Indonesia: Transgender Islamic school reopens its doors
By News from Elsewhere......media reports from around the world, found by BBC Monitoring
Transgender people pray at the school in Yogakarta
An Islamic transgender boarding school has been reopened in the city of Yogyakarta on the Indonesian island of Java, it's reported.
The school, known locally as a Pesantren Waria, was the first of its kind in the country and first opened its doors in 2008 but closed when its founder died last month. It has now moved to a house belonging to Shinta Ratri, a lesbian, gay, bisexual and transgender (LGBT) activist.
The 35 students learn Islamic studies, and have a chance to work and earn money, The Jakarta Post newspaper reported. Previously, the school had a beauty salon and also hired out traditional wedding dresses.
"According to the Koran, we are not allowed to classify people based on economic, social, political, gender or theological values," Abdul Muhaimin, a leader of Indonesia's Brotherhood Forum of the Faithful, an organisation that encourages religious tolerance, said at the opening ceremony. "I hope the students here are strong as they must face stigma in society."
The Jakarta Globe has reported elsewhere that public opinion in Indonesia is strongly opposed to LGBT rights. It quotes the 2013 Global Divide on Homosexuality study by the Pew Research Center, which says 93% of people asked thought gay people should not be accepted.
Use #NewsfromElsewhere to stay up-to-date with our reports via Twitter.
Pesantren Waria Yogyakarta Satu-satunya di Dunia
Warga melintas di depan Pondok pesantren khusus Waria di Yogyakarta (23/11). TEMPO/Anang Zakaria
TEMPO.CO, Yogyakarta - Ada pondok pesantren khusus waria yang terletak di kawasan Notoyudan. Pesantren Al Fatah, demikian namanya, berada di tengah perkampungan penduduk. "Ini satu-satunya pesantren waria di dunia," kata Maryani, 54 tahun, pendiri pesantren itu, pada Tempo, Sabtu, 23 November 2013 sore.
Pesantren ini berdiri pada 2008. Sejak berdiri hingga kini, bangunan pesantren menempati rumah kontrakan Maryani di kampung itu. Berbeda dengan kebanyakan pesantren--santri tinggal dan menetap di pesantren--waria yang menjadi santri tinggal di rumah masing-masing.
Mereka mengaji dua kali per minggu, Ahad dan Rabu malam. Di saat itulah, ruang tamu dan bagian tengah rumah Maryani sekaligus berfungsi sebagai tempat pengajian.
Lantaran jadwal mengaji itu pula, pesantren waria ini disebut juga dengan pesantren Senin dan Kamis. Berbagai pelajaran agama diberikan selama pengajian itu. Dari doa dan cara salat, membaca Al-Quran, mengaji fikih, hingga pemahaman beragama.
Di awal berdiri, kata Maryani, tak banyak waria yang bergabung. Namun, kini jumlah santrinya mencapai 23 orang waria. Mereka merupakan waria asal sejumlah daerah di Indonesia, semisal Surabaya, Jakarta, Makasar, dan Semarang yang telah menetap di Yogyakarta. "Sebenarnya ada 25 santrinya, yang dua orang sudah meninggal," katanya.
Selain menggelar pengajian rutin, pesantren waria juga memiliki agenda tahunan. Saat Ramadan tiba, mereka rutin menggelar tarawih, tadarus Al-Quran, hingga sahur dan berbuka bersama. Menjelang Idul Fitri, mereka lantas berziarah bersama ke makam keluarga dan waria yang sudah meninggal.
Seluruh biaya operasional pesantren, ia mengatakan, keluar dari kantong pribadinya. Sedikit demi sedikit, ia menyisihkan sebagian pendapatanya dari membuka salon kecantikan dan berdagang nasi untuk pesantren. "Beberapa bulan ini pesantrennya libur, saya masih nyari untuk bayar kontrakan," kata Maryani yang juga membuka warung nasi tak jauh dari rumahnya ini.
Pendirian pesantren waria ini bermula dari rutinitas Maryani mengikuti pengajian KH Hamrolie Harun, seorang ustad pengasuh pengajian Al Fatah di kawasan Pathuk, Yogyakarta. Meski tahu Maryani seorang waria, Hamrolie tak membeda-bedakannya dengan jemaah yang lain. "Sejak 15 tahun lalu saya ikut pengajian itu," kata Maryani mengenang.
Niat Maryani belajar agama cukup besar. Tak hanya mengikuti pengajian asuhan Hamroli secara rutin, ia juga menggelar pengajian tiap Rabu Pon di rumahnya. Pesertanya para waria dan pengasuhnya Hamrolie.(Baca: Waria Wafat, Masih Menimbulkan Debat)
Pada 2006, setelah Yogyakarta dilanda gempa, Maryani menggagas acara doa bersama para waria. Tak hanya Hamrolie, tokoh agama lain juga diundang dalam acara itu. Maryani bahkan mengundang pastur dan pemuka agama yang lain. Sebanyak 200 waria dari berbagai daerah di Indonesia hadir dalam acara itu. "Dari sinilah tercetus ide untuk mendirikan pesantren," katanya.
Gagasan itu baru terlaksana dua tahun kemudian. Di pesantren itu, Hamrolie tetap menjadi pengasuh. Adapun Maryani bertugas sebagai pengelola. Sejak Hamrolie meninggal beberapa bulan lalu, Maryani mengatakan, pengisi pengajian di pesantrennya adalah Ustad Murtijo, seorang pemuka agama Islam di Notoyudan.
ANANG ZAKARIA
Last edited by abgsedapmalam on 23-4-2014 06:52 PM