CariDotMy

 Forgot password?
 Register

ADVERTISEMENT

View: 12903|Reply: 8

Tradisi, Budaya, Adat, Kesenian dan Sejarah Wilayah Timur Nusantara

[Copy link]
Post time 25-12-2009 01:34 PM | Show all posts |Read mode
Post Last Edit by jf_pratama at 25-12-2009 19:08

Sekilas Tentang Cakalele, Hasa & Salai Jin, Serta Mengenali Jenis-Jenis Roh Gaib di Ternate (Wonge, Jin, Meki, Caka, Puntiana, Giki & Moro)

Oleh : Busranto Abdullatif Doa

Sejak masa terbentuknya masyarakat pertama di Ternate, Cakalele sudah menjadi tradisi masyarakat di kepulauan ini. Seperti halnya di tempat lain di kepulauan Maluku dan sekitarnya, “Cakalele” merupakan bentuk tradisi atau kebiasaan dalam masyarakat tradisional di daerah ini.

Tradisi Cakalele sebenarnya bermula dari daerah Maluku Utara, yang kemudian meluas ke daerah-daerah pengaruh kerajaan hingga sampai ke daerah Maluku Tengah (Ambon & Seram), termasuk juga ke wilayah semenanjung Sulawesi bagian utara (di Minahasa juga ada tradisi Cakalele ini) dan juga di kawasan sepanjang pantai timur pulau Sulawesi. Mereka masih tetap menggunakan istilah Cakalele ini sebagaimana sebutan asal yang diambil dari kosa kata bahasa Ternate.

PENGERTIAN

Menurut budayawan asli Ternate Abdul Hamid Hasan, dalam bukunya; “Aroma Sejarah dan Budaya Ternate” (1999), menguraikan bahwa pengertian Cakalele secara etimologi dalam bahasa Ternate, terdiri atas dua suku kata, yaitu “Caka” (syaitan/roh) dan “Lele” (mengamuk). Hingga saat ini masyarakat Ternate masih menggunakan istilah Caka untuk menyebut roh jahat, ada juga istilah lain untuk Caka yaitu "Suwanggi". Caka dalam Bahasa Tidore disebut dengan "Coka".

Jadi, pengertian kata Cakalele secara harafiah berarti “setan / roh yang sedang mengamuk”. Bila jiwa seseorang telah dirasuki syaitan/roh, maka ia tidak takut kepada siapapun yang dihadapi dan ia telah haus akan darah manusia. Dengan demikian, menurut Abdul Hamid Hasan atraksi Cakalele di dalam peperangan ataupun uji coba ketahanan jiwa raga seseorang dalam kegiatan “Legu Kie se Gam” berbeda dengan Cakalele yang sekedar ditampilkan pada upacara resmi lain.

Pada upacara resmi lain, penampilan atraksi serupa Cakalele biasanya disebut “Hasa”, tetapi karena pertarungannya sama dengan Cakalele, maka juga disering disebut orang sebagai Cakalele. Cakalele dan Hasa tidak mutlak harus dalam bentuk "pertarungan", melainkan atraksi ini dilakukan secara tunggal atau perorangan. Hasa hanya merupakan atraksi menyerupai Cakalele. Bedanya para pelaku atraksi Hasa tersebut berada dalam keadaan sadar (termasuk dalam atraksi pertarungan maupun atraksi tunggal, karena jiwanya dalam keadaan tidak sadar karena dirasuki roh/jin).

Tidak demikian hal dengan Cakalele, karena jiwa pelaku dari kedua belah pihak yang sedang atraksi (bertarung) atau atraksi perorangan telah dirasuki syaitan/roh, sehingga semua gerakan yang dilakukan adalah dibawah alam sadar.

Ada dua bentuk atraksi lain yang menyerupai Cakalele, yaitu; “Salai Jin” dan “Hasa” seperti yang saya sebutkan di atas. Salai Jin adalah bentuk upacara memohon bantuan sahabat dari dunia gaib untuk mengatasi persoalan yang timbul di dalam suku atau dalam suatu keluarga. Misalnya untuk mengobati warga suku atau anggota keluarga yang sakit, maka diadakan Salai Jin ini, dengan mempersiapkan perlengkapan pelaksanan upacara itu sesuai adat istiadat yang berlaku.

Adapun peralatan yang digunakan dalam Cakalele dan Hasa ini terdiri atas; Parang (Pedang), Salawaku (Perisai kayu) dan bahkan tombak. Salawaku biasanya dihiasi dengan pecahan porselen piring atau kerang yang bermotif angka atau kembang sesuai angka atau simbol perhitungan menurut kepercayaan sebagai “Jimat” agar mempan menangkis serangan musuh. Sedangkan musik yang mengiringi atraksi Cakalele disebut “Tepe-Tepe” yang peralatannya terdiri dari dua buah Tifa dan satu buah Genderang serta sebuah gong tembaga yang dijadikan alat yang dipukul untuk mengeluarkan suara sehingga menambah suasana hiruk piruk.

Sebagaimana Cakalele, pelaku Hasa juga menggunakan parang dan salawaku dan menari-nari seperti orang kerasukan dan haus akan peperangan, sambil tangan kanannya diangkat ke atas melambai-lambaikan parang yang digenggamnya, sedangkan tangan kiri biasanya memegang salawaku / perisai yang dilipat ke depan dadanya (lihat gambar).

Sedangkan pada Salai Jin, ritual pengobatan biasanya dilakukan setelah pelakunya dirasuki roh sahabatnya gaib-nya, barulah si pelaku itu dapat mengobati warga yang sakit ataupun orang-orang yang datang minta pertolongan dan pengobatan kepadanya pada saat itu.

Dalam peperangan yang sesungguhnya, apabila seseorang yang menghadapi perang dan telah siap dengan parang atau tombak dan salawaku biasanya mata terbelalak berlari menuju musuh serta merta pelaku biasanya berteriak dengan mengeluarkan suara ; “Aulee… Aulee… Aulee…”, yang berarti "darah membanjir..." dan terjadilah bunuh-membunuh dalam peperangan tersebut.

Menurut analisa sementara saya, kemungkinan kata Aulee ini berasal dari gabungan dua kata, yaitu "Au" yang berarti darah, dan "leo" yang berarti mengalir atau membanjir. Kebiasaan pelaku apabila mencapai kemenangan, harus meminum darah salah satu musuhnya sebagai imbalan kepada roh gaib yang merasuki dalam dirinya. Demikian gambaran peperangan yang terjadi pada jaman dahulu seperti yang diceriterakan oleh beberapa orang tua-tua di Ternate yang saya wawancarai beberapa waktu yang lalu.

Acara besar-besaran yang dilaksanakan oleh setiap suku terhadap sahabat gaib-nya ini dengan tujuan untuk kemaslahatan negeri disebut dengan “Legu Kie se Gam”. Ini adalah pengertian awal dari “Legu Gam” yang sebenarnya (dahulu). Pada akhir-akhir ini, pengertian Legu Gam (modern) lebih mengarah pada acara “Pesta Rakyat” yang dilaksanakan secara besar-besaran berupa "Pameran Pembangunan" di alun-alun besar keraton kesultanan Ternate (Sunyie Lamo) yang dihadiri oleh seluruh lapisan masyarakat.

Kegiatan Legu Gam modern ini dilaksanakan rutin setiap tahun sejak sekitar enam tahun yang lalu. Legu Gam modern selalu dilakasanakan bertepatan dengan Hari Ulang Tahun Sri Sultan Ternate ke-48 Sultan Haji Mudafar Syah II. Pesta Rakyat (Legu Gam) ini dilaksanakan juga dalam rangka melestarikan budaya tradisional Maluku Utara,dan menambah nilai jual pariwisata Maluku Utara, karena peserta yang hadir atau yang turut serta dalam kegiatan ini bukan dari kesultanan Ternate saja, melainkan meliputi kesultanan lainnya yaitu : kesultanan Tidore, kesultanan Bacan dan juga kesultanan Jailolo. Lagu gam moderen ini juga diikutsertakan beberapa instansi pemerintah dalam bentuk stand-stand atau kios-kios pameran di alun-alun besar (Sunyie Lamo) kesultanan Ternate. (Bahasan tentang Legu Gam – Modern ini akan dibuat dalam artikel dan diposting tersendiri).
Reply

Use magic Report


ADVERTISEMENT


 Author| Post time 25-12-2009 01:35 PM | Show all posts
JENIS-JENIS ROH GAIB YANG DIKENAL DI TERNATE

Di dearah ini, masyarakat tradisional mengenal beberapa jenis nama roh gaib yang dapat dipakai sebagai sahabat dalam dunia ritual, diantaranya;
1. Wonge
2. Jin
3. Meki (Lobi-Lobi)
4. Caka (Suwanggi)
5. Puntiana (Kuntilanak)
6. Giki, dan
7. Moro, (Manusia Gaib, bukan roh gaib)

Para roh gaib ini dijadikan sahabat dengan ketentuan si pemilik (pelaku yang telah bersahabat dengan roh gaib) harus dapat memenuhi tuntutan roh gaib tersebut, antara lain menyediakan tempat untuk roh gaib. “Wonge” adalah salah satu jenis roh gaib yang hingga saat ini masih dipuja oleh sebahagian kecil masyarakat tradisional di Ternate dan sekitarnya. Tempat untuk bersemayam roh gaib ini biasanya disebut “Fala Wonge” atau "Wonge ma Fala" yang ditempatkan di salah satu sudut rumah, di luar rumah atau juga ditempatkan di sekitar rumah tempat tinggalnya (lihat gambar Fala Wonge).

Pemilik Fala Wonge ini pada saat tertentu wajib menyediakan sesajen yang dibutu*kan pada saat-saat tertentu , biasanya sirih, pinang, batangan rokok, darah ayam dan sebagainya. Apabila si pemilik menghendaki sesuatu bantuan kekuatan gaib atau pengobatan dari roh gaib, maka ia harus melaksanakan upacara ritual dengan menyajikan sesajen yang telah ditentukan, kegiatan memanggil roh gaib ini dikenal dengan “Karo Wonge” yakni semacam pesta ritual yang lumayan ramai di lingkungan keluarga atau kekerabatan, karena pasti manjadi tontonan warga sekitar. (Bahasan tentang ini akan kupas kemudian dengan artikel yang berjudul; “WONGE, Tradisi Ritual Pemujaan Roh Gaib”).

Jenis roh gaib lain yang dikenal di Ternate dan Maluku Utara pada umumnya adalah “Jin”. Saya kira pengertiannya hampir sama dengan pemahamannya yang diyakini oleh masyarakat tradisional di daerah-derah lain di Nusantara ini. Sedangkan yang dimaksud dengan roh gaib jenis “Meki” adalah roh gaib yang sejenis dengan Wonge, hanya Meki biasanya selalu meminta imbalan tumbal nyawa manusia, sehingga lebih mengarah pada "Ilmu Hitam". Istilah lain untuk Meki adalah “Lobi-Lobi”. Kata Lobi dalam bahasa Ternate berarti "kabut", pengertiannya adalah bahwa ; kadang-kadang orang awam yang secara tidak sengaja sering melihat penampakan Meki ini, misalnya di pohon besar, di dalam goa, atau tempat-tempat mistis lainnya.

Menurut kepercayan masyarakat tradisional di Ternate, bahwa roh gaib jenis Wonge, Jin dan Meki memiliki komuntas gaib tersendiri di dunianya seperti komunitas manusia di dunia nyata, mereka juga memiliki desa, kota, pasar, bahkan kendaraan, namun dalam bentuk gaib. Bahkan menurut mereka di alam dunia Jin ada Jin yang kafir dan juga ada Jin Islam.

Sedangkan Caka adalah salah satu jenis roh gaib yang berada dan tidak jauh dari lingkungan dan bahkan berada dalam kehidupan manusia. Caka adalah bahasa asli Ternate, sedangkan istilah terhadap roh gaib yang jahat ini juga sering disebut dengan "Suwanggi", bahkan lebih populer istilah ini dari pada Caka. Ada juga sebuah kegiatan tradisi yang disebut “Caka Ibah” (Akan saya bahas dalam artikel tersendiri nanti). Secara harafiah tentang kata Suwanggi, saya belum mengkaji pengertiannya hingga menjadi istilah yang masih tetap populer di masyarakat Ternate sampai sekarang.

Selama ini, Caka biasanya melakukan penampakan dengan dua cara, yaitu pertama melaui penampakan di tempat-tempat tertentu di sekitar lingkungan tempat tinggal bahkan di dalam rumah sekalipun. Cara yang kedua adalah dengan merasuki ke dalam raga seseorang sehingga orang tersebut dengan tanpa sadar melakukan hal-hal diluar kesadarannya. Biasanya jiwa orang-orang yang tamak, pendendam, jiwa yang sedang hampa dan bermacam macam lainnya sering dirasuki Caka ini. Dan biasanya pula roh jahat tersebut menempati raga seseorang tersebut secara terus-menerus pada saat-saat tertentu, sehingga orang sekampung pasti mengetahui bahwa yang bersangkutan adalah "Caka".

Jiwa yang dirasuki oleh Caka ini kebanyakan kaum wanita, namun ada juga beberapa kaum lelaki yg juga menjadi pelanggan roh jahat ini dan bahkan bila telah dirasuki akan menjadi lebih jahat lagi Caka perempuan. Caka laki-laki biasanya lebih "Tomole" (sadis) dari pada caka perampuan. Sasaran yang dijadikan obyek yang sering diganggu oleh Caka ini bermacam-macam, diantara yang sering adalah bayi yang baru dilahirkan, karena menurut masyarakat Ternate, bayi yang baru lahir adalah makanan empuk dari Caka ini.

Selain itu Caka suka mengganggu orang lain yang sedang tidur, satau sedang hampa jiwanya sehingga ybs kadangkala ketakutan sepanjang malam. Jenis lain dari Roh Jahat yang dikenal di Ternate adalah “Puntiana”, yang sama seperti di daerah-daerah lain yang dikenal dengan "Kuntilanak".

Lain halnya dengan “Giki”, pengertian Giki lebih mengarah pada profil gaib yang lebih tinggi dan lebih mulia dan tidak ada yang bisa menyamainya, yaitu sang pencipta (Tuhan). Dalam bahasa Ternate, Tuhan sang pencipta alam dijuluki dengan istilah "Giki Amoi" (Amoi=hanya satu-satunya, maksudnya Allah yang hanya satu)

Sedangkan “Moro” adalah sebangsa manusia gaib yang komunitasnya berada di pedalaman pulau Halmahera. Saya menyebutnya mereka dengan menggunakan istilah “Bangsa Moro” karena mereka juga sebangsa Jin dan keberadaan mereka juga di dunia gaib seperti bangsa Jin. Selama ini memang belum ada orang yang melakukan penelitian tentang mereka. Keberadan mereka di dunia tidak nyata (gaib) mengakibatkan hal ini sulit diterima dalam konteks metodeologic akademis.

Memang diakui, eksistensi Mancia Moro ini masih simpang siur dan masih menjadi perdebatan oleh beberapa kalangan di Ternate dan Maluku Utara. Namun demikian, masih banyak masyarakat Maluku Utara mempercayai ada Mancia Moro ini. Sedangkan masyarakt akademis dan kaum rasionalis sebagian besar tidak mempercayai eksistensi “Mancia Moro” ini termasuk cerita2 mistis seputar “Bangsa Moro” ini yang beredar di masyarakt secara turun temurun.
Reply

Use magic Report

 Author| Post time 25-12-2009 07:33 PM | Show all posts
Mengenal "Orang Togutil", Suku Terasing di Pedalaman Pulau Halmahera
Penulis : Busranto Doa


Bila mendengar kata “TOGUTIL”, maka bayangan yang muncul dalam pikiran semua orang di Ternate dan Maluku Utara pasti akan tertuju pada komunitas suku terasing yang hidup secara nomaden di pedalaman pulau Halmahera. Tapi mungkin lain halnya dengan masyarakat di luar provinsi muda ini, misalnya orang-orang di Sulawesi, Jawa, Kalimantan, Sumatera dsb, nama suku Togutil mungkin baru kali ini didengarnya. Bagi orang Ternate, kata “Togutil” sebagai sebuah istilah, itu identik dengan makna kata “primitif”, “keterbelakangan”, “kebodohan” “ketertinggalan” serta masih banyak lagi konotasi-konotasi yang bermakna serupa lainnya.

Dalam keseharian kehidupan masyarakat di Maluku Utara yang hingga sekarang ini juga telah memasuki era digital sebagaimana orang-orang di pulau Jawa, namun ternyata masih ada saudara-saudaranya yang ada di pedalaman pulau Halmahera yang hidupnya masih primitif dan terbelakang serta jauh dari sentuhan modernisasi. Padahal negara ini sudah merdeka lebih dari 60 tahun yang lalu.

Seperti yang pernah saya jelaskan dalam artikel-artikel pada posting sebelumnya bahwa pada zaman Pleistochen pulau Halmahera masih menyatu dengan pulau-pulau kecil lainnya yang ada saat ini, seperti pulau; Morotai, Hiri, Ternate, Maitara, Tidore, Mare, Moti, Makian, Kayoa, Bacan, Gebe dan sebagainya. Perubahan alam yang terjadi selama ratusan ribu tahun dan pergeseran kulit bumi secara evolusi telah membentuk pulau-pulau kecil. Halmahera adalah merupakan pulau induk di kawasan ini, dan merupakan dataran tertua, selain pulau Seram di Maluku Tengah.

Secara logis, karena pulau Halmahera adalah pulau induk dan daratan tertua, maka dapat dipastikan bahwa perkembangan kehidupan dan persebaran “manusia Maluku Utara” juga tentu bermula dari daratan ini. Namun bukan itu yang menjadi bahasan saya dalam tulisan ini. Pembahasan hanya terfokus pada keberadaan sebuah komunitas yakni orang-orang suku Togutil yang masih tersisa yang mengalami ketertinggalan dalam perkembangan sosio-kultural yang disebabkan karena mereka terisolasi atau mengisolasikan diri dari pergaulan dengan lingkungan manusia lainnya. Hidup mereka telah menyatu dengan alam sehingga hutan rimba, sungai-sungai dan goa-goa di belantara pedalaman pulau Halmahera menjadi rumah mereka.

Disadari atau tidak, sebagian orang bisa menyimpulkan bahwa pernyataan tersebut di atas menunjukkan bahwa manusia Maluku Utara yang sudah modern dan maju seperti sekarang ini dahulunya adalah juga seperti “orang Togutil” ini.

Bila kita bijak, maka hal ini tidak lantas begitu saja langsung dibantah, karena jika kita mempelajari “Ilmu Anthropologi” maka pasti kita memahami bahwa setiap bangsa atau suku mana saja di muka bumi ini dalam perjalanannya pasti mengalami tahap-tahap perkembangan yang demikian. Misalnya bangsa Kaukasoid (orang Eropa) yang lebih dahulu maju dan telah menjadi manusia modern seperti sekarang ini, dahulunya juga adalah suku primitif (Vicking) yang kehidupannya masih tergantung dengan pemberian alam (Nomad) seperti orang Tugutil ini.

Kembali kepada pembicaraan kita tentang “Suku Togutil”… Catatan ilmiah tentang suku ini, pertama kali dikemukakan tahun 1929 yang berbentuk sebuah artikel pendek yang terdapat dalam buku; “De Ternate Archipel” Serie Q, No.43 Ontleedn aan de memorie van overgave van den toenmaligen Controleur van Tobelo, PJM Baden, van 26 Maret 1929, pag 401-404.

Saat ini banyak keterangan-keterangan dari berbagai pihak dan masyarakat tentang orang-orang suku Togutil ini sangat berbeda dan simpang siur antara satu dengan yang lainnya. Semua itu benar, karena mereka tahu dan melihat dalam kurun waktu dan ruang yang berbeda sehingga deskripsi yang lahir tentang suku Togutil ini pun berbeda pula.

Di pedalaman pulau Halmahera, komunitas suku pengembara ini ditemui di beberapa kawasan. Di utara masih terdapat di pedalaman Tobelo, di tengah seperti terdapat di Dodaga, di pedalaman Kao, di pedalaman Wasilei dan agak ke selatan juga terdapat beberapa komunitas mereka di pedalaman Maba dan Buli. Setiap komunitas (kelompok) suku primitif ini berbeda antara satu dengan yang lainnya. Bahkan mereka saling berperang bila bertemu.
Reply

Use magic Report

 Author| Post time 25-12-2009 07:35 PM | Show all posts
Namun demikian, bagi masyarakat Maluku Utara, masing-masing kelompok orang-orang Tugutil ini, semuanya disebut sebagai “Suku Togutil” saja. Yang membedakan sebutan terhadap mereka adalah kawasan yang menjadi tempat pengembaraan mereka, misalnya Togutil Tobelo, Togutil Kao, Togutil Dodaga, Togutil Wasilei, Togutil Maba, dsb.

Usaha pemukiman terhadap masyarakat terasing merupakan program utama pemerintah dalam usaha membiasakan mereka hidup menetap dan bercocok tanam (bertani). Menetap dengan pengharapan dapat meningkatkan kesejahteraan fisik dan rohani. Usaha ini dimaksudkan agar mereka dapat secepatnya mencapai taraf hidup yang sejajar dengan masyarakat Indonesia umumnya.

Atas pemikiran inilah, Pemerintah daerah di Maluku Utara pada tahun 1971 pernah membangun pemukiman (relokasi) untuk orang-orang suku Togutil Dodaga di kecamatan Wasilei Halmahera Tengah. Yang dimaksud dengan orang-orang Togutil Dodaga adalah sekelompok orang suku Togutil yang berdiam di sekitar hutan dekat Dodaga. Penambahan kata Dodaga di belakang nama golongan etnis ini adalah agar dengan mudah dapat membedakannya dengan orang-orang suku Togutil lain yang terdapat di kecamatan Wasilei, maupun di kecamatan-kecamatan lain di pedalaman pulau Halmahera.

Beberapa saat setelah suku Togutil Dodaga ini bermukim di tempat relokasi yang dibangun pemerintah, mereka kembali lagi ke hutan dan hidup lagi menurut cara yang lama. Peristiwa tersebut menimbulkan pertanyaan, apa sebab usaha ini gagal, sedangkan usaha-usaha serupa berhasil di tempat lain, seperti Suku Naulu di pulau Seram, orang Dayak Bukit di Kalimantan, Suku Sakai di Sumatera dsb.

Masyarakat di Desa-Desa sekitar mengatakan bahwa orang-orang Togutil ketika musim hujan tiba, merasa terganggu dengan suara bising air hujan yang jatuh, karena atap tidak terbuat dari dedaunan sehingga mereka ketakutan dan lari kembali lagi ke hutan. Alasan lain mungkin karena mereka tidak terbiasa dengan ”sandang” dan “pangan” ala kita.

MASALAH RELOKASI SUKU TOGUTIL DI WASILEI

Gambaran rinci tentang pemukiman, asal-usul dan kehidupan suku Togutil di pedalaman pulau Halmahera ini sama sekali belum diketahui oleh dunia pengetahuan kita. Oleh karena itu sangatlah sukar untuk memperoleh keterangan yang terperinci dan terpercaya dari laporan-laporan yang ada tentang Halmahera tanpa melakukan sendiri penelitian di lapangan.

Walaupun demikian, pada sekitar tahun 1979, Universitas Pattimura Ambon pernah melakukan penelitian lapangan yang bersifat Eksplorasi melalui pendekatan Anthropologi Sosial terhadap suku Togutil di pedalaman Tobelo untuk mencari jawaban atas kegagalan usaha pemukiman suku terasing ini, yang laporan penelitiannya ditulis oleh Mus J. Huliselan yakni; Masalah Pemukiman Kembali Suku Bangsa Togutil di Kecamatan Wasilei Halmahera Tengah Sebuah Laporan Pejajagan, Universitas Patimura, Ambon, 1980.

Saya mengutip beberapa point hasil penelitian tersebut, yang menyebutkan bahwa; Menurut hasil penelitian ini, jika dilihat dari sistem pemukiman orang-orang Togutil Wasilei dapat dibagi atas 3 kelompok, yaitu :

1. Mereka yang mengembara di hutan-hutan dengan goa-goa dengan rumah-rumah darurat sebagai tempat bernaung.
2. Mereka yang berpindah-pindah dalam lokasi tertentu dengan sistem perumahan yang sudah teratur (di Toboino dan Tutuling).
3. Mereka yang menetap pada suatu lokasi dengan pola pemukiman yang telah teratur (di Paraino).

Penelitian ini dilakukan terhadap kelompok kedua dan ketiga. Kelompok pertama adalah pengembara yang dinamai oleh kelompok kedua dan ketiga serta penduduk kecamatan Wasilei sebagai “Orang Biri-Biri”. Mereka ini sukar ditemui dan kecurigaan mereka terhadap orang luar sangat besar.

Orang Biri-Biri hidup selalu bermusuhan dengan orang-orang Togutil Dodaga (kelompok kedua dan ketiga). Setiap pertemuan antar kedua golongan ini pasti diselesaikan dengan perkelahian. Kelompok kedua dan ketiga menganggap masing-masing seketurunan atau segolongan, sedangkan kedua golongan ini sama sekali tidak mengakui orang Biri-Biri sebagai orang yang segolongan dengan mereka.

Orang Togutil Dodaga sebagai salah satu sub-suku Tobelo Dalam, bermukim pada 3 lokasi yang dipilih oleh mereka sendiri di dekat Dodaga, sekitar 30 km dari ibukota Kecamatan Wasilei (Lolobata). Sebagian dari mereka adalah orang suku Togutil yang pernah dimukimkan pada tahun 1971. Ketiga lokasi tersebut adalah; Paraino, Toboino dan Tutuling seperti yang sebutkan dalam hasil penelitian di atas. Orang Togutil Dodaga berasal dari dua tempat, yaitu :

1. Daerah Kao , yakni dari Biang, Gamlaha & Kao sendiri.
2. Daerah Tobelo, yakni dari Kupa-kupa, Ufa & Efi-efi.

Dilihat dari bahasa yang digunakan sesuai hasil penelitian, kelihatannya lebih besar pengaruh bahasa Tobelo Boeng terhadap suku ini. Orang Togutil Dodaga sebagian besar berasal dari daerah Kao. Mereka hanya menguasai dan mengerti satu bahasa yaitu bahasa Tobelo walaupun mereka sejak lama bertempat tinggal di lingkungan yang mayoritas berbahasa Maba.

Orang-orang Togutil Dodaga telah menutup dirinya untuk berhubungan dengan dunia luar sampai kira-kira tahun 1961, setelah itu baru terdapat kontak antar mereka dengan penduduk lain di sekitar Halmahera bagian tengah. Sifat ketertutupan ini dapat dimengerti karena mereka adalah pelarian.

Perpindahan nenek moyang suku Togutil Dodaga dari daerah asalnya adalah karena menghindari kewajiban pembayaran Balahitongi (Pajak) yang dikenakan oleh Pemerintah Hindia Belanda jaman dahulu kepada nenek moyang mereka. Kapan dan bagaimana prosesnya berlangsung tidak diketahui secara pasti.

Dalam buku “De Ternate Archipel” (1929, hal 401-402) secara jelas dikemukakan bahwa; Pada tahun 1927 untuk pertama kalinya orang-orang Togutil dikenakan Balasting (pajak) sebesar 1,20 Gulden oleh Pemerintah Hindia Belanda. Dan sejak tahun 1929 setiap tahun ditambah dengan 0,20 Gulden. Apabila kedua keterangan ini dibandingkan, maka dapat dikemukakan dua argument, yakni :

1. Apabila benar bahwa yang melakukan migrasi ke hurtan rimba Dodaga adalah orang-orang Togutil, maka mereka baru melakukan hal itu sesudah tahun 1927 karena adanya pungutan Balasting.
2. Tapi apabila yang melakukan migrasi itu adalah orang-orang Tobelo yang melarikan diri karena Balasting, maka migrasi itu telah dilakukan jauh sebelum tahun 1927.

Dengan demikian sulit dibedakan apakah orang Togutil Dodaga adalah orang-orang (TobeloBoeng) atau orang-orang Togutil asli. Sampai saat ini tidak ada satu keteranganpun yang memberi petunjuk jelas tentang perbedaan tersebut. Dan rupanya, hingga saat ini pengertian “Orang Togutil” selama ini telah dipakai untuk penamaan semua orang pengembara yang hidup di hutan pedalaman pulau Halmahera di Maluku Utara.

Para peneliti dari Universitas Patimura yang melakukan penelitian tersebut, menyimpulkan bahwa adanya penolakan orang-orang Togutil Dodaga untuk menerima anggapan bahwa mereka termasuk suku bangsa Togutil dan bahklan mereka menunjuk orang lain (orang Biri-Biri) sebagai orang Togutil, hal ini mungkin sesuai kenyataan bahwa mereka itu adalah orang-orang Tobelo (Boeng) yang dahulu melarikan diri ke hutan. Kenyataan ini ditunjang oleh penunjukan tempat asal mereka yaitu pada Desa-Desa asal Tobelo dan Kao yang bukan tempat kediaman suku Togutil asli.

Dengan demikian, maka pasti timbul pertanyaan; Siapa sebenarnya suku Togutil itu..? Meskipun persoalan ini belum dapat terpecahkan hingga saat ini orang mengenal Suku Togutil di pedalaman hutan Halmahera ada dua, yaitu;
1) Orang Togutil Dodaga yang sudah bisa diajak relokasi oleh Pemerintah, dan
2) Orang Togutil Asli yang masih hidup di hutan pedalaman yang masih menggunakan pola hidup dan ketergantungan hidup dari pemberian alam (nomaden) dan belum mengenal sistem bercocok tanam serta kehidupan yang belum tersentuh oleh dunia luar.
Reply

Use magic Report

 Author| Post time 25-12-2009 07:38 PM | Show all posts
Post Last Edit by jf_pratama at 25-12-2009 18:41

HUTAN SUNGAI & GOA SEBAGAI RUMAH SUKU TOGUTIL



Orang suku Togutil ada yang bermukim di daerah pantai namun sebagian besar berada di hutan pedalaman yang ada sungai yang menjadi sumber kehidupan mereka. Mereka tidak mengenal sistem pemerintahan dan kekuasaan yang mengikat. Mereka juga tidak mengenal sistem bercocok taman dan pemukiman. Kebanyakan dari mereka mengembara di hutan-hutan tertentu dengan gua-gua atau rumah darurat sebagai tempat bernaung yang dianggap dunianya. Mereka hidup bergantung pada alam. Dalam berpakaian, mereka masih menggunakan “cawat” yang terbuat dari daun dan kulit kayu, tanpa mengenakan baju.

Orang-orang suku Togutil asli yang hidup di tengah rimba Halmahera kerap dihujani prasangka; terbelakang dan membenci orang asing. Mereka menggunakan anjing sebagai tindakan awal untuk menghalau jika ada orang asing memasuki wilayah mereka.

Karena hutan adalah rumah bagi orang-orang suku Togutil, maka pohon dianggap sebagai sumber kelahiran generasi baru. Di samping pelekatan unsur magis tersebut, pohon juga bisa menjadi simbol kelahiran (reproduksi genetika). Saya mengutip beberapa catatan pada hasil Lomba YPHL (2008) dengan topik; Pohon Sebagai Simbol Kelahiran, Mempertimbangkan Pemahaman Lokal tentang Pohon dalam Upaya Pemulihan Kerusakan Hutan, yang ditulis oleh Anthon Ngarbingan dalam www.kabarindonesia.com tanggal 31 Oktober 2008, mengemukakan bahwa ada beberapa kelompok masyarakat seperti suku Togutil di daerah Baborino, Buli, Halmahera Timur – Provinsi Maluku Utara, yang menggunakan pohon sebagai lambang kelahiran seorang bayi di tengah-tengah keluarga. Ketika seorang bayi lahir, maka salah satu anggota keluarga harus menanam satu pohon, yang menyimbolkan hadirnya generasi baru di tengah-tengah keluarga.

Hal-hal seperti ini yang menyebabkan orang-orang Togutil bisa bertahan dalam hutan, dengan tanpa harus merusak hutan. Padahal, pola hidup mereka berpindah-pindah tempat. Praktek semacam ini juga dilakukan oleh beberapa keluarga yang tinggal di Tobelo, Halmahera Utara. Mereka sering menanam satu buah pohon sebagai simbol kehadiran seorang bayi ditengah-tengah keluarga.

Orang-orang Togutil menganggap bahwa kaitan antara anak yang dilahirkan dengan pohon yang ditanam adalah kehidupan mereka sebenarnya akan juga seperti pohon itu, dengan mana akan tumbuh besar dan menghasilkan sesuatu yang bisa berguna bagi semua orang.

Orang-orang suku Togutil sampai saat ini belum mengenal sistem bertani, sistem mata pencaharian mereka adalah mengumpulkan hasil hutan dan berburu dalam jangka waktu tertentu, kemudian hasil yang didapat dimakan bersama. Selama bahan makanan masih ada, para anggota keluarga luas tidak melakukan kegiatan mencari makan. Mereka akan kembali melakukan pengumpulan makanan dan berburu apabila cadangan makanan hampir habis. Orang suku Togutil biasanya mendapatkan makanan langsung dari pohonnya, seperti; buah-buahan dan umbi-umbian.

Cara berburu suku Tugutil adalah berkelompok (semua orang laki-laki dari anggota keluarga luas) dengan menggunakan anjing. Alat-alat berburu yang digunakan adalah tombak, parang dan panah disertai tuba (racun). Dalam usaha menagkap buruan,mereka juga mengenal penggunaan jerat. Orang-orang Togutil mahir membuat jerat dari seutas rotan dan tanaman muda yang lentur melengkung untuk menjerat. Jenis binatang yang diburu adalah babi, rusa, ayam hutan, burung, kuskus, ular, biawak dan kelelawar.

Orang-orang suku Togutil dalam usaha mengumpulkan makanan, melakukan secara berkelompok, misalnya meramu Sagu, atau sendiri-sendiri seperti mengumpul umbi-umbian (Bete, Mangere & Gihuku) dan buah-buahan. Karena mereka berdiam di dekat aliran sungai, maka menangkap ikan juga merupakan mata pencaharian pokok. Seruas bambu disulap jadi panci penanak nasi atau ramuan obat, dan selembar manggar, daun lontar muda dirangkai jadi takir, cangkir alami. Getah damar dari hibum, kenari raksasa sebesar bola tenis, empat kali kenari biasa, bagian kulitnya dipenggal, dibakar, nyalanya seperti lilin penerang malam hari.

Bagi orang-orang suku Togutil, anjing merupakan harta yang paling tinggi. Seorang Togutil tanpa anjing akan lumpuh dalam pekerjaan dan tidak bergairah. Hal ini mungkin karena peranan anjing begitu besar dalam kehidupan seorang Togutil di hutan, baik dalm berburu maupun mencari nafkah. Kemanapun orang suku Togutil pergi, ia akan disertai anjingnya. Karena itulah tidak heran bila seekor anjing dapat menimbulkan permasalahan persengketaan antar perorangan maupun antar kelompok yang berujung pada perang kecil. Masalah bunuh-membunuh, keretakan hubungan antar kerabat dan antar kelompok bisa saja dapat timbul akibat seekor anjing.

Informasi lain tentang suku yang nyaris telanjang (berpakaian cawat) ini amat beragam. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia (LP3ES, 1996) menyebutnya sebagai “Suku Togutil” yang tinggal di hutan Dodaga dan Tutuling, Kecamatan Wasile, Halmahera Tengah, Maluku Utara. Menurut Ensiklopedi ini, populasi orang Togutil saat itu 600 orang. Sumber lain menyebutnya “Oho Ngana Manyawa” yang bermakna orang hutan atau orang rimba yang suka membunuh (menghabisil nyawa) orang asing.

Dalam tulisan Christantiowati di Majalah Intisari Edisi September 2008, halaman 124-130 menulis bahwa Rachma Tri Widuri dari Lembaga Pelestarian Burung Indonesia, dan Atiti Katango, jagawana dari Taman Nasional (TN) Aketajawe, yang mengantar Tim ini ke tepi Sungai Tayawi, dekat Kampung Kumu, hanya 15 menit bermobil dan Desa Bale, mengemukakan bahwa warga Desa Bale, Kecamatan Oba, Kota Tidore Kepulauan, Provinsi Maluku Utara berceritera kepada mereka bahwa orang-orang suku Togutil itu dulu warga yang "lari pajak" (tak mau bayar pajak), jadi lari atau diusir Belanda masuk hutan. Mereka bisa ditemui pula di sekitar Desa Tutur, Totodoku, Oboi, Tatam, Lili, Mabulan, dan Baken. Mereka disebut Tobelo Dalam atau Tobelo Hutan, untuk membedakan dari Tobaru, Tobelo Kampung atau yang sudah ke kota.

Suku Togutil yang kita kenal hingga saat ini, suatu saat nanti siapa sangka mungkin hanya tinggal kenangan. Kini populasi suku ini semakin berkurang. Hal ini bisa saja karena kondisi kebiasaan hidup mereka yang tidak teratur yang mengakibatkan jumlah kelahiran tidak sebanding dengan kematian dari anggota suku ini. Hal lain adalah tabiat mereka yang takut melihat manusia lain dan ini menutup kesempatan mereka mendapatkan makanan pada musim sulit sehingga pada akhirnya mempengaruhi perkembangan populasi dan reproduksi genetika mereka. Semoga suku ini tidak mengikuti jejak Suku Moro di Halmahera utara yang hilang misterius (gaib) di abad sebelumnya. Semoga saja “National Geographic Indonesia” berminat melakukan eksplorasi ke tempat ini……!

Satu hal yang paling berharga yang telah ditunjukkan oleh suku Togutil yang kita anggap “kurang” beradab ini telah menjadi pelajaran untuk kita semua, yakni; “Peliharalah alam, lestarikanlah hutan & jangan sekali-kali merusaknya”. Sekali lagi, mereka membuktikan bahwa kita yang merasa diri si "beradab" ini yang harus belajar kearifan dan keramahan dari mereka. Saya yakin anda semua pasti setuju dengan ini…! (@.Busranto Abdullatif Doa)

References :

1. De Ternate Archipel” Serie Q, No.43, Ontleedn aan de memorie van overgave van den toenmaligen Controleur van Tobelo, PJM Baden, van 26 Maret 1929, pag 401-404.
2. Mus J. Huliselan, Masalah Pemukiman Kembali Suku Bangsa Togutil di Kecamatan Wasilei Halmahera Tengah Sebuah Laporan Pejajagan, Universitas Patimura, Ambon, 1980.
3. Majalah Ilmu-Ilmu Sastra - Indonesian Journal of Cultural Studies, Jilid VIII No.2, Edisi Nopember 1979, Penerbit Bharatara.
4. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia, (LP3ES, 1996).
5. Diejen-Roemen J. M. v., Uit het land waar St. Franciscus leefde. Over bewoners van Tobelo Boeeng. (Togutil, Lino, Biri-biri). Sejarah Masuknya Agama Kristen di Tobelo-Maluku Utara, 1956. p.13.
6. _________, Woordenlijst Togutil, 1958, p.11.
7. Martodirdjo H. S, Orang Togutil di Halmahera Tengah, 1984, p.53.
8. _________, Organisasi Sosial Orang Togutil di Halmahera Tengah, 1985, p.35.
9. Anthon Ngarbingan, Pohon Sebagai Simbol Kelahiran : Mempertimbangkan Pemahaman Lokal tentang Pohon dalam Upaya Pemulihan Kerusakan Hutan, Lomba YPHL, 2008.
10. Christantiowati, Rachma Tri Widuri dan Atiti Katango dari Lembaga Pelestarian Burung Indonesia, Togutil – Tobelo, Dalam tulisan : Hutan & Sungai Rumah Kami, Majalah Intisari Edisi September 2008, halaman 124-130.
11. John Sharpe & Andrew A. Snelling, Evangelization of the Togutil, March 1994,
12. Djoko Su'ud Sukahar (Pengamat Budaya), Suku Asing & Terasing, detikNews, Edisi Kamis, 21 Agustus 2008.
13. David Purmiasa & Herman Teguh (www.korantempo.com), Suku Togutil Yang Bersahaja, yang dikutip; www.halmaherautara.com, Edisi 03 Maret 2008.
14. B. Soelarto, Sekelumit Monografi Daerah Ternate, Depdikbud, Jakarta.
15. Disbudpar Kab. Haltim.
Reply

Use magic Report

 Author| Post time 25-12-2009 07:49 PM | Show all posts
Mengenal "Bahasa Ternate"
Oleh : Busranto Abdullatif Doa

SEJARAH & PERKEMBANGAN

Ternate merupakan salah satu daerah historis di kawasan timur Nusantara yang sejak dahulu telah banyak didatangi berbagai suku bangsa di dunia untuk berdagang rempah-rempah. Komunikasi yang dilakukan penduduk Ternate dalam interaksi kontak dagang dengan suku/bangsa lain di tempat ini menggunakan Bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar (Lingua Franca). Bahasa Melayu adalah satu-satunya bahasa pergaulan antara berbagai daerah di kepulauan Nusantara pada waktu itu. (C. Apituley Cs, Departemen Pendidikan & Kebudayaan, 1983)

Akibat adanya interaksi dengan bahasa-bahasa lain dari luar Maluku Utara, maka dengan sendirinya bahasa-bahasa tersebut mempengaruhi perkembangan bahasa Ternate, terutama dari bahasa Melayu. Banyak sekali kata-kata dari bahasa Melayu yang masuk dalam perbendaharaan bahasa Ternate, kemudian dianggap sebagai bahasa Ternate. Di daerah ini bahasa Melayu pada masa lampau hanya digunakan oleh kaum urban dan kalangan tertentu selain bahasa asli.

Pada masa pra–Islam, bahasa Ternate masih merupakan bahasa lisan, karena bahasa Ternate itu sendiri tidak mempunyai aksara (huruf). Seiring dengan perkembangan agama Islam di wilayah ini, maka istilah-istilah Bahasa Arab mulai masuk dalam perbendaharaan bahasa Ternate. Aksara Arab–Melayulah mulai dipakai untuk menuliskan bahasa Ternate (Arab Gundul). Bahkan sampai sekarang masih ada sejumlah kecil masyarakat Ternate (orang tua-tua) masih menggunakannya.


Contoh manuskrip kuno (Dokumen kesultanan)


Dahulu setiap penulisan dokumen kerajaan selalu menggunakan tulisan Arab berbahasa Ternate (Semua dokumen kesultanan dalam sejarah Ternate yang ditemukan menggunakan aksara Arab). Saat ini aksara Arab sudah jarang digunakan dalam tiap penulisan dokumen. Aksara Latin kemudian dipakai, bahkan lebih dominan penggunaannya seperti sekarang ini.


Contoh manuskrip kuno (Dokumen kesultanan)

Demikian pula adanya pengaruh beberapa bahasa lokal, seperti Bahasa Jawa juga terlihat dalam perbendaharaan bahasa Ternate, hal ini sebagai akibat dari adanya hubungan persahabatan dan perdagangan yang selama berabad-abad terjalin.

Salah satu contoh pengaruh bahasa Jawa, misalnya kata “Jara” (kuda), dahulu hewan jenis ini tidak ditemukan di Ternate, kuda waktu itu didatangkan oleh pemerintah VOC/Hindia Belanda dari pulau Jawa, sehingga penamaannya mengikuti asal-usul hewan ini didatangkan.

Pengaruh dari Bahasa Bugis (Sulawesi selatan) dan Bahasa Bare’e (Sulawesi tengah) juga terlihat dalam bahasa Ternate. Hal itu erat hubungannya dengan persahabatan yang dijalin antar Ternate dengan wilayah Sulawesi yang dahulu pernah menjadi bagian dari wilayah kesultanan Ternate.

Kehadiran Bahasa Portugis dan Bahasa Spanyol di Ternate bersamaan dengan kedatangan kedua bangsa Eropa ini di Ternate sejak awal abad ke-16 yang rupanya turut memperkaya khasanah perbendaharaan bahasa Ternate. Kata-kata dari bahasa Portugis yang masih dipakai hingga saat ini, misalnya; kadera (kursi), bandera (bendera), leper (sendok), alfiris (pembawa panji), stampa (mahkota), nama desa Kastela dll.

Bahasa Belanda merupakan bahasa asing yang paling lama dikenal di Ternate, namun hanya kata atau istilah yang bersangkut paut dengan urusan pemerintahan saja yang masuk dalam perbendaharaan bahasa Ternate, hal ini disebabkan karena sikap politik VOC/Hindia-Belanda yang dalam pergaulannya hanya membatasi diri pada kalangan tertentu. Sikap ini menyebabkan bahasa Belanda hanya dipakai dalam lingkungan yang sangat terbatas, yaitu lingkungan para pegawai VOC/Hindia Belanda baik orang belanda asli maupun pegawai dari pribumi (Walanda kotu).

Di Ternate, bahasa Belanda tidak dijadikan sebagai bahasa pergaulan dalam masyarakat sehari-hari pada saat itu. Bahasa Belanda juga digunakan di lingkungan kalangan elite dan bangsawan serta sering dipakai juga di lingkungan istana.

Demikian pula dengan kehadiran bangsa Inggris di Ternate. Meskipun kekuasaannya hanya singkat, namun Bahasa Inggris juga ikut memberi sumbangan kata-katanya ke dalam bahasa Ternate.

Bahasa Cina yang selama berabad-abad menjadi bahasa ekslusif di kalangan masyarakat pedagang Cina di Ternate tidak berpengaruh langsung dalam bahasa sehari-hari karena hanya dipakai di kalangan sendiri. Namun masih ada kata-kata dan beberapa istilah dari bahasa Cina yang masih dipakai oleh orang Ternate hingga saat ini adalah; sebutan “Ko” (Om), “Ci” (Tante), “sentiong” untuk lokasi pekuburan serta bebera istilah lainnya.

Pada masa pedudukan Jepang (Dai Nippon) selama tiga setengah tahun berkuasa, Bahasa Jepang secara insentif disebarluaskan ke seluruh lapisan masyarakat oleh tentara Jepang, namun bahasa ini di kalangan masyarakat Ternate tidak populer dan akhirnya lenyap bersamaan dengan berakhirnya masa pendudukan Jepang di tanah air.

Walaupun bahasa Ternate banyak dipengaruhi oleh bahasa Arab, Jawa, Bugis, Bare’e dan bahasa-bahasa Eropa selama masa pendudukan mereka di Ternate, baik itu Portugis, Spanyol, Belanda, Inggris serta bahasa Asia lainnya, seperti bahasa Cina dan Jepang, namun sebagai suatu bahasa tutur yang independen, bahasa Ternate masih tetap memiliki aspek-aspek ke-bahasa-annya tersendiri.
Reply

Use magic Report

Follow Us
 Author| Post time 25-12-2009 07:54 PM | Show all posts
KELOMPOK BAHASA DI TERNATE & HALMAHERA

Berdasarkan laporan hasil penelitian di Maluku Utara yang dilakukan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta pada tahun 1983, mengungkapkan bahwa bahasa Ternate merupakan bahasa induk dari berbagai bahasa daerah yang ada di Maluku Utara. (C. Apituley Cs, Departemen Pendidikan & Kebudayaan, 1983)

Penyebaran bahasa Ternate meliputi wilayah yang sangat luas, bahkan pengaruhnya hingga sampai di pulau Mindanao, kepulauan Sulu dan Sabah di Kalimantan Utara, sepanjang pantai Sulawesi Utara–Tengah–Tenggara, pulau Banggai, kepulauan Sula, pulau Waigeo, pesisir barat dan utara pulau Halmahera serta pulau Morotai dan sekitarnya.

Para ahli linguistic, berpendapat bahwa bahasa Ternate termasuk dalam rumpun bahasa Polinesia. Tetapi ada sebagian peneliti bahasa-bahasa daerah berpendapat bahwa bahasa Ternate juga dapat digolongkan dalam rumpun bahasa Austronesia. Pendapat yang kedua memiliki alasan bahwa banyak terdapat kesamaan dalam segi tata bahasa (pronouncitation dan vocabulary). Di Maluku Utara masih terdapat banyak ragam bahasa daerah dan hingga saat ini masih tetap eksis dan digunakan sebagai bahasa lokal di kawasannya masing-masing.

Selain penggolongan rumpun bahasa tersebut, maka berdasarkan wilayah penyebarannya, bahasa Ternate termasuk dalam kelompok bahasa Ternate–Halmahera. Artinya serumpun dengan berbagai bahasa daerah sekitarnya yang meliputi bahasa Ternate, bahasa Tidore dengan bahasa-bahasa lain yang terdapat di Halmahera barat dan utara.

Bahasa Ternate, bahasa Tidore dan bahasa-bahasa lain yang terdapat di Halmahera barat dan utara ini disebut dengan “Bahasa Kie se Gam”. Adapun bahasa-bahasa daerah yang termasuk ke dalam kelompok ini, adalah :

• Bahasa Ternate
• Bahasa Tidore
• Bahasa Ibu
• Bahasa Waiyoli
• Bahasa Tubaru
• Bahasa Madole
• Bahasa Tobelo
• Bahasa Loloda
• Bahasa Galela
• Bahasa Tololiku, dan
• Bahasa Isam

Di dalam bahasa-bahasa tersebut terdapat banyak sekali persamaan dalam perbendaharaan kata (vocabulary). Perbedaannya sangat tipis, hal ini terutama disebabkan oleh variasi, bentuk tekanan pengucapan dan logat/dialek yang digunakan pada masing-masing tempat.

Lambat-laun perkembangan bahasa Ternate seirama dengan perkembangan kekuasaan kesultanan Ternate, bahasa Ternate terus tumbuh dan berkembang hingga menemukan bentuknya sendiri, bahkan dijadikan sebagai bahasa pengantar (Lingua Franca) di kawasan Ternate dan Halmahera barat dan utara, kemudian berkembang lebih luas sampai di wilayah-wilayah yang berada di luar kawasan Maluku Utara.

Sebagai contoh kesamaan perbendaharan kata dan perbedaan dalam variasi, bentuk tekanan pengucapan dan logat/dialek yang digunakan antara bahasa-bahasa dalam kelompok bahasa Ternate–Halmahera, adalah :



Lepas dari persoalan masalah apakah bahasa Ternate termasuk rumpun bahasa Polinesia ataupun rumpun bahasa Austronesia namun kenyataannya bahwa selama berabad-abad hingga saat ini bahasa Ternate masih tetap hidup dan eksis sebagai bahasa tutur yang telah berusia ratusan tahun.

Dalam struktur bahasa Ternate terdapat beberapa ke-istimewa-an, yakni adanya “Kelamin Kata” dan “Perasaan Kata” seperti pada bahasa Jawa, yakni : bahasa Jawa Ngoko (bahasa kasar / sehari-hari) dan bahasa Jawa Kromo (bahasa halus / sopan).

Sebagai contoh, untuk menyebut kata “aku” dalam percakapan sehari-hari dengan orang yang sederajat, kita cukup menggunakan kata “ngori”. Tetapi bila kita berbicara dengan orang yang lebih tua atau dianggap lebih tinggi derajatnya, maka kita harus mengucapkan kata aku dengan menggunakan kata “fangare”, sebagai tanda merendahkan diri.

Apabila kita berbicara dengan orang yang dianggap sederajat, maka kita cukup menyebut kata “engkau” dengan menggunakan kata “ngana”, akan tetapi apabila lawan bicara tersebut lebih tua atau lebih tinggi derajatnya dengan kita, maka kita menyebutnya dengan menggunakan kata “Jou” atau “Jou-ngon”, sebagai tanda peghormatan.

Saat ini, salah satu kebijakan dari pemerintah kota Ternate yang telah memasukkan “Pelajaran Bahasa Ternate” dalam kurikulum sekolah dan mulai akan diajarkan pada setiap Sekolah Dasar di wilayah kotamadya Ternate patut disyukuri. Langkah seperti ini sudah lama dilakukan di daerah lain, misalnya di Propinsi Jawa Tengah dan Propinsi Jawa Timur diajarkan mata pelajaran Bahasa Jawa serta di Propinsi Jawa Barat dan Propinsi Banten diberikan mata pelajaran Bahasa Sunda.

Minimnya bahan ajaran dan referensi penunjang dari program Pemerintah Kota Ternate ini turut memotivasi penulis untuk menyusun buku “PENGANTAR BAHASA TERNATE” yang sementara ini masih dalam proses dirampungkan.

Perlu ditegaskan oleh penulis di sini kepada para pembaca, bahwa pengertian bahasa Ternate dibedakan atas dua pemahaman, yakni, Pertama; Dialek Ternate dan Kedua; bahasa Ternate itu sendiri.

Pemahaman pengertian pertama mengandung arti bahwa “dialek Ternate” (bahasa Ternate pasar), merupakan gaya bicara dan tekanan suara serta intonasi yang sering dipakai oleh masyarakat di Ternate walaupun dengan menggunakan bahasa Indonesia/Melayu yang kadang dicampur dengan beberapa kata bahasa asli Ternate termasuk beberapa istilah yang cuma ada di Ternate, misalnya ; Ngana (=Kamu), Kita (=Saya/tunggal), Kitorang (=kita orang/jamak), Tarada (=Tidak Ada).

Bahasa orang Ternate dalam pemahaman pengertian yang pertama ini sering mempersingkat sebuah kata, misalnya kata “Pergi”, sering disingkat menjadi “Pigi”, bahkan lebih disingkatkan lagi menjadi “Pi”, contoh lain misalnya “ikut” menjadi “iko”.

Contoh kata misalnya ; “Ngana mo pi iko pa kita ka tarada? (=Kamu mau ikut aku pergi atau tidak?). Pada pemahaman pengertian yang pertama ini, daerah-daerah yang mendapat pengaruh dari dialek ternate seperti dicontohkan di atas adalah; hampir seluruh daerah di Maluku bagian Utara, Manado (Sulawesi Utara), Papua Barat, bahkan sampai ke NTT.

Dalam pemahaman pengertian kedua; yaitu Bahasa Asli Ternate itu sendiri, yang terdiri dari kosa-kata yang hanya ada di dalam bahasa Ternate itu sendiri. Dialeknya tidak jauh berbeda dengan Bahasa Ternate Pasar. Yang membedakan adalah intonasi yang digunakan, misalnya intonasi masyarakat Ternate Selatan agak berbeda dengan yang di Ternate Utara, sedangkan penutur yang berada di pulau Hiri agak berbeda pula. Demiian juga dengan penutur bahasa Ternate di belahan lain di Maluku Utara.
Reply

Use magic Report

 Author| Post time 25-12-2009 08:04 PM | Show all posts
Menelusuri Jejak Sejarah Kekuasaan Kesultanan Tidore di Halmahera Selatan dan Tanah Papua

SEJARAH SINGKAT TENTANG TIDORE

Tidore merupakan salah satu pulau kecil yang terdapat di gugusan kepulauan Maluku Utara, tepatnya di sebelah barat pantai pulau Halmahera. Sebelum Islam datang ke bumi Nusantara, pulau Tidore dikenal dengan nama; “Limau Duko” atau “Kie Duko”, yang berarti pulau yang bergunung api. Penamaan ini sesuai dengan kondisi topografi Tidore yang memiliki gunung api --bahkan tertinggi di gugusan kepulauan Maluku-- yang mereka namakan gunung “Kie Marijang”. Saat ini, gunung Marijang sudah tidak aktif lagi. Nama Tidore berasal dari gabungan tiga rangkaian kata bahasa Tidore, yaitu : To ado re, artinya, ‘aku telah sampai’.

Sejak awal berdirinya hingga raja yang ke-4, pusat kerajaan Tidore belum bisa dipastikan. Barulah pada era Jou Kolano Balibunga, informasi mengenai pusat kerajaan Tidore sedikit terkuak, itupun masih dalam perdebatan. Tempat tersebut adalah Balibunga, namun para pemerhati sejarah berbeda pendapat dalam menentukan dimana sebenarnya Balibunga ini. Ada yang mengatakannya di Utara Tidore, dan adapula yang mengatakannya di daerah pedalaman Tidore selatan.

Pada tahun 1495 M, Sultan Ciriliyati naik tahta dan menjadi penguasa Tidore pertama yang memakai gelar Sultan. Saat itu, pusat kerajaan berada di Gam Tina. Ketika Sultan Mansyur naik tahta tahun 1512 M, ia memindahkan pusat kerajaan dengan mendirikan perkampungan baru di Rum Tidore Utara. Posisi ibukota baru ini berdekatan dengan Ternate, dan diapit oleh Tanjung Mafugogo dan pulau Maitara. Dengan keadaan laut yang indah dan tenang, lokasi ibukota baru ini cepat berkembang dan menjadi pelabuhan yang ramai.

Dalam sejarahnya, terjadi beberapa kali perpindahan ibukota karena sebab yang beraneka ragam. Pada tahun 1600 M, ibukota dipindahkan oleh Sultan Mole Majimo (Ala ud-din Syah) ke Toloa di selatan Tidore. Perpindahan ini disebabkan meruncingnya hubungan dengan Ternate, sementara posisi ibukota sangat dekat, sehingga sangat rawan mendapat serangan. Pendapat lain menambahkan bahwa, perpindahan didorong oleh keinginan untuk berdakwah membina komunitas Kolano Toma Banga yang masih animis agar memeluk Islam. Perpindahan ibukota yang terakhir adalah ke Limau Timore di masa Sultan Saif ud-din (Jou Kota). Limau Timore ini kemudian berganti nama menjadi Soa-Sio hingga saat ini.

EKSPANSI TIDORE KE TIMUR NUSANTARA

Selain Kerajaan Ternate, Kerajaan Tidore juga merupakan salah satu Kerajaan besar di jazirah Maluku Utara yang mengembangkan kekuasaannya terutama ke wilayah selatan pulau Halmahera dan kawasan Papua bagian barat. Sejak 600 tahun yang lalu Kerajaan ini telah mempunyai hubungan kekuasaan hingga sampai ke Irian Barat (Pesisir Tanah papua) sebagai wilayah taklukannya. Waktu itu, yang memegang kendali kekuasaan pemerintahan di Kerajaan Tidore, ialah Sultan Mansyur, Sultan Tidore yang ke 12.

Menurut (Almarhum) Sultan Zainal Abidin Syah “Alting”, Sultan Tidore yang ke 36, yang dinobatkan di Tidore pada tanggal 27 Perbruari 1947, yang bertepatan dengan tanggal 26 Rabiulawal 1366.H, bahwa Kerajaan Tidore terdiri dari 2 bagian, yaitu:

1. Nyili Gam
a. Yade Soa-Sio se Sangadji se Gimelaha
b. Nyili Gamtumdi
c. Nyili Gamtufkange
d. Nyili Lofo-Lofo

2. Nyili Papua (Nyili Gulu-Gulu).
a. Kolano Ngaruha (Raja Ampat)
b. Papua Gam Sio
c. Mavor Soa Raha
(This statement allegedly made by Zainal Abidin Syah)

Dalam catatan tersebut dengan sendirinya bukanlah "Irian Barat" yang disebutkan, melainkan "Papua". Selain dari Papua, juga pulau-pulau di sekitarnya seperti pulau Gebe, pulau Patani, Kepulauan Kei, Kepulauan Tanimbar, Sorong, Gorong, Maba, Weda, juga termasuk dibawah naungan Kerajaan Tidore.

Disebutkan “Under the Dutch rule, all legal documents were first sent to the "The Kingdom of Tidore for oka before being used in the above mentioned provinces, which were once the property of the Kingdom of Tidore._Tombuku and Banggai were under the rule of the Kingdom of Ternate before Dutch rule”.

Di bawah ini adalah salinan catatan sejarahnya dalam “Bahasa Tidore” ketika Sultan Mansyur, Sultan Tidore yang pernah mengadakan expedisi ke pulau Halmahera bagian selatan sampai di "Papua" dan pulau-pulau sekitarnya.

"Madero toma jaman yuke ia gena e jaman "Jou Kolano Mansyur" Jou Lamo yangu moju giraa2 maga i tigee Jou Kolano una Mantri una moi2 lantas wocatu idin te ona: Ni Kolano Jou Ngori ri nyinga magaro ngori totiya gam enareni, tiya Mantri moi2 yo holila se yojaga toma aman se dame madoya.

Ngori totagi tosari daerah ngone majoma karena daerah ngone enareni yokene foli, kembolau gira toma saat enarige ona jou Mantri moi2 yo marimoi idin enarige, lantas Jou Kolano una rigee wotagi wopane oti isa toma Haleyora (Halmahera) wodae toma rimoi maronga Sisimaake wouci kagee lalu wotagi ine toma Akelamo lantas kagee wotomake jarita yowaje coba Jou Kolano mau hoda ngolo madomong kataa, gena e lebe laha Jou Kolano nowako koliho mote toma lolinga madomong kataa, gena e lebe laha Jou Kolano nowako koliho mote toma lolinga karena kagee seba foloi.

Lantas gaitigee Jou Kolano wowako sewolololi ino toma lolinga majiko wotagi ia toma Bobaneigo lantas gaitigee womaku tomake se Jou Kolano Ternate, "Jou Kolano Komala" Gira Jou Kolano ona ngamalofo rigee yo maku yamu rai se yo maku sawera sewowaje, Jou Kolano Ternate tagi turus ia toma Kao, Jou Kolano Tidore woterus toma Lolobata, Bicoli, Maba se Patani. Lantas kagee Jou Kolano wolahi Kapita2 kagee toma Maba, Buli, Bicoli se Patani ona yomote una terus toma Gebe la supaya yohoda kiye mega yoru-ruru, yo bapo ino uwa, toma Gebe madulu se I ronga “Papua”.

Gira2 tigee ona Kapita moi2 yomote Jou Kolano ine toma Gebe lalu turus toma Salawati, Waigeo, Waigama, Misowol (Misol), terus ine toma Papua Gam Sio, se Mavor Soa-Raha. Raisi karehe Jou Kolano se ona Kapita ona rigee yowako rora tulu toma Salawati, wotia Kapita hamoi se woangkat una wodadi Kolano kagee, hamoi yali toma Waigeo, hamoi yali toma Waigama, se hamoi yali toma Masowol (Misol). Kapita-kapita ngaruha onarigee Jou Kolano woangkat ona yodai Kolano teuna ipai maalu gena e mangale Kolano Ona Ngaruha rigee ngapala Kapita Patani, ona ngaruha yoparentah yodo toma Papua Gam Sio se Mavor Soa Raha".

Terjemahan:_

"Bahwa pada masa dahulu kala, masa kekuasaan Sultan Tidore yang bernama "Mansyur", dimana daerah kekuasaannya belum/tidak luas, maka beliau berfikir, bahwa wilayah Kerajaan di Tidore pada masa itu memang terlalu kecil yakni hanya di pulau Tidore. Beliau menetapkan untuk keluar mencari daerah tambahan. Para Menteri beliau berhadap dan titah beliau, bahwa atas maunya sendiri bertolak nanti dari Tidore untuk maksud yang utama dan kepada Menteri2 beliau tinggalkan kerajaannya untuk dijalankan oleh para Menteri, menjaga agar supaya berada aman dan damai. Menteri bersatu dan menerima baik yang dititahkan.

Lalu dengan sebuah perahu biduk beliau beserta beberapa pengawal dan pengikutnya bertolak dari pulau Tidore ke Halmahera tengah dan selatan, tiba pada sebuah tempat namanya Sismaake. Di sana Beliau turun dan berjalan kaki ke Akelamo. Di Akelamo beliau mendapat keterangan/ceritera dan mendapat saran dari orang di Akelamo, katanya jika beliau hendak melihat lautan sebelah (lautan di teluk Kao Halmahera), maka sebaiknya beliau melewati jalan di Dodinga, karena di Dodinga sangat dekat dengan lautan sebelah. Sri Sultan Mansyur kembali dari Akelamo menuju Dodinga dan dari Dodinga berjalan kaki ke Bobaneigo.

Di Bobaneigo bertemu dengan Sri Sultan Ternate Bernama "Komala", (Admin; mungkin yang dimaksud adalah Sultan Ternate yang ke XVI). Kedua Sultan tersebut kemudian saling bertanya dan akhirnya menyepakati untuk membagi pulau Halmahera menjadi dua wilayah kekuasaannya masing- masing, yaitu Sultan Ternate berkuasa dari Dodinga ke utara sedangkan Sultan Tidore membatasi wilayah kekuasaannya dari Dodinga ke selatan.
Reply

Use magic Report


ADVERTISEMENT


 Author| Post time 25-12-2009 08:04 PM | Show all posts
Catatan: Pada kenyataannya hingga saat ini pulau Halmahera tepatnya di daerah (Dodinga) merupakan batas wilayah kultur antara kedua Kerajaan ini, yang saat ini dijadikan dasar oleh Pemerintah untuk menetapkan batas wilayah Kabupaten sejak jaman Indonesia merdeka).

Kemudian selanjutnya Sultan Mansyur berkelana menuju daerah Lolobata, Bicoli, Maba, Buli dan Pulau Patani. Di sana beliau minta supaya Kapitan2 dari Maba, Buli, Bicoli dan Patani turut dengan beliau ke pulau Gebe untuk menyelidiki pulau2 apa yang terapung di belakang pulau Gebe, antara pulau yang satu dengan lain (tidak berdekatan): "Papua".

Pada saat itu juga Kapitan2 tersebut turut dengan beliau ke Gebe, terus ke Salawati, Waigeo, Waigama, Misowol, terus ke daerah yang disebutkan: Papua Gam Sio (Negeri Sembilan di tanah Papua) dan Mavor Soa Raha Empat Soa/Klan di Mavor). Sesudah itu Sri Sultan Mansyur dan Kapitan2nya kembali, singgah di Salawati, Waigeo, Waigama dan Misowol, dan disana beliau mengangkat Kapita2 berempat orang itu menjadi Raja setempat yang bergelar seperti dirinya (;Kolano), mereka berempat disebutkan “Raja Empat” yang masih dibawah naungan payung kekuasaan Sri Sultan Mansyur Sang Penguasa dari Tidore, dengan pengertian bahwa mereka berempat menjadi Raja itu harus mendengar perintah dari Sultan Tidore. Kekuasaan ke-empat Raja itu sampai di daerah yang disekitarnya yang kemudian disebut Papua Gam Sio dan dearah Mavor Soa-Raha"._

Catatan: Sumber / referensi tersebut di atas bila dikaji dengan menggunakan Analisa Historiografi, maka masih terdapat beberapa kelemahan, diantaranya : 1). Tidak jelaskan tahun berapa yang merupakan “tempos” atau kurun waktu kejadian dari apa yang diuraikan dalam sumber ini, 2). Tokoh sentral yang dijelaskan dalam sumber ini adalah “Sultan Mansyur”, namun yang menjadi pertanyaan bagi kita adalah Sultan Mansyur yang mana?!, karena dari berbagai referensi yang saya telusuri dan hunting selama ini, bahwa terdapat 4 (empat) Sultan Tidore yang menggunakan nama “Mansyur” sebagai nama mereka, antara lain; pertama : Sultan Mansyur yang memerintah (tahun 1512–1526), kedua : Sultan Kie Mansyur yang memerintah (tahun 1547–1569), ketiga : Sultan Abdul Falal al-Mansyur yang memerintah (tahun 1700–1708), dan keempat : Sultan Akhmad-ul Mansyur yang memerintah (tahun 1822–1856). Terlepas dari itu semua, sejarah telah mencatat bahwa beberapa daerah diluar pulau Tidore, mulai dari Papua barat hingga pulau-pulau di selatan Pasifik pernah menjadi wilayah kerajaan ini.

Sebagai pembanding dalam argument saya pada catatan tersebut di atas, berikut ini adalah nama-nama Kolano / Sultan dan tahun pemerintahannya pernah menjadi penguasa di Kerajaan Tidore yang saya olah dan susun dari beberapa sumber baik lokal maupun sumber asing yang menjadi referensi kajian saya, adalah sebagai berikut :

1. (….... – …....) Kolano Sah Jati
2. (….... – …....) Kolano Bosamuangi
3. (….... – …....) Kolano Subu
4. (….... – …....) Kolano Balibunga
5. (….... – …....) Kolano Duku Madoya
6. (1317 – …....) Kolano Kie Matiti
7. (….... – …....) Kolano Sele
8. (….... – …....) Kolano Metagena
9. (1334 – 1372) Kolano Nur ud-din
10. (1373 – ...?...) Kolano Hasan Syah
11. (1495 – 1512) Sultan Ciriliati alias Jamal ud-din
12. (1512 – 1526) Sultan Mansyur
13. (1529 – 1547) Sultan Amir ud-din Iskandar Zulkarnain
14. (1547 – 1569) Sultan Kie Mansyur
15. (1569 – 1586) Sultan Miri Tadu Iskandar Sani Amir ul-Muzlimi, kawin dengan Boki Randan Gagalo, seorang puteri dari Sultan Babu'llah Datu Syah ibni Sultan Khair ul-Jamil.
16. (1586 – 1599) Sultan Gapi Maguna alias Sultan Zainal Abidin Siraj ud-din alias Kaicil Siraj ul-Arafin, yang kawin dengan Boki Filola pada tahun 1585 seorang puteri dari sultan Ternate Sultan Said ud-din Barakat Syah ibni al-Marhum Sultan Babullah Datu Syah
17. (1599 – 1626) Sultan Mole Majimu alias Molemgini Jamal ud-din alias ‘Ala ud-din Syah
18. (1626 – 1633) Sultan Ngora Malamo alias Sultan 'Ala ud-din ibni Sultan Jamal ud-din.
19. (1633 – 1653) Sultan Gorontalo alias Kaicil Sehe
20. (1653 – 1657) Sultan Magiau alias Sultan Said ud-din ibni Sultan 'Ala ud-din alias Kaicil Saidi
21. (1657 – 1689) Sultan Syaif ud-din alias Kaicili Golofino
22. (1689 – 1700) Sultan Hamzah Fakhr ud-din ibni al-Marhum Sultan Syaif ud-din.
23. (1700 – 1708) Sultan Abul Falal al-Mansyur
24. (1708 – 1728) Sultan Hasan ud-din
25. (1728 – 1756) Sultan Amir Muhid-din Bi-fallil-ajij alias Kaicil Bisalalihi
26. (1756 – 1780) Sultan Jamal ud-din
27. (1780 – 1784) Sultan Patra Alam
28. (1784 – 1797) Sultan Kamal ud-din
29. (1797 – 1805) Sultan Nuku alias Sultan Said-ul Jehad Muhammad al-Mabus Amir ud-din Syah alias Kaicil Paparangan alias Jou Barakati
30. (1805 – 1810) Sultan Mohammad Zain al-Abidin
31. (1810 – 1822) Sultan Mohammad Tahir (Wafat : 17 November 1821)
32. (1822 – 1856) Sultan Akhmad-ul Mansyur (Dinobatkan 19 April 1822, wafat 11 Juli 1856)
33. (1857 – 1865) Sultan Akhmad Safi ud-din alias Khalifat ul-Mukarram Sayid-din Kaulaini ila Jaabatil Tidore alias Jou Kota (Dinobatkan April 1857)
34. (1867 – 1894) Sultan Johar Alam (Dinobatkan Agustus 1867 dan wafat 29 Nopember 1965)
35. (1894 – 1905) Sultan Akhmad Kawi ud-din Alting alias Kaicil Syahjoan, (Dinobatkan Juli 1849) Pada masa ini Keraton Tidore dibumihanguskan sebagai sikap thd pihak Belanda)
36. (1947 – …....) Sultan Zain al-Abidin “Alting” Syah (Dinobatkan di Tidore pada tgl. 27 Perbruari 1947, bertepatan dengan tgl. 26 Rabiulawal 1366H.)
37. (Sekarang) Sultan Djafar “Dano Yunus” Syah.
Reply

Use magic Report

You have to log in before you can reply Login | Register

Points Rules

 

ADVERTISEMENT



 

ADVERTISEMENT


 


ADVERTISEMENT
Follow Us

ADVERTISEMENT


Mobile|Archiver|Mobile*default|About Us|CariDotMy

22-12-2024 09:18 PM GMT+8 , Processed in 0.661678 second(s), 21 queries , Gzip On, Redis On.

Powered by Discuz! X3.4

Copyright © 2001-2021, Tencent Cloud.

Quick Reply To Top Return to the list