View: 5191|Reply: 4
|
Abdush Shamad al-Palimbani
[Copy link]
|
akmala This user has been deleted
|
Abdush Shamad al-Palimbani Sufi Pejuang, Pemikir dan Pembaru Tarekat Yang Terlupakan
Oleh Asrina M.Ag*
Ajaran-ajaran Ibn al-'Arabi (hidup sekitar 560-620 H) telah banyak dipelajari di Aceh pada abad ke-17 M. Hal itu diketahui melalui Hamzah Fanzuri (hidup sekitar abad ke-16-17) dan Syamsuddin al-Samatrani (w. 1630) serta tulisan-tulisan Syekh Nuruddin al-Raniri (w. 1658) yang mengecam dua tokoh tersebut terdahulu. Pada abad ke-18, ada indikasi bergesernya minat terhadap ajaran-ajaran Ibn al-'Arabi, ke arah tasawuf yang dikembangkan AI-Ghazali (hidup sekitar 450-505 H/1058-1111 M, lahir dan wafat di Thus) dan upaya mengkompromikan ajaran tasawuf kedua tokoh tersebut. Ini terlihat dalam corak tasawuf yang diajarkan oleh Abdush Shamad al-Palimbani yang akan dibahas berikut ini.
Dua karya besar Al-Palimbani, Sayr al-Salikin ila 'Ibadah Rabb ai-'Alamin dan Hidayah al-Salikin fi Suluk Maslak al-Muttaqin (selanjutnya disingkat: Sayr al-Salikin dan Hidatah al-Salikin), dianggap oleh R.O. Winnstedt sebagai contoh yang menunjukkan para ulama abad ke-18 kembali ke tasawuf Sunni AI-Ghazali dan meninggalkan wahdatul wujud Ibn al-'Arabi yang abad sebelumnya sangat dominan di Aceh. Meskipun dua karya tersebut merupakan terjemahan dari kitab AI-Ghazali, belum
memastikan Al-Palimbani sebagai pengikut sejati tasawuf AI-Ghazali karena penerjemahan yang dilakukannya sangat bebas. Misalnya dalam Sayr al-Salikin, Al-Palimbani juga menyebutkan nama Syamsuddin al-Samatrani, Abdul Karim al-Jili dan Ibn al-'Arabi serta menganjurkan para penuntut ilmu tasawuf yang telah mencapai tingkat al-Muntahi untuk membaca kitab-kitab mereka. |
|
|
|
|
|
|
akmala This user has been deleted
|
Sketsa Biografi dan Perjuangan Al-Palimbani
Riwayat hidup Abdush Shamad al-Palimbani sangat sedikit diketahui. la sendiri hampir tidak pernah menceritakan tentang dirinya, selain tempat dan tanggal yang dia cantumkan setiap selesai menulis sebuah kitab. Seperti yang pernah ditelusuri M. Chatib Quzwain dan juga Hawash Abdullah, satu-satunya yang menginformasikan tentang dirinya hanya AI-Tarikh Salasilah Negeri Kendah (di Malaysia) yang ditulis Hassan bin Tok Kerani Moharnmad Arsyad pada 1968.
Sumber ini menyebutkan, Abdush Shamad adalah putra Syekh Abdul Jalil bin Syekh Abdul Wahhab bin Syekh Ahmad al-Mahdani (ada yang mengatakan al-Mahdali), seorang keturunan Arab (Yaman) dengan Radin Ranti di Palembang. Syekh Abdul Jalil adalah ulama besar sufi yang menjadi guru agama di Palembang, Tidak dijelaskan latar belakang kedatangannya ke Palembang. Diperkirakan hanya bagian dari pengembaraannya dalam upaya menyiarkan Islam scbagaimana banyak dilakukan oleh warga Arab lainnya pada waktu itu.
Tetapi selain sumber tersebut, Azyu-mardi Azra juga mendapatkan informasi mengenai dirinya dalam kamus-kamus biografi Arab yang menunjukkan bahwa Al-Palimbani mempunyai karir terhormat di Timur Tengah.
Menurut Azra, informasi ini merupakan temuan penting sebab tidak pernah ada sebelumnya riwayat-riwayat mengenai ulama Melayu-lndonesia ditulis dalam kamus biografi Arab. Dalam literatur Arab, Al-Palimbani dikenal dengan nama Sayyid Abdush Shamad bin Abdur Rahman al-Jawi. Tokoh ini, menurut Azra, bisa dipercaya adalah Al-Palimbani karena gambaran karirnya hampir seluruhnya merupakan gambaran karir Abdush Shamad al-Palimbani yang diberitakan sumber-sumber lain.
Dalam pengembaraannya ke Palembang, putra mahkota Kendah, Tengku Muhammad Jiwa, bertemu dengan Syekh Abdul Jalil dan berguru padanya, bahkan mengikutinya mengembara ke berbagai negeri sampai ke India. Dalam sebuah perjalanan mereka, Tengku Muhammad Jiwa mendapat kabar bahwa Sultan Kendah telah mangkat.
Tengku Muhammad Jiwa lalu mengajak gurunya itu pulang bersamanya ke negeri Kendah. la dinobatkan menjadi sultan pada tahun 1112 H/1700 M.dan Syekh Abdul Jalil diangkat menjadi mufti Kendah dan dinikahkan dengan Wan Zainab.
Tiga tahun kemudian Syekh Abdul Jalill kembali ke Palembang karena permintaan beberapa muridnya yang rindu padanya. Di Palembang ia menikah dengan Radin Ranti dan memperoleh putra, Abdush Shamad. Dengan demikian kemungkinan Abdush Shamad lahir tahun 1116 H/1704 M.
Sumber yang menyebutkan silsilahnya sebagai keturunan Arab tidak pernah dikonfirmasikan oleh Al-Palimbani sendiri. Jika keterangan sumber tersebut benar, tentu Al-Palimbani akan mencantumkan nama besar al-Mahdani pada akhir namanya. Ini dapat dilihat dari setiap tulisannya, ia menyebut dirinya Syekh Abdush Shamad al-Jawi al-Palimbani, Kemungkinan dalam dirinya memang mengalir darah Arab tetapi silsilah itu tidak begitu jelas atau ada mata rantai yang tidak bersambung menurut garis keturunan bapak sehingga dia tidak merasa berhak menyebut dirinya keturunan al-Mahdani dari Yaman. Dan barangkali dia lebih merasa sebagai orang Indonesia sehingga mencantumkan 'al-Jawi' dan 'al-Palimbani' di ujung namanya.
Mengenai tahun wafatnya juga tidak diketahui dengan pasti. AI-Tarikh Salasilah Negeri Kendah menyebutkan tahun 1244 H/1828 M. Namun kebanyakan peneliti lebih cenderung menduga ia wafat tidak berapa lama setelah meyelesaikan Sayr al-Salikin (1203 H/1788 M). Argumen mereka, Sayr al-Salikin adalah karya terakhirnya dan jika dia masih hidup sampai 1788 M kemungkinan dia masih tetap aktif menulis. Al-Baythar - seperti dikutip Azyumardi Azra - menyebutkan ia wafat setelah tahun 1200/1785. Namun Azyumardi Azra sendiri juga lebih cenderung mengatakan ia wafat setelah menyelesaikan Sayr al-Salikin.
Al-Palimbani mengawali pendidikannya di Kendah dan Pattani. Tidak ada penjelasan kapan dia berangkat ke Makkah melanjutkan pendidikannya. Kemungkinan besar setelah ia mendapat pendidikan agama yang cukup di negeri Melayu itu. Dan agaknya sebelum ke Makkah dia telah mempelajari kitab-kitab para sufi Aceh karena di dalam Sayr al-Saliktn dia menyebutkan nama Syamsuddin al-Samatrani dan Abdul Rauf al-Jawi al-Fansuri (Abdul Rauf Singkel). Namun sumber lain mengatakan bahwa ia pernah bertemu dan berguru pada Syamsuddin al-Samatrani dan Abdul Rauf Singkel di Makkah.
Di Makkah dan Madinah, Al-Palimbani banyak mempelajari berbagai disiplin ilmu kepada ulama-ulama besar masa itu serta para ulama yang berkunjung ke sana. Walaupun pendidikannya sangat tuntas mengingat ragam ulama tempatnya belajar, Al-Palimbani mempunyai kecenderungan pada tasawuf. Karena itu, di samping belajar tasawuf di Masjidil-Haram. ia juga mencari guru lain dan membaca kitab-kitab tasawuf yang tidak diajarkan di sana. Dari Syekh Abdur Rahman bin Abdul 'Aziz al-Magribi dia belajar kitab Al-Tuhfatul Mursalah-nya Muhammad Fadlullah al-Burhanpuri (w. 1030 H/1620 M). Dari Syekh Muhammad bin Abdul Karim al-Samman al-Madani (w. 1190 H/1776 M} ia belajar kitab tauhid Syekh Mustafa al-Bakri (w. 1162 H/1749 M). Dan bersama Muhammad Arsyad al-Banjari, Abdul Wahab Bugis dan Abdul-Rahman Masri dari Jakarta, mereka membentuk empat serangkai yang sama-sama menuntut ilmu di Makkah dan belajar tarekat di Madinah kepada Syekh Muhammad al-Samman (w. 1162 H/1749 M).
Selama belajar pada Syekh Muhammad al-Samman, Al-Palimbani dipercaya mengajar rnurid-murid Al-Sarnmani yang asli orang Arab. Karena itu sepanjarig menyangkut kepatuhannya pada tarekat, Al-Palimbani banyak dipengaruhi Al-Sammani dan dari dialah Al-Palimbani mengambil tarekat Khalwatiyyah dan Sammaniyyah. Sebaliknya, melalui Al-Palimbani-lah tarekat Sammaniyyah mendapat lahan subur dan berkembang tidak hanya di Palembang tetapi juga di bagian lain wilayah Nusantara bahkan di Thailand, Malaysia, Singapura dan Filipina.
Al-Palimbani rnemantapkan karirnya di Haramayn dan mencurahkan waktunya untuk menulis dan mengajar. Meski demikian dia tetap menaruh perhatian yang besar terhadap Islam dan kaum Muslimun di negeri asalnya. Di Haramayn ia terlibat dalam 'komunitas Jawi' yang membuatnya tetap tanggap terhadap perkembangan sosio-religius dan politik di Nusantara. Peran pentingnya tidak hanya karena keterlibatannya dalam jaringan ulama. melainkan lebih penting lagi karena tulisan-tulisannya yang tidak hanya menyebarkan ajaran-ajaran sufisrne tetapi juga meng-himbau kaum Muslimun melancarkan jihad melawan kolonialis Eropa, dibaca secara luas di wilayah Melayu-lndonesia. Peranan dan perhatian tersebut memantapkannya sebagai ulama asal Palembang yang paling menonjol dan paling berpengaruh melalui karya-karyanya.
Al-Palimbani berperan aktif dalam memecahkan dua persoalan pokok yang saat itu dihadapi bangsa dan tanah airnya, baik di kesultanan Palembang maupun di kepulauan Nusantara pada umumnya, yaitu menyangkut dakwah Islamiyah dan kolonialisme Barat, Mengenai dakwah Islam, ia menulis selain dua kitab tersebut di atas, yang menggabungkan mistisisme dengan syariat, ia juga menulis Tuhfah al-Ragibtn ft Sayan Haqfqah Iman al-Mukmin wa Ma Yafsiduhu fi Riddah al-Murtadin (1188). di mana ia memperingatkan pembaca agar tidak tersesat oleh berbagai paham yang menyimpang dari Islam seperti ajaran tasawuf yang mengabaikan syariat, tradisi menyanggar (memberi sesajen) dan paham wujudiyah muthid yang sedang marak pada waktu itu. Drewes rnenyimpulkan bahwa kitab ini ditulis atas permintaan sultan Palembang, Najmuddin, atau putranya Bahauddin karena di awal kitab itu ia memang menyebutkan bahwa ia diminta seorang pembesar pada waktu itu untuk menulis kitab tersebut.
Mengenai kolonialisme Barat, Al-Palimbani menulis kitab Nasihah al-Muslimin wa tazkirah al-Mu'min fi Fadail Jihad ti Sabilillah, dalam bahasa Arab, untuk menggugah semangat jihad umat Islam sedunia. Tulisannya ini sangat berpengaruh pada perjuangan kaum Muslimun dalam melawan penjajahan Belanda, balk di Palembang maupun di daerah-daerah lainnya. Hikayat Perang Sabi-nya Tengku Cik di Tiro dikabarkan juga mengutip kitab tersebut.
Masalah jihad fi sabililiah sangat banyak dibicarakan Al-Palimbani, Pada tahun 1772 M, ia mengirim dua pucuk surat kepada Sultan Mataram (Hamengkubu-wono I) dan Pangeran Singasari Susuhunan Prabu Jaka yang secara halus menganjurkan pemimpin-pemimpin negeri Islam itu meneruskan perjuangan para Sultan Mataram melawan Belanda. |
|
|
|
|
|
|
akmala This user has been deleted
|
Karya Tulis Al-Palimbani
Tercatat delapan karya tulis Al-Palimbani, dua diantaranya telah dicetak ulang beberapa kali, dua hanya tinggal nama dan naskah selebihnya masih bisa ditemukan di beberapa perpustakaan, baik di Indonesia maupun di Eropa. Pada umumnya karya tersebut meliputi bidang tauhid, tasawuf dan anjuran untuk berjihad. Karya-karya Al-kelapanbani selain empat buah yang telah disebutkan di atas adalah:
1. Zuhrah al-Murid ft Bayan Kalimah al-Tauhid, ditulis pada 1178 H/1764 M di Makkah dalam bahasa Melayu, memuat masalah tauhid yang ditulisnya atas perrnintaan pelajar Indonesia yang belurn menguasai bahasa Arab.
2. Al-'Uwah al-Wusqa wa Silsilah Ulil-Ittiqa', ditulis dalam bahasa Arab, berisikan wirid-wirid yang perlu dibaca pada waktu-waktu tertentu.
3. Ratib 'Abdal-Samad, semacam buku saku yang berisi zikir, puji-pujian dan doa yang dilakukan setelah shalat Isya. Pada dasarnya isi kitab ini hampir sama dengan yang terdapat pada Ratib Samman.
4. Zad al-Muttaqin fi Tauhid Rabb al-'Alamin, berisi ringkasan ajaran tauhid yang disampaikan oleh Syekh Muhammad al-Samman di Madinah.
Mengenai Hidayah al-Salikin yang ditulisnya dalam bahasa Melayu pada 1192 H/1778 M, sering disebut sobagai terjemahan dari Bidayah al-Hidayah karya AI-Ghazali. Tetapi di samping menerjemahkannya, Al-Palimbani juga membahas berbagai masalah yang dianggapnya penting di dalam buku itu dengan mengutip pendapat AI-Ghazali dari kitab-kitab lain dan para sufi yang lainnya. Di sini ia menyajikan suatu sistem ajaran tasawuf yang memusatkan perhatian pada cara pencapaian ma'rifah kesufian melalui pembersihan batin dan penghayatan ibadah menurut syariat Islam. menyajikan suatu sistem ajaran tasawuf yang memusatkan perhatian pada cara pencapaian ma'rifah kesufian melalui pembersihan batin dan penghayatan ibadah menurut syariat Islam.
Sedangkan Sayr al-Salikin yang terdiri dari empat bagian, juga berbahasa Melayu, ditulisnya di dua kota, yaitu Makkah dan Ta'if, 1779 hingga 1788. Kitab ini selain berisi terjemahan Lubab Ihya' Vlum al-D/n karya Al-Ghazali, juga memuat beberapa masalah lain yang diambilnya dari kitab-kitab lain. Semua karya tulisnya tersebut masih dijumpai di Perpustakaan Nasional Jakarta. |
|
|
|
|
|
|
akmala This user has been deleted
|
Pemikiran Tasawuf Al-Palimbani
Pendekatan tasawufnya lebih menekankan penyucian pikiran dan perilaku moral ketimbang pencarian mistisisme spekulatif dan filosofis. Menurut dia, pengamalan ajaran-ajaran syariat dan perbuatan baik merupakan jalan paling meyakinkan untuk mencapai kemajuan spiritual. Pada saat yang bersamaan ia mencoba menyelaraskan aspek syariat dan tasawuf.
Tauhid sebagai salah satu maqam tertinggi dan tujuan yang ingin dicapai seorang sufi menjadi perhatian penting Al-Palimbani. Sejalan dengan keinginannya untuk menyelaraskan syariat dengan tasawuf, ia menjelaskan empat tingkatan tauhid seperti yang dikemukakan AI-Ghazali. Dua yang pertama rnerupakan tauhid orang awam sedangkan dua yang terakhir yang menjadi tujuan sufi hanya dapat dicapai melalui pengalarnan sendiri.
Martabat pertama, orang mengucapkan La Ilaha illallah sedangkan hatinya lalai dan mengingkari makna kalimat itu, seperti tauhidnya orang munafik, Martabat kedua, hatinya mernbenarkan makna kalimat itu seperti kebanyakan orang awam. Inilah tauhid yang tersebut di dalam ilmu Ushuluddin yang dibicarakan oleh. para Fuqaha dan ulama Mutakallimin Asya'irah dan Maturidiyah.
Martabat ketiga, memandang dengan hati akan keesaan Allah melalui nur yang sebenarnya dengan jalan terbuka hatinya, Dengan mata hatinya ia memandang segala kemajemukan ini cermin sifat Allah Yang Qahhar. Menurut Al-Palimbani inilah yang ada di dalam hati orang yang menjalani ilmu tarekat yaitu maqam orang-orang muqarrabin.
Martabat keempat, satu-satunya yang dilihat di dalam wujud alam ini hanya zat TuhanYang Esa yang wajib al-wujud yang oleh ahli sufi dinamakan fana' fi ai-tauhid,', la tidak lagi rnelihat dirinya karena batinnya: telah larut dalam memandang Tuhan Yang Esa yang sebenar-benarnya. Menurut Al-Palimbani, inilah tauhid orang-orang shiddiqiri lagi 'arifin.
Lebih lanjut di dalarn Sayr al-Salikin Al-j Palimbani mengatakan bahwa ajaran wahdah al-wujud Ibn al-'Arabi pada hakikatnya sama dengan intisari ma'rilahl yang merupakan tujuan akhir dari tasawuf AI-Ghazali. Alam semesta yang merupakan penampakan lahir (tajalli) Allah - yang menurut Ibn al-'Arabi - mencapai kesempurnaan sehingga terwujud Insan Kamil bisa juga dikenal sebagai Esensi Mutlak yang berada di balik dan di atas segala sesuatu melalui pandangan batin - yang menurut AI-Ghazali - adalah puncak ma'rifah kesufian tertinggi.
Al-Palimbani mencoba menjabarkan ajaran wshdah al-wujud dengan cara yang sederhana. Menurutnya wujud Allah yang wajib al-wujud dapat dikenal dengan tujuh tingkatan (martabat), sebagai berikut:
1. Martabat ahadiyyah li ahadiyyah. dinamakan pula martabat an la ta'ayyun, martabat itlaq dan zat al-bahts, yaitu ibarat dari keadaan semata-mata wujud zat (esensi) Allah Ta'ala Yang Esa yang memandang dengan hatinya dengan tiada ikhtibar sifat, asma1 dan a/'a/-Nya. Ibn al-'Arabi menyebutnya ahadiyyah yaitu esensi Tuhan yang mutlak. tanpa nama dan sifat karena tidak mungkin dikenal oleh siapa pun juga sehingga disebut la ta'ayyun (tidak narnpak), iazuhur (tidak lahir) dan ghaib al-muthlaq (gaib mutlak).
2. Martabat al-wahidah, dinamakan pula martabat al-ta'ayyun al-awwal dan haqiqah al-muhammadiyyah, yaitu ibarat ilmu Allah Ta'ala dengan wujud zat-Nya dan segala sifat-Nya dan segala maujud atas jalan perhimpunan dengan tiada beda setengahnya dengan setengahnya. Al-wahidah merupakan penampakan pertama (al-ta'ayyun al-awwal) dari esensi Tuhan yang mutlak itu berupa hakikat Muham-madiyah (al-haqiqah al-muhammadiyyah) yang diartikan sebagai ilmu Tuhan me-ngenai diri (esensi dan sifat)-Nya serta alam semesta ini secara global.
3. Martabat al-wahidiyyah, dinamakan pula haqiqah al-insaniyyah, yaitu ibarat ilmu Allah dengan zat dan segala sifat-Nya dengan segala makhluk-Nya atas jalan perceraian setengahnya dari setengahnya. Martabat ini disebut juga ta'ayyun tsani dalam rupa hakikat insan, yakni ilmu Tuhan mengenai diri-Nya serta alam semesta ini
secara rinci.
4. Martabat 'alam al-arwah, dinamakan pula Nur Muahamad SAW, yaitu ibarat suatu keadaan yang halus yang semata-mata dan belum menerima susunan dan belum berbeda setengahnya. Alam arwah adalah nur Muhammad yang dijadikan oleh Allah dari nur-Nya, roh tunggal yang merupakan asal dari roh segala makhluk hidup, baik manusia maupun yang lain.
5. Martabat 'alam al-mitsal, yaitu ibarat keadaan sesuatu yang halus yang tidak dapat diceraikan setengahnya dari setengahnya dan tidak menerima pesuk dan tambal. Martabat ini merupakan diferensiasi dari nur Muhammad dalam bentuk roh perseorangan, seperti taut menghadirkan dirinya dalam bentuk ombak.
6. Martabat 'alam al-ajsam, yaitu ibarat keadaan sesuatu yang tersusun dari ernpat unsur, yaitu api, angin, tanah dan air yang menerima susun dan bercerai setengah daripada setengahnya yang membentuk batu-batuan dan tumbuh-turnbuhan. semua hewan, manusia dan jin.
7. Martabat jami'ah yaitu martabat yang menghimpunkan sekalian martabat yang terdahulu dan dinamakan juga martabat al-Ta'ayyun al-Akhir atau martabat al- Tajalli al-Akhir, yaitu kenyataan Allah Ta'ala yang kemudian sekali.
Menurut Al-Palimbani, tiga martabat pertama adalah qadim dan azali karena ketiga martabat tersebut tiada yang maujud pada ketika itu melainkan zat (esensi) Allah SWT dan sifat-sifat-Nya. Adapun sekalian makhluk pada ketika itu maujud di dalam esensi Allah, belum zahir dalam wujud luar. Sedangkan empat martabat berikutnya memiliki wujud pada tiga tempat. yaitu ilmu Allah yang ijmali sebagai wujud keadaan, dalam ilmu Tuhan yang terperinci sebagai prototipe-prototipe yang tetap dan wujudnya yang lahir. Wujud yang pertama dan kedua merupakan wujud potensial (wujud saluhi) dan wujud ketentuan (wujud taqriri) sedangkan wujud yang terakhir sudah berbentuk pelaksanaan (tanjizi).
Pada martabat yang pertama, wujud itu tidak berbentuk, tidak berbatas dan tidak berhingga sehingga tidak mungkin dikenal oleh siapa pun juga. Enam martabat berikutnya merupakan martabat nyata, karena pada martabat al-wahidah Tuhan menampakkan diri-Nya dalam rupa haqiqah al-muhammadiyyah, pada martabat al-wahidiyyah Tuhan menampakkan diri-Nya dalam rupa haqiqah al-insaniyyah sedangkan empat martabat berikutnya Tuhan menampakkan diri-Nya dalam rupa alam lahir.
Al-Palimbani menyadari kemungkinan orang akan tersesat jika mencoba memahami tasawuf secara bebas tanpa bimbingan. Untuk menghindari kebingungan dan kesesatan yang memungkinkan terjerumus pada kemurtadan, Al-Palimbani rnenggolongkan salik (penempuh jalan sufi) pada tiga golongan, yaitu pemula (al-mubtadi), menengah (al-mutawassit), dan lanjutan atau penghabisan (al-murttahi).
Al-Palimbani menyarankan sejumlah bacaan untuk masing-masing golongan. Untuk para pemula ia menyarankan 56 kitab ( di antaranya 6 karya AI-Ghazali, 2 karyaAl-Anshari, 7karyaAl-Sa'rani, 1 karya Al-Qusyasyi dan 13 karya Al-Bakri dan Al-Sammani). Sebagian besar kitab ini mcnguraikan tentang kewajiban pemenuhan syariat dalarn kaitannya dengan tujuan mencapai kemajuan spiritual di jalan mistis. Di sini Al-Palimbani bermaksud menunjukkan kepada para salik bahwa syariat merupakan landasan dasar tasawuf dalam Islam.
Untuk tingkat menengah, ia merekomendasikan 26 kitab yang lebih bersifat filososfis dan teologis, seperti Hikam karya 'Ata' Allah. Pada tingkat lanjutan, ia memperkenalkan karya-karya yang lebih rumit dan agak kontroversial, misalnya Fushush al-Hikam, Futuhal al-Makkiyah dan Mawaqi' al-Nujum karya Ibn al-'Arabi, Insan al-Kamit karya Al-Jili, Ihya' Vlumuddin karya AI-Ghazali, Tuhfat al-Mursalah karya AI-Burhanpuri bersama penjelasannya yang ditulis AI-Kurani dan AI-Nabulusi, Lawaqih al-Anwar al-Qudsiyyah karya Al-Sa'rani, Jawahir al-Haqa'iq dan Tanbih al-Thullab ffMa 'rifah al-Malik al-Wahhab karya Syarnsuddin al-Samatrani dan terakhir Zad at-Muttaqin karya Al-Palimbani sendiri. |
|
|
|
|
|
|
akmala This user has been deleted
|
Al-Palimbani dan Tumbuh Kembang Tarekat
Para ahli tasawuf memahami tarekat sebagai jalan yang ditempuh salik untuk menghadap Tuhannya dengan pensucian jiwa. Sedangkan menurut J.S.Tirmingham, tarekat adalah suatu metode praktis untuk menuntun atau membimbing seorang murid secara berencana dengan jalan pikiran, perasaan dan tindakan terkendali terus menerus kepada suatu rangkaian dan tingkatan-tingkatan untuk dapat merasakan hakikat sebenarnya.
Di daerah Sumatera Selatan tarekat dikembangkan oleh salah seorang Murid Al-Palimbani yaitu Kiagus H. Muhammad Akib. Sekembalinya ke Palembang, Muhammad Akib menetap di belakang Mesjid Agung yang berdekatan dengan keraton kesultanan. Hasil penelitian Jeroen Peeters dari naskah-naskah kuno yang masih ada, terdapat beberapa petunjuk yang mengindikasikan adanya hubungan erat tarekat Sammaniyyah dengan istana kesultanan. Hubungan yang erat ini di samping menunjukkan adanya keterkaitan erat antara agarna dan negara, juga memungkinkan tarekat ini berkembang pesat di bawah lindungan kesultanan.
Tarekat Khalwatiyyah, seperti yang dikemukakan J.S. Trimingham adalah suatu aliran tasawuf yang mementingkan kehidupan zuhud perseorangan dan perkhalwatan. Tarekat ini populer dengan penghormatan pada pemimpin yang berkuasa, terkenal dengan kekerasan dalarn rnelatih darwisnya dan dalam waktu yang bersamaan memberi dorongan bagi individualisme. Tarikat ini didirikan oleh beberapa orang zahid di Ardabil dan pada mulanya berkembang di Syirwan dan Azerbaijan kemudian meluas mengikuti kemenangan-kemenangan Turki Usmani ke Anatolia, Suriah, Mesir, Hijaz dan Yaman. Sedangkan tarekat Sammaniyyah berasal dari nama pendirinya Syekh Muhammad bin Abdul Karim al-Samman yang pada mulanya dari ranting Bakariyyah dari Khalwatiyyah.
Tarekat Sammaniyyah mendapat pengikut berkat popularitas latihan zikir yang menjadi ciri khas Sammaniyyah. Setelah pendirinya wafat, Sammaniyyah tnenyebar terus ke Mesir dan Sudan. Ke arah timur, Sammaniyyah juga dibawa ke Sumatera dan Semenanjung Melayu oleh jamaah haji yang berkenalan dongan tarekat baru ini. Propagandis pertamanya di antara koloni masyarakat "Jawi" di Makkah adalah Abdul Shamad al-Palimbani.
Tarekat yang dikembangkan Al-Palimbani sepertinya didasarkan pada ajaran tujuh tingkatan nafs yang telah disebutkan terdahulu. Setiap tingkatan nafs disertai dengan zikir yang harus dibaca dengan tata tertib tertentu, baik sebelum, sesudah maupun dalam pelaksanaan zikir. Segala ketentuan tersebut harus diikuti untuk mencapai konsentrasi penuh kepada makna La llaha illallah yang terdiri dari tiga tingkatan, yaitu La Ma'buda illallah, La Mathluba Illallah dan La Maujuda illallah. Makna yang terakhir menurut Al-Palimbani, hanya bisa dirasakan jika sang pezikir tidak lagi menyadari wujud dirinya. Di samping itu zikir ada juga dalam bentuk ucapan dan getaran di luar kehendak yang bersangkutan, misalnya Allah, Allah, Allah atau Hu, Hu, Hu atau atau La, La, La atau A, A, A atau Ah, Ah, Ah atau Hi, Hi, Hi. Oleh karena itu salik memerlukan soorang pembimbing (mursyid) dan si salik harus dibaiat dan mengambil talkin zikir terlebih dahulu dari guru pembimbing.
Di samping berzikir, seorang salik diharuskan berkhalwat di tempat tertentu dan melakukan ratib setelah shalat Isya pada malam Jumat. Ratib Shamad yang ditulis Al-Palimbani dalam sebuah kitab kecil, isinya hampir sama dengan Ratib Samman. Ratib ini sangat populer di Indonesia dan dilakukan dengan gerakan badan dan menurut cara tertentu. Kegiatan tersebut dilakukan sebagai kegiatan ritual keagamaan dalam usaha memperoleh kekuatan lahir batin yang bersifat kompleks. Di samping adanya doa minta rezeki, umur panjang, beriman dan bertakwa, juga terselip hasrat hati untuk membentengi diri dari orang-orang kafir.
Al-Palimbani adalah penulis Melayu pertama yang mernperkenalkan ajaran Syekh Muhammad Al-Samman, Dalam Hidayah al-Salikin ia menjelaskan adab dan kaifiat berzikir yang diambilnya dari Syekh itu. Kemudian di dalam Sayr al-Salikin ia menjelaskan lagi mengenai tarekat tersebut secara luas dan mendalam serta menganjurkan pembaca untuk memasukinya. Tetapi penyebaran lebih luas tentang riwayat hidup dan kekeramatannya yang tidak pernah dijelaskan Al-Palimbani beredar melalui kitab-kitab manakib seperti yang ditulis Muhammad Muhyiddini bin Syihabuddin tahun 1196 H/1781 M.
Di berbagai daerah di Indonesia, seperti halnya Ratib Shamad dan Ratib Samman, pembacaan manakib Syekh IV hammad al-Samman masih dilakukan orang. Wallahu a'iam bish-shawab.
Penulis adalah kandidat doktor Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan dosen pads IAIN Imam Bonjol Padang. |
|
|
|
|
|
|
| |
|