View: 4063|Reply: 8
|
Kejayaan Aceh dari Selembar Surat
[Copy link]
|
|
Nur Raihan - detikcom
Banda Aceh - "Surat daripada Seri Sultan Perkasa Alam Johan Berdaulat,raja yang beroleh martabat kerajaan, yang dalam takhta kerajaan yangtiada terlihat oleh penglihat, yang tiada terdengar oleh pendengar,yang bermahligai gading, berukir kerawang, bersendi-bersindura, bewarnasadalinggam, yang berair mas, yang beristana sayojana menentang".
Demikian mukadimah surat yang ditulis Sultan Iskandar Muda kepada RajaInggris James pada tahun 1615 silam. Surat yang disebut sebagai goldenletter itu kini baru bisa disaksikan masyarakat Aceh sejak Selasa(27/2/2007) kemarin di Museum Provinsi Nanggroe Aceh Darusslama (NAD)setelah duplikatnya dibawa dari perpustakaan Bodlian, Oxford, Inggris.
Surat berbahasa Melayu dengan aksara Jawi ini disebut memiliki hiasantertua dan terindah, terbesar bahkan paling spektakuler. Sebab, selainpanjangnya mencapai satu meter, surat bersampul sutra kuning asli iniditulis dengan tinta warna emas di atas kertas oriental.
Dari surat yang tiga perempat isinya melukiskan tentang keagungan Sultan Iskandar Muda (1607-1636)beserta kekayaan dan keluasan wilayah kekuasaannya, jelas terekamkemegahan Kerajaan Aceh. Dan di bawah kekuasaan sultan yang berjulukSultan Perkasa Alam ini, Kerajaan Aceh memang mencapai puncakkejayaannnya.
Tak hanya surat Sultan Iskandar Muda ini saja yang dipamerkan MuseumNegeri Aceh, tapi juga berbagai surat dari Sultan Aceh lainnya, jauhsebelum Sultan Iskandar Muda berdaulat. Seperti surat Sultan Aceh,Alaaddin Syah al-Kahhar untuk Sultan Sulaiman Agung di KesultananUsmani, Turki, yang bertarikh 1566 M.
Disebutkan Prof Anthony Reid, sejarawan terkemuka, yang banyak menulisbuku tentang Aceh dari National University of Singapore, sepanjang abad16 hingga awal abad ke-19, Aceh telah memiliki hubungan diplomatik yangluas, sesuatu yang jarang dimiliki oleh sebuah kerajaan kepulauan.
Pameran ini juga dinilainya untuk memberikan informasi yang selama inikurang banyak diketahui, pertukaran diplomatik antara Sultan AlauddinRiayat Shah al-Kahhar (1539-1571) dan Sultan Turki Usmani di sepanjang tahun 1566-1568.
"Aliansi luar biasa ini, pertama-tama merupakan hasil dari perdaganganlada yang secara langsung menghubungkan Aceh ke Laut Merah untukmenyaingi kapal lada bangsa Portugis di sekitar Afrika. Aliansi inijuga dalam rangka menggalang kekuatan sekutu-sekutu kaum muslim gunamelakukan perlawanan militer dan keagamaan menentang Portugis," jelasProf.Anthony Reid dalam pengantarnya di katalog pameran.
Aliansi ini berdasarkan surat-surat diplomatik, dibalas Turki denganmengirimkan beberapa meriam besarnya ke Aceh. Meriam-meriam itu sendirikini disimpan sebagai 'tanda mata perang' di Museum Bronbeek, Belanda.
Ditambahkannya, kebangkitan Aceh, salah satunya dipicu oleh rasaketidaksukaan banyak saudagar muslim dan saudagar lainnya terhadapcampur tangan Portugis pada urusan kerajaan mereka. Salah satunyaadalah surat yang berbahasa Arab, besar kemungkinan adalah teks asli.Sayang, dokumen yang lain hanya tersedia dalam terjemahan Portugis.
Gambaran lainnya, dikatakan Prof Anthony Reid terlihat jelas dalamkoleksi-koleksi surat yang dipamerkan, yang belum pernah dipublikasikandan dipertontokan sebelumnya. Seperti surat para Sultan Pasai dan Pidieyang sudah berkirim surat dengan Bangsa Portugis sejak awal 1512 dan1520, jauh sebelum Aceh mendominasi pantai utara Sumatera.
Meski demikian, dia menyimpulkan, surat-surat ini memberikan sekilaspandangan kepada kita mengenai gaya penulisan surat diplomatis bangsaIndonesia dan bangsa-bangsa lain pengguna bahasa Melayu (Malay-speakingWorld).
Selain itu, juga menggambarkan betapa pentingnya kesultanan Acehsebagai sebuah kekuatan utama di duniadan menunjukkan bahwa kesultananAceh sejajar dengan para monarki Samudra Hindia lainnya yang menerimasurat-surat seperti- Mughal India, Siam, Turki, seperti tak ubahnyabangsa-bangsa Eropa.
Pameran surat-surat Sultan Aceh prakolonial yang bertajuk DiplomasiAceh ini adalah rangkaian dari Konferensi Internasional PertamaMengenai Studi Aceh dan Kawasan Samudera Hindia. Surat-surat yangdipamerkan berupa duplikat yang berasal dari Turki, Portugis, Perancis,Inggris dan Denmark.
Gubernur Aceh Irwandy Yusuf berharap, lewat konferensi internsional danjuga pameran ini, sejarah Aceh dapat ditulis ulang dan lebihkomperhensif. Meski disayangkannya, kita tidak bisa mendapat koleksidokumen-dokumen aslinya, karena belum ada museum yang cukup layak diAceh yang bisa menjaga keawetan dokumen-dokumen itu seperti di Eropa.
"Tapi kita akan mendapat duplikatnya dalam bentuk digital. Khususnya,dokumen yang kini ada di Belanda," ungkapnya pada wartawan. Dan untukini, Belanda sudah merogoh koceknya sedikitnya 300 ribu Euro atausekitar Rp 3 miliar untuk membuat dokumen-dokumen tersebut kedalambentuk digital.
Dari pameran ini, tentunya tak hanya gambaran kejayaan Aceh masa lalusaja yang bisa kita dapat, tapi juga bagaimana membuat kejayaan kembalidi negeri yang telah luluh lantak dihantam konflik dan juga gempa sertatsunami ini.
Selain menampilkan surat-surat, pameran ini juga menampilkan sejumlahlukisan dan foto-foto. Sayangnya, pameran yang jarang-jarang dilakukanini, kurang dapat diakses masyarakat luas. Seperti diutarakan Michelle,salah satu pekerja NGO asal Perancis yang datang berkunjung.
"Saya baru melihat lima menit, pamerannya sudah ditutup karena jamistirahat. Padahal, pekerja-pekerja seperti saya itu hanya punya waktuluang ketika jam istirahat. Dan kata petugasnya tadi, pameran inidibuka lagi jam dua, itu saya sudah harus kerja lagi," katanya kesalsembari menambahkan pamerannya sore hari akan ditutup jam empat, danlagi-lagi sepulang kantor dia tidak bisa berkunjung, karena baru usaikerja sekitar pukul 5 sore.
"Sayang sekali, pameran langka seperti ini terlalu sulit diakses," katanya tak habis pikir.
http://www.detiknews.com/indexfr.php...077/idkanal/10 |
|
|
|
|
|
|
|
Sultan Iskandar Muda
Acheh reached its golden age in the 1600s under Sultan Iskandar Muda. He presided over an unprecedented expansion of territory and involvement in the region's spice trade, which was as vital to the global economy then as oil is today. Acheh expanded over much of Sumatra and parts of the Malay peninsula. Under Iskandar Muda and his successor, Iskandar Thani, Aceh was also a centre of Islamic scholarship and debate
A letter from Iskandar Muda of Acheh to King James I of England, dated 1024 Hijra (1615). This magnificent letter is nearly a metre high, and three quarters of it is devoted to spelling out the glory of the Acehnese Sultan. It is now held in the Bodleian Library, Oxford |
|
|
|
|
|
|
|
ISKANDAR MUDA IN THE EYE扴 OF WORLD
Editor: Yusra Habib Abdul Gani
368 years ago, Sultan Iskandar Muda left us, but today he alive among us. Today, Achehnese commemorating the death of Sultan Iskandar Muda in December 27, 1636, a national holiday, SULTAN ISKANDAR MUDA DAY. Here, we can read comment from several source of Iskandar Muda: google.dk wrote: 揢nder the leadership of Sultan Iskandar Muda, Aceh reached its golden era, conquering numerous areas in Sumatra, including Natal Tiku, Pariaman, Nias island and Johor on the Malaka Peninsula. Aceh also launched several offensives against Portugal in Malaka. Although it never truly defeated Portugal, Aceh controlled trade in the straits. Because of his success in expanding Aceh, Sultan Iskandar Muda was often referred to as the Alexander the Great of the East. |
|
|
|
|
|
|
|
Aceh Selalu menarik untukdikaji, ditelesuri dan dianalisis dalam perspektif keilmiahan budaya.Setidaknya dalam perjalanan sejarah perpolitikan Aceh tempoe doeloe, budayamenjadi salah satu ruh dalam menggapai kemajuan baik politik luar dandalam negeri, hukum, pendidikan, ekonomi maupun sosio keagamaan. Sebanarnyakalau ditilik lebih jauh, Aceh sudah mempunyai sistem sosial yang valid,kontrik dan update menurut zamannya. Namun demikian ada kegagalan dalammelahirkan generasi culture sensitive, telah menyebabkan perhatian daneksistensi budaya Aceh menggalami penggeseran secara massif.
Kajian lengkap Budaya Aceh Tempo Doeloe dapat dilihat disini:
http://www.acehinstitute.org/artikel_budaya_270107_aceh_dalam_lintasan_budaya.htm |
|
|
|
|
|
|
|
Jejak-jejak Kejayaan Perahu Aceh...
Ahmad Arif
Ratusan perahu milik armada laut Aceh mengepung kapal-kapal perang Portugis di Selat Malaka. Pertempuran hebat pada 1576 itu menggambarkan armada laut Aceh mampu mengimbangi pelaut-pelaut Portugis, yang dikenal sebagai salah satu penguasa lautan di masa itu.
Dokumen berupa sketsa yang terdapat dalam buku Hist觬ia de Servi鏾s com Martirio de Luis Monteiro Coutinhoi (Riwayat Pengorbanan sang martir Luis Monteiro Coutinhoi), koleksi Perpustakaan Nasional Reservados No 414 Lisbon, Portugal, itu dipamerkan di Museum Aceh, 26 Febuari-4 Maret 2007. Dalam La Grand Encyclopidie juga disebutkan, armada laut Aceh yang menyerang Portugis di Selat Malaka itu mencapai 500 kapal perang berisi 60.000 tentara laut. Perang antara armada Aceh dan Portugis ini terjadi dalam beberapa babak selama bertahun-tahun, di mana kedua pihak saling mengalahkan.
Armada laut Aceh memang pernah menguasai perairan utara Sumatera. Sebagaimana terlihat dalam lukisan Fernao Vaz Dourado (1568), di muara-muara sungai atau krueng, salah satunya mirip Krueng Aceh yang membelah Banda Aceh, dipenuhi armada perang laut Aceh.
Tak hanya armada perang, menurut Anthony Reid, pakar sejarah Asia Tenggara dari National University Singapura, armada dagang Aceh juga telah mengarungi berbagai belahan dunia hingga ke Laut Merah, dengan komoditas utama lada. Armada dagang ini menyaingi dominasi kapal lada bangsa Portugis hingga di Afrika. Armada kapal dagang ini pula yang merintis terbentuknya aliansi diplomatik antara Aceh de- ngan Sultan Turki Usmani sejak 1500-an.
Namun, kejayaan armada laut Aceh itu hanyalah masa lalu. Sisa kehebatan orang Aceh di laut hanya bisa dilihat jejaknya pada keberanian nelayannya yang biasa mencari ikan hiu hingga ke perairan Andaman, India. Berbicara tentang perahu Aceh kini berarti adalah melulu bicara tentang perahu nelayan.
Timur dan barat
Untuk melihat ragam perahu Aceh, kami melakukan perjalanan menyusuri pesisir pantai timur dari Aceh Timur hingga pesisir pantai barat di Singkil. Berdasarkan wilayah sebarannya, perahu Aceh pada dasarnya terbagi menjadi dua.
Di pesisir barat, perahu memiliki kepala melebar, untuk mencegah ombak masuk ke dalam bunyikan. Sementara di pesisir timur memiliki kepala runcing dan tinggi. Mereka memang tak banyak mengalami kendala menghadapi ombak tinggi, dan memilih model kepala yang runcing untuk mempercepat laju kapal saat mengarungi laut.
Selain bentuknya, ukuran perahu-perahu di pesisir barat untuk berbagai kategori biasanya lebih besar dibandingkan di pantai timur. Misalnya, untuk bagan, di pantai barat ukurannya satu setengah kali lebih besar.
Perbedaan ini didasari oleh kondisi laut yang berlainan. Di pesisir barat, perahu nelayan beroperasi di Samudra Hindia, dengan ombak yang ganas. Tak ada musim timur atau barat, hampir sepanjang tahun mereka menghadapi keganasan ombak laut lepas. Sementara di pesisir timur, perahu akan beroperasi di kawasan Selat Malaka, yang sangat terpengaruh pada musim angin timur dan barat. Ombak di pantai timur relatif lebih kecil dibandingkan di barat.
Dari ukuran dan fungsinya, perahu-perahu Aceh banyak yang mengalami perubahan dari zaman ke zaman, dan sebagian kini tak bisa ditemui lagi. Julius Jacobs dalam bukunya, Het Familie En Kampongleven, Op Groot Atjeh (1894), terbitan Leiden, menyebutkan, perahu Aceh terdiri dari jal |
|
|
|
|
|
|
|
Post Last Edit by HangPC2 at 31-8-2009 09:40
Hubungan Politik Aceh dan Kerajaan Uthmaniyah
Portugis meluaskan pengaruhnya bukan hanya ke Timur Tengah tetapi juga ke Samudera India. Raja Portugis Emanuel I secara terang-terangan menyampaikan tujuan utama ekspedisi tersebut dengan mengatakan, Sesungguhnya tujuan dari pencarian jalan laut ke India adalah untuk menyebarkan agama Kristian, dan merampas kekayaan orang-orang Timur. Khilafah Uthmaniyah tidak berdiam diri. Pada tahun 925H/1519 M, Portugis di Melaka digemparkan oleh berita tentang penghantaran armada Utsmaniyah untuk membebaskan Muslim Melaka dari penjajahan kafir. Khabar ini tentu saja sangat menggembirakan umat Islam setempat.
Ketika Sultan Ala Al-Din Riayat Syah Al-Qahhar naik takhta di Aceh pada tahun 943 H/1537 M, ia menyedari keperluan Aceh untuk meminta bantuan ketenteraan dari Turki. Bukan hanya untuk mengusir Portugis di Melaka, tetapi juga untuk menakluk wilayah lain, khususnya daerah pedalaman Sumatera, seperti daerah Batak. Al-Kahar menggunakan pasukan Turki, Arab dan Habsyah. Pasukan Khilafah 160 orang dan 200 orang askar dari Malabar, membentuk kelompok elit angkatan bersenjata Aceh. Al-Kahhar selanjutnya mengerahkan untuk menakluk wilayah Batak di pedalaman Sumatera pada 946 H/1539 M. Mendez Pinto, yang mengamati perang antara pasukan Aceh dengan Batak, melaporkan kembalinya armada Aceh di bawah komando seorang Turki bernama Hamid Khan, anak saudara Pasya Utsmani di Kaherah.
Seorang sejarawan Universiti Kebangsaan Malaysia, Lukman Taib, mengakui adanya bantuan Khilafah Uthmaniyah dalam penaklukan terhadap wilayah sekitar Aceh. Menurut Taib, perkara ini merupakan ungkapan perpaduan umat Islam yang memungkinkan Khilafah Uthmaniyah melakukan serangan langsung terhadap wilayah sekitar Aceh. Bahkan, Khilafah mendirikan akademi tentera di Aceh bernama Askeri Beytul Mukaddes yang diubah menjadi Askar Baitul Maqdis yang lebih sesuai dengan loghat Aceh. Maktab ketenteraan ini merupakan pusat yang melahirkan pahlawan dalam sejarah Aceh dan Indonesia. Demikianlah, hubungan Aceh dengan Khilafah yang sangat akrab. Aceh merupakan sebahagian dari wilayah Khilafah. Persoalan umat Islam Aceh dianggap Khilafah sebagai persoalan dalam negeri yang mesti segera diselesaikan.
|
|
|
|
|
|
|
|
The Ottoman Military Academy in Aceh
Understandably much of the focus on the Ottoman Empire is on its clash with Western Europe. There is at least one aspect of Ottoman military power that reached out into wider Asia, the Ottoman Military Academy in Aceh on the northern tip of the island of Sumatra in what is now Indonesia. From what I understand this was the only Ottoman Military Academy established outside of the empire's confines. It was part of a broader military assistance program that was focused on blunting Portuguese expansion into Southeast Asia.
There is an excellent source on the web that outlines the genesis and growth of the Ottoman-Acehnese diplomatic relationship using Turkish sources. It noted the first diplomatic contact from the Sultan of Aceh to the Ottoman Empire as occurring in 1547 but that there were no Turkish sources to expand on it. There was some debate also as to whether it was later, 1562 but that argument is unlikely to be settled unless new evidence is discovered. In addition, the well known historian of Southeast Asia, Anthony Reid, implied that the relationship may have existed since the 1520s. Both sources agreed that it was possible that the first Ottoman military assistance to Aceh was in the late 1530s when sailors from the Ottoman Fleet that had fought at Diu in India continued down to Aceh to help the Acehnese fight the Bataks and Portuguese.
Aceh's first confirmed diplomatic approach to the Ottoman Empire was in 1566 when the Sultan of Aceh, Alaaddin Riayet Shah al-Kahhar (r 1537-71) sent a letter dated 7 January 1566 with an ambassador to the Ottoman Emperor, Sultan Suleiman the Magnificent. This letter referred to Ottoman cannoneers who had arrived safely in Aceh and appealed for more assistance. The death of Suleiman that year and a rebellion in Yeman delayed and then downscaled the assistance that the Ottomans eventually sent in 1568 or 1569, possibly more cannons and experts to make them locally in Aceh. It should be noted that the original plans by the Ottomans were substantial including at least 15 galleys carrying artisans skilled in ship building and siege warfare.
Aceh made good use of the cannon makers and established a local foundry, turning out some very large cannons. There were two very large cannons that still existed in Aceh into the late 1800s according to a Turkish visitor. They were only taken when the Dutch occupied Aceh and this is potentially borne out by the picture below.
The fact that the Sultan of Aceh could write a letter such as mentioned above and receive the assistance that he did showed the importance of Aceh's trade, mainly pepper, with the Ottomans and also an already existing relationship of some depth. The Ottomans no doubt felt well disposed to assisting the Acehnese as that aid would make life hard for the Portuguese. Interestingly the historian Michael Charney in his book stated that the Turks were looking for allies in the Indian Ocean to prevent the Portuguese from outflanking the Ottomans.
The Ottoman Academy
Turning now to the military academy, there was agreement amongst the sources that such an academy existed in Aceh, although there was little detail. The academy was called Askari Bayt Al-Mugaddas (Sacred Military Academy), although according to an Indonesian sourcethe name was changed to become Askar Baitul Maqdis, since that was closer to the Acehnese pronunciation. It was not clear what subjects were taught nor how long the teaching period was. At least one student was female, Kumala Hayati, who later went on to lead the Acehnese fleet against the Portuguese in Melaka (Malacca). The attacks on Melaka, although unsuccessful are attributed to the knowledge imparted by this academy, as well as the broader Islamic network that Aceh was a part of. Reid stated that at least one attack on Melaka was assisted by the forces of four Indian Muslim sultans. The dearth of information was frustrating but the fact that this academy existed demonstrated an important role for Aceh in the strategy of the Ottoman Empire.
Conclusion
The academy, the cannons and the planned dispatch of the Ottoman Fleet clearly showed that Aceh was part of the Ottoman's efforts to balance Portuguese expansion. The relationship did wane later and was revitalised as Aceh faced the threat of Dutch colonialism but by that stage Turkey was the sick man of Europe and the Ottoman splendors were becoming memories. Nevertheless, it was an interesting relationship that highlighted that western colonialism was just one strand of the dynamics in Southeast Asia. It may also have helped to improve the military capabilities of the Acehnese Sultanate and hence the surrounding lands just as Western colonialism began.
Sources : http://www.ari.nus.edu.sg/docs%5 ... mailhakkigoksoy.pdf
http://www.ari.nus.edu.sg/docs/wps/wps05_036.pdf
|
|
|
|
|
|
|
| |
|