View: 6512|Reply: 7
|
Sumbangan Aceh (Samudra Pasai) Terhadap Lahirnya Bahasa Indonesia Modern
[Copy link]
|
|
Post Last Edit by jf_pratama at 8-2-2010 19:59
Sumbangan Aceh dalam Membidani Lahirnya Bahasa Indonesia
Oleh: T.A. Sakti
Bahasa Melayu merupakan akar utama dari bahasa Indonesia. Sepanjang sejarah perkembangannya, bahasa Melayu terus-menerus diperkaya sehingga ia semakin mantap berperan di seluruh wilayah Nusantara. Bahasa Melayu masih dapat dilacak jejaknya mulai abad ke-7, masa Kerajaan Sriwijaya, yaitu berupa prasasti-prasasti yang menggunakan bahasa Melayu Kuno, seperti prasasti Kedukan Bukit (Tahun 683 M), Talang Tuo (Tahun 684), dan lain-lain.[1]
Seiring dengan timbul-tenggelamnya kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara dan datangnya penjajahan asing, bahasa Melayu pun mendapat predikat yang berbeda-beda dalam perkembangannya; seperti bahasa Melayu Pasai, bahasa Melayu Melaka, bahasa Melayu Johor, bahasa Melayu Riau, bahasa Melayu Balai Pustaka, dan bahasa nasional Indonesia.[2]
Berkaitan dengan hal ini, dalam bukunya yang berjudul Kesusasteraan Melayu Klasik Sepanjang Abad, Dr. Teuku Iskandar menjelaskan sebagai berikut:
“Jika sebuah pusat kerajaan menjadi penting dari sudut politik dan ekonomi, kaum cerdik pandai dan pujangga-pujangga, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri, akan bertumpu ke tempat itu. Dengan jalan demikian lahirlah sebuah pusat kebudayaan dan pusat kesusasteraan. Munculnya pusat politik dan pusat ekonomi baru akan melemahkan pusat kekuasaan lama dan pusat kebudayaan berpindah dari sini ke pusat yang baru. Tiap pusat kebudayaan yang baru itu akan memberi nafas baru pada kesusasteraan Melayu yang telah ada dan dengan jalan demikian mencetuskan genre atau genre-genre baru dalam kesusasteraan Melayu. Sesuatu genre kesusasteraan yang lahir di sebuah pusat kebudayaan akan tersebar ke sekitarnya dan dilanjutkan di sana, kadang-kadang pula genre baru ini dilanjutkan terus di tempat-tempat yang terpencil, walaupun di pusat kebudayaan lain telah lahir genre kesusasteraan yang lebih baru lagi”.[3]
Bahasa Melayu Pasai berkembang pada masa Kerajaan Samudera Pasai (1250—1524 M). Kerajaan ini amat berperan dalam penyebaran agama Islam ke berbagai wilayah di Asia Tenggara, seperti ke Melaka dan Jawa. Bersamaan berkembangnya agama Islam itu tersebar pula bahasa Melayu Pasai di wilayah tersebut melalui kitab-kitab pelajaran agama Islam yang menggunakan bahasa Melayu Pasai sebagai pengantarnya.
Kerajaan Samudera Pasai berhubungan akrab dengan Kerajaan Melaka. Perkawinan antara Sultan Melaka Iskandar Syah dengan puteri Sultan Zainal Abidin dari Samudera Pasai semakin mempererat hubungan kedua negara itu. Sultan Samudera juga telah mengutus dua orang ulama ke pulau Jawa untuk mengembangkan agama Islam. Berkat dakwah Islam yang dilakukan oleh Maulana Malik Ibrahim dan Maulana Ishak, agama Islam berkembang di Gresik, dan seterusnya menyebar ke seluruh pulau Jawa. Karena berperan sebagai pendakwah pertama itulah sehingga Maulana Ishak bergelar Syekh Awwalul Islam.[4]
Peranan Bahasa Jawi Pasai di Nusantara
Sebutan istilah “bahasa Melayu” merupakan kebiasaan baru di abad ke-18. Pada abad keenam belas dan tujuh belas penyebutan bahasa Melayu adalah dengan menggunakan istilah “bahasa Jawi”. Hal ini karena bahasa itu ditulis dalam huruf Jawi, yakni huruf Arab yang telah disesuaikan dengan ucapan lidah masyarakat Nusantara. Sementara “jawi” ialah sebutan orang-orang Arab di masa itu untuk negeri-negeri di wilayah Nusantara/Asia Tenggara.
Sehubungan dengan uraian di atas, Syed Muhammad Naguib al-Attas menyebutkan:
“Kita dapati bahwa dalam tulisan-tulisan Melayu pada abad-abad keenambelas dan ketujuh belas terdapat istilah-istilah seperti “orang Melayu” dan “negeri Melayu”, tetapi tidak terdapat istilah “bahasa Melayu”. Bilamana bahasa Melayu dimaksudkan dalam tulisan-tulisan itu, maka terdapat di situ istilah “bahasa Jawi”. Kita tahu bahwa istilah Jawi itu adalah sebutan untuk orang Arab terhadap seluruh bangsa-bangsa penduduk Kepulauan ini, tetapi bagaimana pun orang Melayu sendiri menamakan bahasanya, bahasa Jawi.[5]
Dalam sejarah perkembangan Islam di Asia Tenggara, kedudukan Pasai merupakan pusat penyiaran agama Islam selama beberapa abad. Sultan Melaka misalnya, selalu mengirim perutusan ke Pasai untuk mencari jawaban dari masalah-masalah agama yang belum diketahui secara pasti. Suatu kisah yang amat terkait dengan perkembangan bahasa Melayu Pasai adalah riwayat penterjemahan kitab Durrul Manzum. Dalam hal ini Dr. Muhammad Gade Ismail menerangkan:
“Sulalatussalatin atau Sejarah Melayu (edisi Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi) menceritakan bahwa di Tanah Arab ada seorang alim bernama Maulana Abu Ishak yang sangat paham akan ilmu tasawuf. Ia mengarang kitab Durrul-manzum dan mengajarkan isi kitab ini kepada muridnya Abu Bakar. Kemudian muridnya itu dikirimkannya ke Malaka untuk mengajarkan isi kitabnya itu. Sultan Malaka Mansur Syah sangat memuliakan Maulana Abu Bakar dan baginda berguru kepada Maulana itu. Kemudian Sultan Mansur Syah mengirim kitab itu ke Pasai dan oleh Sultan Pasai disuruh artikan kepada Makdum Petakan, salah seorang alim di Kerajaan Pasai. Setelah selesai, hasilnya diantarkan kembali ke Malaka, dan Sultan Mansyur Syah terlalu suka-cita melihat kitab itu sudah bermakna. Baginda menunjukkan kitab Durrul-manzum yang dikirim dari Pasai itu kepada Maulana Abu Bakar, dan Maulana Abu Bakar itu berkenan di hati serta dipujinya ulama Pasai itu.”[6]
Hikayat Raja-raja Pasai yang ditulis dengan bahasa Jawi atau bahasa Melayu Pasai merupakan bukti amat kuat untuk mengenal bentuk asli bahasa Jawi Pasai itu. Namun, naskah satu-satunya dari Hikayat Raja-raja Pasai yang terwariskan kepada kita hari ini bukanlah dijumpai di Aceh, melainkan di pulau Jawa. Naskah ini kepunyaan Kiai Suradimenggala, Bupati Sepuh di Demak, ditemukan di Bogor dan selesai disalin tahun 1235 H atau 1819 M.[7]
Keberadaan naskah satu-satunya Hikayat Raja-raja Pasai di pulau Jawa merupakan salah satu bukti pula, bahwa masyarakat Jawa masa itu telah mengenal bahasa Melayu Pasai dengan baik, sehingga mereka dapat menikmati kisah-kisah dalam Hikayat Raja-raja Pasai itu.
Mengenai besarnya pengaruh Hikayat Raja-raja Pasai terhadap teks-teks karya sastra yang lain di Nusantara, Prof. Dr. Teuku Ibrahim Alfian dalam tulisannya yang lain mengemukakan sebagai berikut.
“Hikayat raja-raja Pasai yang tertulis dalam Bahasa Melayu Klasik atau disebut juga bahasa Jawi Pasai, menurut Dr. A. H. Hill dikarang sekitar tahun 1360, dan hikayat itu jelas menghasilkan gaya sastra Melayu yang pertama yang ekspresi sepenuhnya satu abad kemudian ditemukan dalam Kitab Sejarah Melayu. Jelas tampak, tulis Hill, pengaruh Hikayat Raja-raja Pasai kepada Sejarah Melayu, dan kepada teks-teks Melayu yang lain seperti Hikayat Hang Tuah dan Hikayat Marong Mahawangsa (Sejarah Kedah).[8]
Menurut Dr. Muhammad Gade Ismail, adanya hubungan antara Kerajaan Samudera-Pasai dengan wilayah-wilayah lain di Nusantara seperti pulau Jawa, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Lombok dan Sumbawa dapat ditelusuri dengan adanya kesamaan batu nisan yang terdapat di Pasai dengan daerah-daerah tersebut di atas.[9] Melalui perhubungan antara berbagai wilayah itulah bahasa Melayu Pasai secara perlahan-lahan berkembang menjadi “bahasa lingua franca” atau bahasa ilmu dan perdagangan.
Tentang besarnya pengaruh Samudera-Pasai dalam pembinaan bahasa Melayu, Syed Muhammad Naguib al-Attas menjelaskan sebagai berikut.
“Menurut hemat saya penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar Islam serta bahasa sastera rasional dan intelektual telah memecahkan aliran sejarah bahasa itu kepada dua jurusan: yang satunya menimbulkan satu perkembangan aliran baru yang berasal dari Barus dan kemudian Pasai, kemudian Aceh sebagai pusatnya; sedangkan yang satu lagi mulai terbelakang, mulai mengalami proses penghapusan. Memang sewajarnyalah demikian sebab Pasai itulah pusat pengajian Islam yang tertua di kepulauan ini, dan dari situlah segala sinaran surya pengaruhnya menyorot ke seluruh pelosok kepulauan Indonesia. Aliran baru ini mempunyai sifat dan bawaan yang singkat serta kemas gayanya; menggunakan perbendaharaan kata serta istilah-istilah Islam; menyatakan dirinya sebagai bahasa bertata-logika, bahasa pemikiran akliah yang mengutamakan analisa dan saintifik, bahasa yang banyak mengandung kesan pengaruh para penulis penggunanya —ahli-ahli tasawuf, ulama dan golongan ilmiah lainnya dan para penterjemah dan pensyarah— yang kesemuanya membayangkan pengaruh Al-Qur’an dalam menyanjung nilai penjelasan dan sifat akliah dalam pembicaraan, pertuturan, dan penulisan. Maka dari aliran baru inilah bahasa Melayu moden, bahasa Indonesia dewasa ini, berkembang justru karena aliran inilah yang mengandung unsur-unsur pembaharuan yang saintifik, yang menyebarkan Islam di daerah kepulauan.[10]
.... Bersambung .... |
|
|
|
|
|
|
|
Pengaruh Bahasa Jawi Semakin Meluas
Bahasa Jawi atau bahasa Melayu Pasai juga menjadi salah satu bahasa resmi Kerajaan Aceh Darussalam. Hal ini antara lain dapat dibuktikan dari kata pengantar Kitab Miraatut Thullab karya Syeikh Abdurrauf Syiah Kuala. Tentang hal itu Syeikh Abdurrauf berkata:
“Maka bahwasanya adalah Hadlarat yang Mahamulia (Paduka Sri Sultanah Tajul Alam Safiatuddin Syah) itu telah bersabda kepadaku daripada sangat lebai akan agama Rasulullah, bahwa kukarang baginya sebuah kitab dengan bahasa Jawi yang dibangsakan kepada bahasa Pasai yang muhtaj (diperlukan kepadanya orang yang menjabat jabatan qadli pada pekerjaan hukum daripada segala hukum syarak Allah yang muktamad pada segala ulama yang dibangsakan kepada Imam Syafi’i radliyallahu ‘anhu”.
Setelah Kerajaan Pasai ditaklukkan oleh Kerajaan Aceh pada tahun 1524 M, maka berdirilah negara kesatuan Kerajaan Aceh Darussalam (1524-1900). Dalam periode itu Kerajaan Aceh Darussalam menjadi pusat penulisan ilmu pengetahuan, baik masalah keagamaan maupun mengenai sastra. Saat itu, bahasa Melayu Jawi memainkan peranan penting sebagai bahasa komunikasi intelektual berdampingan dengan bahasa Arab.
Dalam masa kejayaan Kerajaan Aceh Darussalam, wilayah ini banyak melahirkan ulama dan pengarang yang sebagian karya mereka masih ditemui hingga hari ini. Namun, ada empat ulama-pujangga yang paling terkenal, yaitu Hamzah Fansuri, Syamsuddin As-Sumatrani, Nuruddin Ar-Raniri, dan Abdurauf As-Singkili. Di antara karangan Hamzah Fansuri ialah Syair Burung Pingai, Syair Burung Pungguk, Syair Perahu, dan Syair Dagang.
Sementara bentuk prosa antara lain Asrarul ‘Arifin fi Bayanil Ilmus Suluk wat Tauhid (Penjelasan tentang ilmu Suluk dan Tauhid) dan Syarbal ‘Asyikin (Minuman orang-orang yang Mencintai Tuhan). Sultan Iskandar Muda telah berjasa menyebarkan karya-karya Hamzah Fansuri ke berbagai tempat, antara lain ke Malaka, Kedah, Sumatera Barat, Kalimantan, Banten, Gresik, Kudus, Makassar dan Ternate.11
Karangan Hamzah Fansuri sebagiannya ditulis dalam Bahasa Melayu Jawi. Mengenai hal ini dapat kita baca pada kata pengantar kitab Zinatul Muwahhidin (Perhiasan orang-orang yang Mengesakan Allah), yang berbunyi sebagai berikut: “Ketahuilah bahwa fakir yang dhaif Hamzah Fansuri, hendak menyatakan jalan kepada Allah Taala, dan makrifat Allah dengan bahasa Jawi di dalam kitab ini Insya Allah Taala supaya segala hamba Allah yang tiada tahu akan bahasa Arab dan bahasa Persi dapat membicarakan dia. Adapun kitab ini hamba namai Zinatul Muwahhidin“.12
Terhadap kebesaran Hamzah Fansuri, Syed Muhammad Naguib Al-Attas menyatakan:
“Bahwa bahasa Melayu Modern, termasuk bahasa Indonesia lebih dekat gaya dan bawaannya dengan bahasa Melayu yang sejak ratusan tahun dahulu berpunca dari Barus dan Pasai, telah diperguna dan disebarkan oleh Islam: bahasa aliran baru yang saya sebutkan tadi, yang penulis-penulis serta penggunaannya terdiri dari kalangan para ahli pikir, ulama-ulama Melayu-Islam yang berkembang di Acheh pada abad-abad keenambelas dan ketujuh belas. Saya majukan Hamzah Fansuri, yang menulis pada abad keenam belas, sebagai pelopor aliran baru ini. Beliaulah manusia yang pertama menggunakan bahasa Melayu dengan secara rasional dan sistematis; yang dengan inteleknya merangkum keindahan fikiran murni yang dikandungkannya dalam bahasa yang telah diperolehkan sehingga sanggup berdaya menyusul lintasan alam fikiran, yang berani menempuh saujana lautan falsafah. Sayogialah Hamzah Fansuridi diberi tempat utama dalam pemikiran persejarahan bahasa dan kesusteraan Melayu Modern. Aliran baru yang membawa kesan pengaruh Hamzah itu mulai timbul ternyata pada abad-abad keenam belas dan ketujuh belas. Semua penulis, ulama dan ahli fikir Melayu yang terkemuka selepasnya telah meniru dan menganut gaya dan tauladannya terhadap penggunaannya bahasa Melayu. Dari Samsul-Din Pasai hingga ‘Abdul-Rauf Singkel pada abad ketujuh belas, dan dari ‘Abdul Rauf ke kemas Fakhrul-Din pada abad kedelapan belas, dan seterusnya abad kedua puluh ini, sebagaimana terbayang dalam fikiran dan tulisan Amir Hamzah. Kesimpulan bahwa tulisan Amir Hamzah itulah juga yang mencapai suatu keistimewaan peri kehalusan serta keindahan seni bahasa Melayu itu pun mengandung arti yang berkesan dalam merenungkan proses pertalian penggunaan bahasa itu dari aliran yang berasal dari Hamzah Fansuri. Pada zaman inilah juga zaman pengaruh Hamzah harus kita tempatkan penulisan moden dalam bidang sejarah orang Melayu, yang jelas sifatnya dalam tulisan-tulisan Nuru’l-Din al-Raniri pada abad ketujuh belas”.13
Dalam uraian di atas, Syed Muhammad Naguib al-Attas antara lain mengatakan bahwa pengaruh jejak kepenyairan Hamzah Fansuri terus berlanjut hingga abad ke-20. Kesimpulan itu diakui oleh seorang ahli tentang Hamzah Fansuri (Hamzah Fansurilog), yakni Abdul Hadi W.M. Ia berpendapat, pengaruh Hamzah Fansuri terlihat pada beberapa karya penyair “Pujangga Baru” seperti Sanusi Pane dan Amir Hamzah. Bagi Sanusi Pane, pengaruh itu tampak pada sajaknya “Dibawa Gelombang”, sedangkan untuk Amir Hamzah terlihat dalam sajak yang berjudul “Sebab Dikau”.14
Selain Sanusi Pane dan Amir Hamzah, masih banyak pula para penyair “Angkatan Pujangga Baru” yang terpengaruh dengan sastra sufi yang bersumber dari aliran Tasawuf Hamzah Fansuri. Di antara mereka adalah Hamka, Ali Hasjmy, Asmara Hadi, OR Mandank, Yoesoef Sou’yb, dan Sutan Takdir Alisjahbana.15 Dalam kajian Abdul Hadi W.M lainnya pada periode 1970-an juga didapati bahwa aliran tasawuf Hamzah Fansuri terus berpengaruh kepada beberapa penyair masa itu, bahkan hingga masa kini, seperti Sutardji Calzoum Bachri, Danarto, Acep Zamzam Noor, dan Ahmadun Yosi Herfanda.16
Pada abad ke-19, karya-karya para ulama-sastrawan Aceh banyak mempengaruhi para pengarang di Riau. Hal ini diakui oleh Abu Hasan Sham dalam tulisannya sebagai berikut:
“Suatu hal yang dapat kita perhatikan ialah pengaruh negeri-negeri Melayu yang berjiran terhadap pengarang-pengarang Melayu Riau. Aceh umpamanya sedikit sebanyak telah mempengaruhi karangan-karangan di Riau. Karya-karya Aceh yang termasyur umpamanya Mirat al-Tullab telah menjadi bahan bacaan bagi mereka yang menuntut ilmu agama di Riau. Begitu juga dengan kitab Bustan al-Salatin karangan Syeikh Nuruddin al-Raniri. Umpamanya, sebuah karya yang bernama Siaru’l-Salatin kepunyaan
Encik Mukmin Ibn Haji Sulaiman, Imam Pulau penyengat yang tertarikh Sanat 1281 mempunyai pengaruh secara langsung dari karya Nuruddin itu. Begita juga dengan syair Bustanul’I-Salatin. Yang tentu sekali sumber pengambilan utamanya ialah Bustanul-Salatin. Syair yang tebalnya 33 halaman ini menceritakan sifat-sifat perempuan terutama sifat-sifat yang tercela kepada perempuan yang telah bersuami, umpamanya sifat seperti babi, kera, serigala, ular, anjing, kala, tikus, kambing, baghal, dan sebagainya”.
....... Bersambung ..... |
|
|
|
|
|
|
|
Perkara demikian dibahaskan dengan panjang lebar oleh Syeikh Nuruddin dalam bukunya Bustanul-Salatin dalam buku ke-7 pasal 4.
Syair Ma’rifat, salah satu karya Syeikh Abdul Rauf Al-Singkel juga berpengaruh di Riau. Jika kita perhatikan Syair Sifat Dua puluh mempunyai banyak persamaan dengan karya Syeikh Abdul Rauf tersebut.
Syair Ma’rifat Syair Sifat Dua Puluh
Baik-baik kita tuan menerima, Baik-baik kita menerima
Kepada pohon ialah seumpama, Kepada pohonnya ialah seumpama
Daun dan buah tiada sama, Daun dan buah tiadalah sama,
Masing-masing berlain-lain nama, Masing-masing dengannya nama,
Jikalau diibaratkan sebiji kelapa, Jikalau diibaratkan sebiji kelapa,
Kulit dan isi tiada serupa, Kulit dan isi tiada serupa,
Janganlah kita bersalah tapa, Janganlah kita tersalah tempa,
Tetapi beza tiadalah berapa, Tetapi bezanya tiada berapa,
Sebiji kelapa ibarat sama, Sebiji kelapa ibarat di sana
Lafaznya empat suatu makna, Lafat yang empat suatu makna,
Disitulah banyak orang terkena, Disitulah banyak yang terkena,
Sebab pendapat kurang sempurna, Sebab pendapat kurang sempurna,
Kulitnya itu ibarat syariat, Sabutnya itu ibarat syariat,
Tempurungnya itu ibarat tariqat, Tempurungnya itu ibarat Tariqat,
Isinya itu ibarat hakikat, Isinya itu ibarat hakikat,
Minyaknya itu ibarat makrifat. Minyaknya itu ibarat makrifat.
Syair Sifat Dua Puluh ini sungguhpun sebahagian besar kandungannya membicarakan sifat-sifat Tuhan tetapi ada juga bahagiannya yang membicarakan tasawuf dan di bahagiannya ini pengarang mengambil ibaratnya secara langsung dari karya Abdul Rauf al-Singkel tersebut.17
Begitu pandangan dari Abu Hassan Sham dari Universiti Malaya dalam Sub-judul tulisannya: ”Sumber-sumber Rujukan Pengarang-Pengarang Agama Riau”, yang kalimat awal berbunyai: ”Pengarang-Pengarang agama Riau tidaklah semasyhur seperti apa yang pernah dilahirkan oleh Aceh pada abad ke-17, tetapi keistimewaannya ialah pengarang-pengarang tersebut terdiri dari pada kalangan keluarga diraja.18
Meski hanya menetap selama tujuh tahun (1047 H/1637 M–1054 H/1644 M), peranan Syeikh Nuruddin Ar-Raniry di Aceh cukup besar. Ia menulis 29 kitab dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Karya-karyanya antara lain Bustanus Salatin, Sirathal Mustaqim, Hidayatul Habib, Kaifiyatul Salat, Babul Nikah. Yang terakhir ini, bersama kitab Sirathal Mustaqim dikirimkan sendiri oleh Ar-Raniry ke Kedah (sekarang di Malaysia) pada sekitar tahun 1050 H/1640 M.19 Di antara murid Nuruddin Ar-Raniry yang kemudian paling menonjol di Nusantara adalah Syekh Yusuf Al-Maqassari, seorang ulama besar Sulawesi Selatan, yang juga berperan di Banten (Jawa) dan Afrika Selatan.20
Tentang peranan Nuruddin Ar-Raniri dalam mengembangkan bahasa Melayu, Dr. Azyumardi Azra menulis sebagai berikut.
“Tidak kalah penting adalah peranan Ar-Raniri dalam mendorong lebih jauh perkembangan bahasa Melayu sebagai lingua franca di wilayah Indonesia. Dia bahkan diklaim sebagai salah seorang pujangga Melayu pertama. Meski bahasa ibu Al-Raniri bukanlah Melayu, penguasaannya atas bahasa ini tak perlu diperdebatkan lagi. Seorang ahli bahasa Indonesia menyatakan, bahasa Melayu Klasik Ar-Raniri tidak menunjukkan kekakuan yang sering terlihat dalam bahasa Melayu praklasik. Dengan demikian, karya-karya Ar-Raniri dalam bahasa Melayu juga dianggap sebagai karya-karya sastra dan, sebab itu, memberikan sumbangan besar terhadap perkembangan bahasa Melayu sebagai bahasa ilmu pengetahuan.21
Perkembangan bahasa Melayu Pasai atau Melayu Jawi sejak Kerajaan Samudera Pasai sampai saat berdirinya Republik Indonesia tentu telah melewati waktu yang berabad-abad lamanya. Prof. Dr. Teuku Iskandar mengatakan bahwa “Kesusasteraan Melayu yang dimulai di Kerajaan Pasai dan dilanjutkan di Kerajaan Aceh berkembang selama lebih dari enam ratus lima puluh tahun’.22
Berdasarkan semua uraian yang telah dikemukakan kiranya sepatutnya definisi bahasa Indonesia yang diketengahkan oleh sejarawan, ilmuan, dan budayawan Prof. Dr. Teuku Ibrahim Alfian, M.A dari Universitas Gadjah Mada diberikan sedikit catatan tambahan demi meluruskan fakta sejarah Indonesia.
Dalam makalah yang berjudul “Proses Perkembangan Bahasa Jawi di Samudera Pasai (Aceh Utara) Menjadi Bahasa Nasional Indonesia”, setelah melakukan redefinisi bahasa Indonesia Sutan Takdir Alisyahbana, Teuku Ibrahim Alfian memberi definisi bahasa Indonesia sebagai berikut.
“Bahasa Indonesia adalah bahasa perhubungan yang berabad-abad tumbuh perlahan-lahan diantara penduduk Asia Tenggara, yang terjelma menjadi bahasa Jawi/Melayu dan telah diangkat oleh agama Islam sebagai bahasa ilmu dan kebudayaan. Serta setelah bangkitnya pergerakan rakyat Indonesia, pada tanggal 28 Oktober 1928 dengan insyaf diangkat dan dijunjung sebagai bahasa persatuan.23
Fakta sejarah yang ingin penulis selipkan adalah sumbangan jasa; bahkan pelimpahan, pemberian secara menyeluruh dari para ulama-pujangga-sastrawan Aceh—Sejak Kerajaan Samudera Pasai Sampai Kerajaan Aceh Darussalam— dalam pembinaan dan pengembangan bahasa Melayu Jawi atau Melayu Pasai, sehingga bahasa Indonesia dapat berkembang seperti sekarang. Berkaitan dengan maksud itu, maka definisi bahasa Indonesia berbunyi sebagai berikut:
Bahasa Indonesia adalah bahasa perhubungan yang berabad-abad tumbuh perlahan-lahan di antara penduduk Asia Tenggara, yang terjelma menjadi bahasa Jawi/Melayu dan telah diangkat oleh agama Islam sebagai bahasa ilmu dan kebudayaan. Dengan sumbangan-sumbangan perlimpahan jasa para ulama-sastrawan Aceh, serta setelah bangkitnya pergerakan rakyat Indonesia, pada tanggal 28 Oktober 1928 dengan insyaf diangkat dan dijunjung sebagai bahasa persatuan. Memang, jasa Aceh amat sahih!
Daftar Referensi:
[1] Syamsuddin Udin, dalam Tradisi Johor-Riau, Kuala Lumpur, Dewan Bahasa dan Pustaka, 1987, hlm. 19.
[2] Khaidir Anwar, “Sumbangan Bahasa Melayu Riau terhadap Bahasa Indonesia”, dalam Masyarakat Melayu Riau dan Kebudayaanya, Pekanbaru, Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Riau, 1986, hlm. 28-29
[3] Teuku Iskandar, Kesusasteraan Melayu Klasik Sepanjang Abad, Jakarta, Libra, 1996, hlm. xxii.
[4] H. M. Zainuddin, Tarich Atjeh dan Nusantara, Medan, Pustaka Iskandar Muda, 1961, hlm. 121.
[5] Sayed Muhammad Naguib al-Attas, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, Bandung, Penerbit Mizan, 1990, hlm. 64.
[6] Muhammad Gade Ismail, Pasai dalam Perjalanan Sejarah: Abad ke-13 Sampai Awal ke-16, Jakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1997, hlm. 27.
[7] Teuku Ibrahim Alfian, Kronika Pasai, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, 1973, hlm. 6.
[8] Teuku Ibrahim Alfian, “Proses Perkembangan Bahasa Jawi di Samudera Pasai Aceh Utara) menjadi Bahasa Nasional Indonesia”, dalam Warisan Budaya Melayu Aceh, Banda Aceh, Pusat Studi Melayu – Aceh (PUSMA), 2003, hlm. 141.
[9] Muhammad Gade Ismail, op. cit., hlm. 29.
[10] Sayed Muhammad Naguib al-Attas, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, Kuala Lumpur, Penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia, 1972, hlm. 45.
11 Hasan Muarif Ambari, Hamzah Fansuri-Ulama Besar dan Kualitas Intelektualnya, Makalah yang disampaikan pada Seminar Internasional Menelusuri Jejak Syekh Hamzah Al-Fansuri: Intelektual, Sufi dan Sastrawan.
12 M.Yusuf Usa, Karya Hamzah Fansuri: Zinatul Muwahhidin, Banda Aceh, Dinas Kebudayaan Prov. NAD, 2005, hlm. 23.
13 Sayed Muhammad Naguib al-Attas, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, Kuala Lumpur, Penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia, 1972, hlm. 46-47.
14 Abdul Hadi W.M., “Jejak Sang Sufi: Hamzah Fansuri dan Syair-syair Tasawufnya” dalam makalah seminar Internasional Menelusuri Jejak Syekh Hamzah Al-Fansuri, Singkil, 14-17 Januari 2002, hlm. 16
15 Abdul Rozak Zaidah, “Pengaruh Tasawuf Dalam Sastra Melayu Nusantara : Studi Kasus Sastra Indonesia Dasawarsa 1930-an”, Makalah Seminar Internasional Tapak Sufi Hamzah al-Fansuri di Kota Sibolga, Sumut, 18-21 Desember 2002. Dalam Buku Jejak Sufi Hamzah Fansuri, Medan, Balai Bahasa Medan, 2003, hlm. 19.
16 Ibid
17 Abu Hassan Sham, “Karya-Karya yang Berlatar Belakangkan Islam dari Pengarang Melayu Riau-Johor sehingga Awal Abad Kedua Puluh” dalam tradisi Johor-Riau-Kertas Kerja Hari Hari Sastra 1983, Kuala Lumpur, Dewan Bahasa dan Pustaka, 1987, hlm. 267-269.
18 Ibid., hlm. 266.
19 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Bandung, Penerbit Mizan, 1994, hlm. 186.
20 Ibid., hlm. 184
21 ibid., hlm. 188.
22 Teuku Iskandar, Op Cit. hlm. 182.
23 Teuku Ibrahim Alfian, Dalam Warisan Budaya Melayu Aceh, Banda Aceh, Pusat Studi Melayu-Aceh (PUSMA), 2003, hlm. 148-148 |
|
|
|
|
|
|
|
Achehnese
Acehnese belongs to the Malayo-Polynesian branch of the Austronesian language family. Acehnese's closest relatives therefore include Chamic languages, Malay language family, Minangkabau language, Gayo language and Batak languages family.
The Aceh-Chamic languages (or Achinese-Chamic languages) are a group of related languages spoken in mainland and insular Southeast Asia, consisting principally of Acehnese and the dozen Chamic languages. The split between them is quite old.
A 2008 analysis of the Austronesian Basic Vocabulary Database linked the Aceh-Chamic and Moken (Orang Laut Thai) languages with a moderate confidence of 70%.
x nak baca tesis pengajian Mon-Khmer oleh Abdul Ghani Asyik bertajuk "The Agreement System in Acehnese" dr University of Michigan ke ? |
|
|
|
|
|
|
|
genot... lu tak penat ke melayan... hahahaha... gasak korang... |
|
|
|
|
|
|
|
ahahaa, saja syoq2.... time berhibur2... |
|
|
|
|
|
|
|
http://dayaka.co.cc
Centre of information all here: http://www.volsite.blogspot.com Its verry important
Get free money $10235 everymonth from yuwie, guide here :
http://earn-money-yuwie.blogspot.com
all about healthy visit here: http://www.healthy.net16.net
Free strategy get free of dollar: $200 free an hours
DOLLAR Libertyreserve free on http://www.dollar-free.50webs.com
Pusat belajar internet, Blog dan Bisnis online Gratis untuk anda di www.mediaki.blogspot.com
All information here. Please visit here: http://www.mediaki.blogspot.com
DOLLAR Gratis, Gratis $200 perjam, hanya di http://www.dollar-free.50webs.com
Tinggalkan FACEBOOK, Pindah KE yuwie.com. anda dapat uang gratis 90juta tipa bulan, klik ini:
http://earn-money-yuwie.blogspot.com
LAPTOP GRATIS
Laptop GRATIS, tanpa bayar, cukup KLIK IKLAN 20 kali,
dalam 20 hari aja,dapatkan di sini: http://www.flaptops.50webs.com
Jimat HypNotis Termasyhur:
Ramalan gratis, JIMAT JUDI ampuh, Minyak cinta ajaib, Penyinar aura kecantikan.
penarik pengasihan popularitas. beli di http://www.dayaka.co.cc
Program Uang-Hibah Yaitu: Uang Hibah Gratis, Laptop Gratis, Motor Gratis, Mobil Gratis, Rumah Gratis
Hanya daftar aja di: http://uang-hibah.com |
|
|
|
|
|
|
| |
|