Dear Dad dan KoKiers semua, pertama kali aku mendengar/membaca tentang Devadasi yaitu sekitar beberapa bulan yang lalu melalui sebuah artikel di situs berita The Guardian. Sebenarnya saat itu juga aku kepengin menuliskannya tapi entah kenapa sampai sekarang niat itu baru kesampaian.
KoKiers, setelah membaca berbagai artikel sehubungan dengan makna devadasi maka aku berkesimpulan bahwa devadasi adalah suatu kata yang mengalamani penurunan makna (peyorasi), kalau boleh aku menggunakan istilah tersebut. Secara harafiah makna dari kata devadasi itu adalah God’s (Dev) female servant(dasi), pelayan wanitanya dewa.
Menurut adat India kuno, anak- anak gadis sebelum memasuki usia puber itu “dinikahkan” atau “dipersembahkan” dalam suatu pernikahan dengan dewa-dewa di kuil desanya. Jadi pada dasarnya mereka dinikahkan dengan kuil, maka dari itu gadis-gadis ini selamanya tidak diperkenankan untuk menikah.
Seperti halnya geisha dalam tradisi Jepang, para wanita ini pada dasarnya adalah artis (seniman). Mereka ini pandai menyanyi, menari dan bermain sandiwara, bahkan ada pula yang menjadi penasehat politik. Sebagian daripadanya kemudian juga memberikan layanan seksual kapada para pendeta, penghuni kuil lainnya dan juga para Zamindars (tuan tanah). Mereka percaya bahwa apa mereka lakukan ini adalah merupakan salah satu bentuk dari pengabdian kepada para dewa.

A photograph of two Devadasis taken in 1920s in Tamilnadu, South India
Source: wikipedia
Menurut pengakuan seorang devadasi, dengan keahlian mereka itu maka mereka bisa hidup secara mandiri tanpa memerlukan seorang suami untuk mencukupi kebutu*an hidupnya. Banyak diantaranya bisa hidup serba berkecukupan bahkan bisa dibilang makmur. Pendapat lain mengatakan bahwa sistem devadasi ini tidak lain hanyalah merupakan suatu produk dari persengkokolan antara kaum feodal dan para pendeta (Brahmins, Brahmana) untuk mengontrol masyarakat dan mengeksploitasi mereka yang berkasta rendah.
Dengan menggunakan pengaruh agama dan ideologinya atas kaum petani maka para pendeta itu merekayasa suatu cara untuk melegalisir prostitusi dari sudut pandang agama. Antara lain yaitu dengan menciptakan cerita-cerita legenda seperti Legenda Renuka atau Yallama, legenda Renukamba, dan legenda Kandhoba. Gadis-gadis dari golongan miskin dan berkasta rendah (Dalit) pada mulanya dijual dalam suatu lelang tertutup dan kemudian dipersembahkan ke dalam kuil. Dari situlah maka praktek prostitusi itu bermula .
Seperti yang sudah kita ketahui bahwa kehidupan sosial masyarakat India itu terbagi dalam empat kelompok golongan (kasta). Pembagian empat kasta ini berdasarkan atas Manu Sashtra (Hukum Manu) yang sudah berusia sekitar 4000 tahun. Sekedar mengingatkan, keempat kasta tersebut adalah:
- Kasta Brahmin ( Brahmana) yaitu kastanya para pendeta yang dianggap paling suci
- Kasta Kshatrya: kasta para penguasa dan ksatria
- Kasta Vaisya: para pedagang
- Kasta Sudra: kasta terendah yang takdirnya melayani ketiga kasta diatasnya
Selain keempat kasta tersebut di atas di India ada lagi golongan masyarakat yang disebut sebagai The Untouchable. Lapisan masyarakat terendah ini dianggap paling hina dan kotor sehingga dianggap tidak layak untuk dimasukkan ke dalam sistem kasta.
Golongan The Untouchable tidak diperkenankan untuk berjalan di jalur yang sama dengan mereka yang berkasta. Tidak diperkenankan mengambil air di sumur yang sama dengan kasta lainnya bahkan untuk berbicara pun tidak diperkenankan. Mereka kemudian menamakan diri mereka sebagai Dalit yang berartibroken people.
Praktek devadasi ini umumnya dilakukan di wilayah India bagian selatan khususnya daerah Maharashtra, Andhar Pradesh, Tamil Nadu, dan Karnataka. Dengan berjalannya waktu, praktek devadasi ini dinilai oleh sekelompok masyarakat sebagai salah satu bentuk dari prostitusi yang mana para wanita yang terlibat di dalamnya tidak lain hanyalah budak-budak nafsu. Sementara sebagian lagi masih mempercayai bahwa praktek ini justru membebaskan wanita dari segala bentuk larangan moral dan dominasi kaum pria yang lazim di dalam masyarakat India.

Pergeseran makna dari devadasi terjadi dengan kedatangan British Empire ke India. Pada masa itu, praktek ini dinilai sebagai suatu prostitusi, nothing more nothing less, sehingga seringkali dilakukan razia penangkapan bahkan kemudian para pelakunya dijatuhi sanksi hukuman. Demikian juga segala bentuk institusi yang melindungi hak dan keberadaannya pun dihancurkan sehingga membuat posisi mereka semakin melemah. Sejak itulah maka devadasi menjadi bersinonim dengan satu kata saja yaitu prostitusi.
Devadasi juga memiliki sebutan yang berlainan dari satu daerah ke daerah lainnya. Misalnya saja di daerah Andhra Pradesh mereka disebut dengan Jogini, sementara di tempat lain seperti Maharashtra sebutan mereka adalah Muralis. Di Kerala, mereka dikenal dengan nama Maharis, Natis di Assam dan Basavi di Karnataka. Sedangkan di Goa sebutan mereka adalah Bhavanis, Thevardiyar di Tamil Nadu, dan lain sebagainya.
Di daerah Kamataka, devadasi yang berusia lanjut disebut dengan Jogati sedangkan yang masih muda disebut Basavi. Kata “Basavi” itu sendiri merujuk pada bentuk feminine dari kata “Basava” yang berarti seekor banteng yang dengan bebas menelusuri pedesaan.
Adapun ciri khas untuk membedakan para jogini dengan wanita pada umumnya adalah kalung panjang berhiaskan imej Dewi Yellama, juga gelang kaki yang terbuat dari copper (tembaga) yang mereka kenakan.
Sebenarnya pemerintah India telah berusaha untuk menghentikan praktek devadasi ini yaitu dengan mengeluarkan undang-undang Bombay Devadasi Act pada tahun 1934. Undang-undang ini kemudian diperkuat lagi dengan dikeluarkannya Devdasi (Prevention od dedication) Madras Act pada tahun 1947,Karnataka Devdasi (Prohibition of dedication) Act 1982 dan Andhra Pradesh Devdasi Act, pada tahun 1988. Isi dari Karnataka Devdasi act itu antara lain sebagai berikut:
- Siapapun yang terbukti bersalah membantu seorang anak gadis untuk menjadi seorang Devadasi ataupun sekedar menghadiri upacaranya akan dikenakan hukuman penjara selama tiga tahun serta membayar denda maksimum sebesar 2.000 rupee.
- Orang tua dan sanak saudaranya akan dikenakan denda maksimum sebesar 5.000 rupee per orang jika mereka dinyatakan bersalah telah membujuk si gadis untuk dipersembahkan.
Meskipun demikian, undang-undang tersebut tidak bisa menghentikan praktek devadasi yang sampai sekarang masih banyak dilakukan di daerah-daerah. Berdasarkan laporan dari National Commission for Women ( NCW), di Maharastra dan Karnataka, tercatat sekitar 250.000 gadis muda dari golongan Dalit yang telah “dipersembahkan” ke kuil oleh orangtua mereka. Tidak perlu dipertanyakan lagi penyebabnya yaitu tidak lain adalah kemiskinan yang membuat para orang tua ini memilih untuk menjadikan anak gadisnya sebagai devadasi.

Source: India Daily
Selain itu juga ada beberapa sebab yang membuat praktek ini sulit untuk dihentikan yaitu :
- Devadasi sebagai pengganti korban manusia sebagai persembahan untuk menyenangkan para dewa dan dewi demi mendapatkan berkah untuk masyarakat pada umumnya.
- Sebagai ritual untuk kesuburan tanah juga pertumbuhan jumlah populasi manusia dan hewan.
- Sebagai bagian dari penyembahan lingga(phallus, disimbolkan dengan penis yang sedang berereksi) yang sudah ada di dalam kepercayaan masyarakat India sejak jaman Dravida.
- Mungkin dipercayai sebagai prostitusi sakral yang tumbuh dari adat memberikan layanan seksual kepada orang asing.
- Menciptakan adat yang mana memungkinkan eksploitasi golongan kasta rendah oleh kasta yang lebih tinggi.
Menurut pendapatku, adalah tidak mungkin untuk memberantas segala macam bentuk prostitusi di dalam masyarakat apapun juga. Apalagi jika kasusnya seperti devadasi yang awalnya terjadi karena latar belakang kepercayaan agama. Dan selama kemiskinan belum teratasi, maka profesi ini akan terus eksis di manapun juga. Maka dari itu program penyuluhan safe sex justru akan lebih bermanfaat dan akan menyelamatkan banyak jiwa dari HIV, unwanted pregnancies dan juga bahaya STDs (sexually transmited deseases) atau penyakit kelamin.
Ciao Ciao,
Margharita
Tulisan ini diambil dari berbagai sumber