian itu disebutkan adanya platselijke raad atau semacam dewan pemerintahan, tapi kekuasaannya hanya sebatas ?edaulatan politik?, sementara urusan ekonomi dan eksploitasi, termasuk pengerahan tenaga kerja yang terkenal kejam, diserahkan sepenuhnya kepada pemilik perkebunan. Begitu pula dengan Nota Colijn yang menjadi rujukannya untuk memahami ?edaulatan? wilayah-wilayah merdeka di bagian timur Nusantara. Dalam nota itu berulangkali ditekankan bahwa negeri-negeri yang ?erdeka? berada di bawah kekuasaan kolonial.
Persoalan lain, Resink juga nampaknya mengabaikan gerakan protes dan perlawanan rakyat yang me luas sejak abad ke-19, sementara para penguasa feodal di masing-masing wilayah menikmati ?esetaraan? dengan penguasa kolonial. Justru penaklukan kalangan elit dan perlawanan rakyat adalah ciri tanah jajahan di mana pun. Artinya, kemerdekaan tidak dapat diukur hanya dari sisi hukum, tapi harus melihat keseluruhan cara hidup masyarakat yang bersangkutan.
Studi Resink dan cara berpikirnya sangat dipengaruhi oleh keinginan ?eluruskan sejarah? dari salah paham, baik di kalangan sarjana kolonial konservatif maupun gerakan nasionalis. Ia masuk dalam sebuah perdebatan panjang yang menariknya sampai pada kesimpulan sama dengan kepentingan yang bertolak belakang. Sementara kaum konservatif mengklaim penjajahan selama 350 tahun sebagai pembenaran untuk melanjutkan kolonialisme, gerakan nasionalis mengklaim kurun yang sama sebagai dasar untuk membebaskan diri.
Di tahun 1950-an, saat Resink menulis esei-eseinya yang mahsyur itu, gerakan nasionalis sedang naik pasang. Komentarnya memang menimbulkan perdebatan kembali di kalangan nasionalis dan intelektual sezaman. Komentar dan kritiknya yang tajam terhadap salah paham kaum nasionalis atas sejarahnya sendiri menjadi catatan penting bahwa propaganda tidak bisa bertahan atas dasar-dasar yang rentan dan salah. Sebaliknya perlu kita ingat bahwa Resink juga mengabaikan berbagai hal, termasuk hal-hal terpenting mengenai hubungan eksploitatif antara penguasa kolonial dan rakyat tanah jajahan. Kesepakatan dan perjanjian dalam bahasa yang santun tidak dengan sendirinya mencerminkan ?esetaraan?. Sumatera Timur mungkin menjadi contoh yang menonjol, sementara berdaulat di bidang politik, eksploitasi menyebabkan ratusan ribu orang menderita sebagai kuli kontrak yang nyaris seperti budak.
Bagaimanapun, karya Resink memberi sumbangan berharga untuk menyadari bahwa kemerdekaan secara legal-formal dan kedaulatan hukum, tidak dengan sendirinya berarti pembebasan menyeluruh dari hubungan-hubungan yang menindas.
Razif, pekerja pada Jaringan Kerja Budaya
http://mkb.kerjabudaya.org/mkb-07200...sik-072001.htm |
Rate
-
1
View Rating Log
-
|
|
|
|
|
|
|
TAN MALAKA (1897-1949)
GERILYAWAN REVOLUSIONER YANG LEGENDARIS
Tan Malaka ?engkapnya Ibrahim Datuk Tan Malaka?enurut keturunannya ia termasuk
suku bangsa Minangkabau. Pada tanggal 2 Juni 1897 di desa Pandan Gadang ?umatra
Barat?an Malaka dilahirkan. Ia termasuk salah seorang tokoh bangsa yang sangat
luar biasa, bahkan dapat dikatakan sejajar dengan tokoh-tokoh nasional yang
membawa bangsa Indonesia sampai saat kemerdekaan seperti Soekarno, Hatta,
Syahrir, Moh.Yamin dan lain-lain.
Pejuang yang militan, radikal dan revolusioner ini telah banyak melahirkan
pemikiran-pemikiran yang orisinil, berbobot dan brilian hingga berperan besar
dalam sejarah perjaungan kemerdekaan Indonesia. Dengan perjuangan yang gigih
maka ia mendapat julukan tokoh revolusioner yang legendaris.
Pada tahun 1921 Tan Malaka telah terjun ke dalam gelanggang politik. Dengan
semangat yang berkobar dari sebuah gubuk miskin, Tan Malaka banyak mengumpulkan
pemuda-pemuda komunis. Pemuda cerdas ini banyak juga berdiskusi dengan Semaun
(wakil ISDV) mengenai pergerakan revolusioner dalam pemerintahan Hindia Belanda.
Selain itu juga merencanakan suatu pengorganisasian dalam bentuk pendidikan bagi
anggota-anggota PKI dan SI (Syarekat Islam) untuk menyusun suatu sistem tentang
kursus-kursus kader serta ajaran-ajaran komunis, gerakan-gerakan aksi komunis,
keahlian berbicara, jurnalistik dan keahlian memimpin rakyat. Namun pemerintahan
Belanda melarang pembentukan kursus-kursus semacam itu sehingga mengambil
tindakan tegas bagi pesertanya.
Melihat hal itu Tan Malaka mempunyai niat untuk mendirikan sekolah-sekolah
sebagai anak-anak anggota SI untuk penciptaan kader-kader baru. Juga dengan
alasan pertama: memberi banyak jalan (kepada para murid) untuk mendapatkan mata
pencaharian di dunia kapitalis (berhitung, menulis, membaca, ilmu bumi, bahasa
Belanda, Melayu, Jawa dan lain-lain); kedua, memberikan kebebasan kepada murid
untuk mengikuti kegemaran (hobby) mereka dalam bentuk perkumpulan-perkumpulan;
ketiga, untuk memperbaiki nasib kaum kromo (lemah/miskin). Untuk mendirikan
sekolah itu, ruang rapat SI Semarang diubah menjadi sekolah. Dan sekolah itu
bertumbuh sangat cepat hingga sekolah itu semakin lama semakin besar.
Perjaungan Tan Malaka tidaklah hanya sebatas pada usaha mencerdaskan rakyat
Indonesia pada saat itu, tapi juga pada gerakan-gerakan dalam melawan
ketidakadilan seperti yang dilakukan para buruh terhadap pemerintahan Hindia
Belanda lewat VSTP dan aksi-aksi pemogokan, disertai selebaran-selebaran sebagai
alat propaganda yang ditujukan kepada rakyat agar rakyat dapat melihat adanya
ketidakadilan yang diterima oleh kaum buruh.
Seperti dikatakan Tan Malaka pad apidatonya di depan para buruh "Semua gerakan
buruh untuk mengeluarkan suatu pemogokan umum sebagai pernyataan simpati,
apabila nanti menglami kegagalan maka pegawai yang akan diberhentikan akan
didorongnya untuk berjuang dengan gigih dalam pergerakan revolusioner".
Pergulatan Tan Malaka dengan partai komunis di dunia sangatlah jelas. Ia tidak
hanya mempunyai hak untuk memberi usul-usul dan dan mengadakan kritik tetapi
juga hak untuk mengucapkan vetonya atas aksi-aksi yang dilakukan partai komunis
di daerah kerjanya. Tan Malaka juga harus mengadakan pengawasan supaya anggaran
dasar, program dan taktik dari Komintern (Komunis Internasional) dan Profintern
seperti yang telah ditentukan di kongres-kongres Moskow diikuti oleh kaum
komunis dunia. Dengan demikian tanggung-jawabnya sebagai wakil Komintern lebih
berat dari keanggotaannya di PKI.
Sebagai seorang pemimpin yang masih sangat muda ia meletakkan tanggung jawab
yang saangat berat pada pundaknya. Tan Malaka dan sebagian kawan-kawannya
memisahkan diri dan kemudian memutuskan hubungan dengan PKI,
Sardjono-Alimin-Musso. Pemberontakan 1926 yang direkayasa dari Keputusan
Prambanan yang berakibat bunuh diri bagi perjuangan nasional rakyat Indonesia
melawan penjajah waktu itu. Pemberontakan 1926 hanya merupakan gejolak kerusuhan
dan keributan kecil di beberapa daerah di Indonesia. Maka dengan mudah dalam
waktu singkat pihak penjajah Belanda dapat mengakhirinya. Akibatnya ribuan
pejuang politik ditangkap dan ditahan. Ada yang disiksa, ada yang dibunuh dan
banyak yang dibuang ke Boven Digul Irian Jaya. Peristiwa ini dijadikan dalih
oleh Belanda untuk menangkap, menahan dan membuang setiap orang yang melawan
mereka, sekalipun bukan PKI. Maka perjaungan nasional mendapat pukulan yang
sangat berat dan mengalami kemunduran besar serta lumpuh selama bertahun-tahun.
Tan Malaka yang berada di luar negeri pada waktu itu, berkumpul dengan beberapa
temannya di Bangkok. Di ibukota Thailand itu, bersama Soebakat dan Djamaludddin
Tamin, Juni 1927 Tan Malaka memproklamasikan berdirinya Partai Republik
Indonesia (PARI). Dua tahun sebelumnya Tan Malaka telah menulis "Menuju Republik
Indonesia". Itu ditunjukkan kepada para pejuang intelektual di Indonesia dan di
negeri Belanda. Terbitnya buku itu pertama kali di Kowloon, Cina, April 1925.
Prof. Moh. Yamin sejarawan dan pakar hukum kenamaan kita, dalam karya tulisnya
"Tan Malaka Bapak Republik Indonesia" memberi komentar: "Tak ubahnya daripada
Jefferson Washington merancangkan Republik Amerika Serikat sebelum
kemerdekaannya tercapai atau Rizal Bonifacio meramalkan Philippina sebelum
revolusi Philippina pecah?."
Ciri khas gagasan Tan Malaka adalah: (1) Dibentuk dengan cara berpikir ilmiah
berdasarkan ilmu bukti, (2) Bersifat Indonesia sentris, (3) Futuristik dan (4)
Mandiri, konsekwen serta konsisten. Tan Malaka menuangkan gagasan-gagasannya ke
dalam sekitar 27 buku, brosur dan ratusan artikel di berbagai surat kabar
terbitan Hindia Belanda. Karya besarnya "MADILOG" mengajak dan memperkenalkan
kepada bangsa Indonesia cara berpikir ilmiah bukan berpikir secara kaji atau
hafalan, bukan secara "Text book thinking", atau bukan dogmatis dan bukan
doktriner.
Madilog merupakan istilah baru dalam cara berpikir, dengan menghubungkan ilmu
bukti serta mengembangkan dengan jalan dan metode yang sesuai dengan akar dan
urat kebudayaan Indonesia sebagai bagian dari kebudayaan dunia. Bukti adalah
fakta dan fakta adalah lantainya ilmu bukti. Bagi filsafat, idealisme yang pokok
dan pertama adalah budi (mind), kesatuan, pikiran dan penginderaan. Filsafat
materialisme menganggap alam, benda dan realita nyata obyektif sekeliling
sebagai yang ada, yang pokok dan yang pertama.
Bagi Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika) yang pokok dan pertama adalah
bukti, walau belum dapat diterangkan secara rasional dan logika tapi jika fakta
sebagai landasan ilmu bukti itu ada secara konkrit, sekalipun ilmu pengetahuan
secara rasional belum dapat menjelaskannya dan belum dapat menjawab apa, mengapa
dan bagaimana.
Semua karya Tan Malaka danpermasalahannya dimulai dengan Indonesia. Konkritnya
rakyat Indonesia, situasi dan kondisi nusantara serta kebudayaan, sejarah lalu
diakhiri dengan bagaimana mengarahkan pemecahan masalahnya. Cara tradisi nyata
bangsa Indonesia dengan latar belakang sejarahnya bukanlah cara berpikir yang
"text book thinking" dan untuk mencapai Republik Indonesia sudah dicetuskan
sejak tahun 1925 lewat "Naar de Republiek Indonesia".
Jika kita membaca karya-karya Tan Malaka yang meliputi semua bidang
kemasyarakatan, kenegaraan, politik, ekonomi, sosial, kebudayaan sampai
kemiliteran ("Gerpolek"-Gerilya-Politik dan Ekonomi, 1948), maka akan kita
temukan benang putih keilmiahan dan keIndonesiaan serta benang merah
kemandirian, sikap konsekwen dan konsisten yang direnda jelas dalam
gagasan-gagasan serta perjuangan implementasinya.
Peristiwa 3 Juli 1946 yang didahului dengan penangkapan dan penahanan Tan Malaka
bersama pimpinan Persatuan Perjuangan, di dalam penjara tanpa pernah diadili
selama dua setengah tahun. Setelah meletus pemberontakan FDR/PKI di Madiun,
September 1948 dengan pimpinan Musso dan Amir Syarifuddin, Tan Malaka
dikeluarkan begitu saja dari penjara akibat peristiwa itu.
Di luar, setelah mengevaluasi situasi yang amat parah bagi republik Indonesia
akibat Perjanjian Linggarjati 1947 dan Renville 1948, yang merupakan buah dari
hasil diplomasi Syahrir dan Perdana Menteri Amir Syarifuddin, Tan Malaka
merintis pembentukan Partai MURBA, 7 November 1948 di Yogyakarta. Dan pada tahun
1949 tepatnya bulan Februari Tan Malaka gugur, hilang tak tentu rimbanya, mati
tak tentu kuburnya di tengah-tengah perjuangan "Gerilya Pembela Proklamasi" di
Pethok, Kediri, Jawa Timur.
Namun berdasarkan keputusan Presiden RI No. 53, yang ditandatangani Presiden
Sukarno 28 Maret 1963 menetapkan bahwa Tan Malaka adalah seorang pahlawan
kemerdekaan Nasional. (Bek)
BERGELAP-GELAPLAH DALAM TERANG, BERTERANG-TERANGLAH DALAM GELAP ! (TAN MALAKA)
Diketik ulang dari Brainwashed, Jakarta Extreme Fanzine, June?99, Issue #7. |
Rate
-
1
View Rating Log
-
|
|
|
|
|
|
|
Aku enggak bisa faham bahasa Indonesia |
|
|
|
|
|
|
|
Originally posted by WonBin at 15-6-2006 01:39 AM
Aku enggak bisa faham bahasa Indonesia
kalo nggak bisa ngerti, nggak mudeng, silah-kan slalu nongol di situs2 Indonesia. nggak salah bukan? |
|
|
|
|
|
|
|
kalu visit situs2 di sana tapi masih tak faham gak sebab tiada guru ngajarin..betul ke nih aku taip..:nerd::nerd: |
|
|
|
|
|
|
|
ilmu yg bagus.terima kasih kerana berkonsi maklumat......... |
|
|
|
|
|
|
|
Reply #8 abas8888's post
Saya pun ngak bisa bicara dalam bahasa Indonesia kerana banyak terminologi berlainan sekali dengan bahasa Melayu. Selalunya apabila saya terjumpa bahasa Indo yang saya tidak faham saya gunakan kamus Indo-English dan dari situ baru saya cari persamaannya dalam bahasa Melayu. Contohnya : Mantan(BI)=Former=Bekas(BM). |
|
|
|
|
|
|
|
Kolonialisme Belanda
Riwayat kolonilisme Belanda sebaya umurnyan dengan terbentuknya ?utch nation-state?. Kekalahan armada Spanyol di tangan angkatan laut Inggeris terus melenyapkan pengaruh Katholik Spanyol di Belanda. Belanda bebas dan terus maju sabagai kuasa imperialist baru. Angkatan lautnya setanding dan bisa memberi persaingan kuat pada Portugis. Demi untuk mencapai hasrat kolonialisme, sabuah entiti yang di panggil Dutch East India Company (VOC atau kompani saja di Indonesia) di perbadankan, pada March 20 tahun 1602, dan diberi hak monopoli selama 21 tahun untuk menjalankan urusan kolonialisme di Asia.
VOC mendirikan kubu2 di persisiran pulau Jawa, memungut toll, mengenakan cukai2( yang tak masuk akal) kapada rayaat biasa yang menderita. Gulungan bangsawan dan raja2 daerah di pergunakan sebagai apparatus untuk menguatkuasa dasar2 kolonial master. Belanda mempunyai kuasa monopoly absolute dalam urusan dagang komoditi kopi dan cengkeh, jual beli barang tembikar Cina dan Nippon ke pasaran Europah.
Sorry! kena sambung lagi..nak tengok bola. |
Rate
-
1
View Rating Log
-
|
|
|
|
|
|
|
Originally posted by thamrong at 15-6-2006 10:41 AM
Jiran tetanga yang dekat tu lebeh baik dari saudara yang jauh'. ...
Kalo masing2 pakai konsep tu xpe jugak..ni nampak one sided jek..peh |
|
|
|
|
|
|
|
Originally posted by jofizo at 15-6-2006 03:20 PM
join kaskus la.......
silahkan gabung ke : www.kaskus.us |
|
|
|
|
|
|
|
tak silap aku ... orang indonesia yg memula memanggil dutchman sebagai belanda ...
asal dari tempat yg diorang datang ... flanders
skang nieh flanders dikenali sebagai nederlands |
|
|
|
|
|
|
|
come to think of it. this thread is different with the other one.
this is Old Jakarta Thread, the "Jakarta Koeta Toea"
As seen below:
- note the extensive train line, more extensive than now. many of them has been removed. burried. and... stolen.
|
|
|
|
|
|
|
|
][B]JAKARTA/BATAVIA III[/B][/SIZE][/COLOR]
[B]Batavia: Town Hall (built 1710) 1910.[/B]
[B]Batavia: Monument to the rememberance of the establishment of Dutch rule in Northern-Sumatra (Aceh??).[/B]
[B]Museum van het Bataviaasch Genootschap voor de Kunsten. 1910.[/B]
[B]Batavia: 'Daendels' Palace, built as residence for the Dutch Governor-generals, but served as Ministry, as it is still its function today in Indonesia.[/B]
[B]Batavia, Societeit Concordia, Concordia Officers Club.[/B]
[B]Batavia; Koningsplein, Kings' Square.[/B]
[B]Batavia: Koningsplein, side of Kings' Square.[/B]
[B]Batavia street scene 1910, with tram line.[/B]
[B]Batavia: Willemskerk, now Gereja Immanuel.[/B]
[B]Jakarta Cathedral.[/B]
[B]Batavia: The Amsterdam Gate; (demolished)[/B]
[B]Batavia/Iacatra/Jakarta map, 1672.[/B]
[B]Batavia: City Theatre, the and now[/B]
[B]Batavia: city tavern.[/B]
[B]Batavia, a Palace of the Dutch Governor General.[/B]
[B]Buitenzorg/Bogor, Palace of the Dutch Governor General, now Presidential Palace.[/B]
[B]Just a few of the many Governors-Generals over the more than 350 year Dutch rule in the East Indies.[/B] [/COLOR] [/SIZE]
[B]GG Van Riebeeck[/B]
[B]GG Woll[/B]
[B]GG Grael[/B]
[B]GG Haan[/B]
[B]GG Hoorn[/B]
[B]GG Geerens[/B]
[B]GG Fock[/B]
[B]GG Van Rees[/B]
[B]GG Ahud[/B]
[B]GG Janssens[/B]
[B]GG Mijer[/B]
[B]GG Jonge[/B]
[B]GG Landsberge[/B]
[B]GG Idenburg[/B]
[B]GG J. P. Van Limburg-Stirum[/B]
[B]GG Jhr. Tjarda van Starkenborch-Stachouwer, the last Governor-General of the Dutch East Indies.[/B]
[B]Batavia: Koningsplein, in the Middle a Palace of the Governor-General (City Residence besides Buitenzorg/Bogor Palace) >> Now a presidential Palace; Istana Merdeka Jakarta.[/B]
[B]Batavia, Tijgersgracht, (Tigers-Canal).[/B]
[B]Estate of Reinier de Klerk >> Arsip Nasional.[/B]
[B]Batavia/Jakarta; very old map.[/B] |
|
|
|
|
|
|
|
sekarang banyak kawasan perbandaran zaman belanda dulu macam rumah kedai , pejabat sampai digelar amsterdam timur tapi sekarang ni terbiar ditumbuhi semak menjadi tempat pengemis dan penagih dadah |
|
|
|
|
|
|
|
Itulah Tujuannya Bangsa saya melancarkan Aksi Polisionil pd thn 1945-1949 |
|
|
|
|
|
|
| |
|